Jumat, 19 September 2008
Dilema Pengembangan Karier PNS Dalam Otonomi Daerah
Setiap menjelang pelaksanaaan pemilihan kepala daerah (pilkada) diberbagai daerah, baik itu gubernur, bupati atau walikota timbul berbagai kekhawatiran di hati para aparat birokrasi atau pegawai negeri sipil (PNS). Salah satunya adalah godaan dan janji para kandidat kepala daerah. Namun godaan dan janji spekulatif tersebut penuh dengan pengorbanan, pengorbanan untuk mendukung dan tidak mendukung.
Sebagai individu-individu yang pada dasarnya mempunyai naluri politik, para PNS tersebut akan terpecah dan menimbulkan dikotomi-dikotomi dukungan kepada para kandidat. Dalam konteks menentukan pilihan, para PNS tersebut senantiasa mencari ruang-ruang untuk memutuskan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan mereka. Hal inilah yang dapat menghambat roda pemerintahan yang sedang berjalan. Selain itu kandidat juara bertahan pun melakukan aksi untuk menyingkirkan atau dalam istilah kepegawaian “memutasikan” para pegawai yang dianggap tidak loyal terhadapnya. Misalkan pencopotan 2 orang camat dari jabatannya bukan karena kinerja yang buruk tapi karena diduga adanya kedekatan dengan kandidat lainnya. Bahkan lebih buruk lagi mereka didepusi dari eselon IIIa menjadi IVa ataupun menjadi staf biasa. Hal ini mungkin terjadi pula pada daerah-daerah lainnya. Dimana Incumbent merasa selalu memiliki dan mendapat dukungan dari seluruh aparat birokrasi di daerahnya. Sehingga bila ada yang PNS yang dekat dengan calon lainnya maka sudah pasti akan dibuang ataupun dilepaskan dari jabatannya dengan dalih apapun.
Di sisi lain, PNS yang tidak menduduki jabatan, ataupun hanya memiliki jabatan yang rendah lalu memimpikan jabatan yang lebih tinggi, tentunya akan mengambil kesempatan untuk mendukung calon lainnya. Begitu calon dukungannya berhasil terpilih, mereka akan dipromosikan untuk memegang jabatan lebih baik dari sebelumnya. Masalah lain yang mungkin terjadi yaitu Apabila yang bertarung dalam pilkada tersebut ialah antara Bupati/Gubernur melawan Wakil Bupati/Gubernur atau dengan Sekda maka timbul kecenderungan terjadinya fragmentasi di dalam tubuh birokrasi. Birokrasi menjadi terkotak-kotak berdasarkan afiliasi politik yang dipilih secara berbeda, antara mendukung atasan ini atau atasan itu
Hal-hal tersebut akan dapat membuat birokrasi menjadi lamban dan tak berdaya sehingga implikasinya kemudian adalah terganggunya fungsi birokrasi itu sendiri, yaitu penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Perlunya Penataan Sistem Kepegawaian
Keadaan yang demikan lambat laun akan semakin menjadi-jadi dimana kehidupan politik di daerah akan terus bergulir dengan adanya pilkada, sehingga PNS akan terus menerus ikut bertarung dukung-mendukung baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Walaupun sebenarnya telah ada UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 30/80 tentang Disiplin PNS dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No 6/2005, yang mengarahkan dan memposisikan PNS pada posisi yang proporsional dan netral, Namun malah hal ini digunakan beberapa incumbent untuk memakai powernya dalam menguasai aparat birokrasi di daerahnya.
Pemerintah seharusnya tidak setengah-setengah dalam pembinaan dan pengembangan PNS, serta juga tidak setengah-setengah dalam implementasi peraturannya, selama ini sistem promosi seorang PNS dalam jabatan struktural, masih banyak menggunakan like and dislike atasannya karena aturan yang ada masih bersifat umum, asalkan kepangkatannya sudah sesuai untuk menduduki jabatan, maka sudah dapat diangkat menduduki jabatan struktural. Walaupun ada beberapa daerah yang telah menggunakan fit and profer test namun hal itupun belum cukup untuk melihat potensi serta prestasi seorang PNS.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk mengukur pelaksanaan pekerjaan PNS sudah ketinggalan zaman dan jarang digunakan lagi untuk menilai PNS, DP3 hanya dipergunakan secara formalitas ketika seorang PNS akan mengurus kenaikan pangkat. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa nilai dalam DP3 tersebut banyak yang isi sendiri oleh PNS bukan dinilai oleh atasannya, sehingga sangat mustahil bila digunakan untuk penilaian kinerja dan promosi PNS.
Hal tersebut perlu penanganan serius dari pemerintah untuk membuat regulasi yang dapat diimplementasikan oleh para PNS baik di pusat maupun di daerah. Diperlukannya sistem penilaian yang benar-benar nyata dan kinerja PNS tertulis jelas sehingga dapat dipergunakan untuk promosi PNS dalam jabatan struktural.
Salah satu alternatif yaitu dengan merevisi aturan sistem penilaian pelaksanaan pekerjaan dengan mengkombinasikan sistem penilaian DP3 dan penilaian sistem angka kredit pada jabatan fungsional. Dengan kombinasi tersebut dapat dilihat kinerja PNS setiap tahunnya secara jelas. Penilaian trersebut tergambar kegiatan apa yang telah dilaksanakan dan sudah berapa point yang dikumpulkan, serta apakah sudah layak dipromosikan atau belum. Walapun misalkan kepangkatan, pendidikan dan pelatihannya sudah memenuhi syarat, bila point kierjanya belum mencukupi maka belum layak untuk dipromosikan.
Dengan demikian para aparat birokrasi tidak perlu resah lagi bila akan diadakan pilkada di daerahnya dan tidak perlu terjebak lagi pada iming-iming politik dari para calon peserta pilkada serta tidak perlu takut bila terjadi pergantian puncak kepemimpinan di daerah, baik itu incumbent dikalahkan maupun menjabat kembali.
Pegawai Negeri Sipil dapat bebas secara profesional dan proporsional serta netral untuk melaksanakan fungsi-fungsi administrasi dan manajemen dalam variabel pelayanan publik dan pembangunan secara baik. Mereka mampu mengendarai roda-roda birokrasi dengan stabil untuk kesejahteraan masyarakat
Akhirnya kita hanya dapat menanti kebijakan pemerintah yang lebih cerdas dalam meihat dilema-dilema yang terjadi pada pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil, akankah berjalan begini seadanya selamanya atau ada angin perubahan untuk menjamin netralitas, kemandirian serta profesionalisme para Pegawai Negeri Sipil di seluruh nusantara.
Irfan Setiawan
Sebagai individu-individu yang pada dasarnya mempunyai naluri politik, para PNS tersebut akan terpecah dan menimbulkan dikotomi-dikotomi dukungan kepada para kandidat. Dalam konteks menentukan pilihan, para PNS tersebut senantiasa mencari ruang-ruang untuk memutuskan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan mereka. Hal inilah yang dapat menghambat roda pemerintahan yang sedang berjalan. Selain itu kandidat juara bertahan pun melakukan aksi untuk menyingkirkan atau dalam istilah kepegawaian “memutasikan” para pegawai yang dianggap tidak loyal terhadapnya. Misalkan pencopotan 2 orang camat dari jabatannya bukan karena kinerja yang buruk tapi karena diduga adanya kedekatan dengan kandidat lainnya. Bahkan lebih buruk lagi mereka didepusi dari eselon IIIa menjadi IVa ataupun menjadi staf biasa. Hal ini mungkin terjadi pula pada daerah-daerah lainnya. Dimana Incumbent merasa selalu memiliki dan mendapat dukungan dari seluruh aparat birokrasi di daerahnya. Sehingga bila ada yang PNS yang dekat dengan calon lainnya maka sudah pasti akan dibuang ataupun dilepaskan dari jabatannya dengan dalih apapun.
Di sisi lain, PNS yang tidak menduduki jabatan, ataupun hanya memiliki jabatan yang rendah lalu memimpikan jabatan yang lebih tinggi, tentunya akan mengambil kesempatan untuk mendukung calon lainnya. Begitu calon dukungannya berhasil terpilih, mereka akan dipromosikan untuk memegang jabatan lebih baik dari sebelumnya. Masalah lain yang mungkin terjadi yaitu Apabila yang bertarung dalam pilkada tersebut ialah antara Bupati/Gubernur melawan Wakil Bupati/Gubernur atau dengan Sekda maka timbul kecenderungan terjadinya fragmentasi di dalam tubuh birokrasi. Birokrasi menjadi terkotak-kotak berdasarkan afiliasi politik yang dipilih secara berbeda, antara mendukung atasan ini atau atasan itu
Hal-hal tersebut akan dapat membuat birokrasi menjadi lamban dan tak berdaya sehingga implikasinya kemudian adalah terganggunya fungsi birokrasi itu sendiri, yaitu penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Perlunya Penataan Sistem Kepegawaian
Keadaan yang demikan lambat laun akan semakin menjadi-jadi dimana kehidupan politik di daerah akan terus bergulir dengan adanya pilkada, sehingga PNS akan terus menerus ikut bertarung dukung-mendukung baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Walaupun sebenarnya telah ada UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 30/80 tentang Disiplin PNS dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No 6/2005, yang mengarahkan dan memposisikan PNS pada posisi yang proporsional dan netral, Namun malah hal ini digunakan beberapa incumbent untuk memakai powernya dalam menguasai aparat birokrasi di daerahnya.
Pemerintah seharusnya tidak setengah-setengah dalam pembinaan dan pengembangan PNS, serta juga tidak setengah-setengah dalam implementasi peraturannya, selama ini sistem promosi seorang PNS dalam jabatan struktural, masih banyak menggunakan like and dislike atasannya karena aturan yang ada masih bersifat umum, asalkan kepangkatannya sudah sesuai untuk menduduki jabatan, maka sudah dapat diangkat menduduki jabatan struktural. Walaupun ada beberapa daerah yang telah menggunakan fit and profer test namun hal itupun belum cukup untuk melihat potensi serta prestasi seorang PNS.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk mengukur pelaksanaan pekerjaan PNS sudah ketinggalan zaman dan jarang digunakan lagi untuk menilai PNS, DP3 hanya dipergunakan secara formalitas ketika seorang PNS akan mengurus kenaikan pangkat. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa nilai dalam DP3 tersebut banyak yang isi sendiri oleh PNS bukan dinilai oleh atasannya, sehingga sangat mustahil bila digunakan untuk penilaian kinerja dan promosi PNS.
Hal tersebut perlu penanganan serius dari pemerintah untuk membuat regulasi yang dapat diimplementasikan oleh para PNS baik di pusat maupun di daerah. Diperlukannya sistem penilaian yang benar-benar nyata dan kinerja PNS tertulis jelas sehingga dapat dipergunakan untuk promosi PNS dalam jabatan struktural.
Salah satu alternatif yaitu dengan merevisi aturan sistem penilaian pelaksanaan pekerjaan dengan mengkombinasikan sistem penilaian DP3 dan penilaian sistem angka kredit pada jabatan fungsional. Dengan kombinasi tersebut dapat dilihat kinerja PNS setiap tahunnya secara jelas. Penilaian trersebut tergambar kegiatan apa yang telah dilaksanakan dan sudah berapa point yang dikumpulkan, serta apakah sudah layak dipromosikan atau belum. Walapun misalkan kepangkatan, pendidikan dan pelatihannya sudah memenuhi syarat, bila point kierjanya belum mencukupi maka belum layak untuk dipromosikan.
Dengan demikian para aparat birokrasi tidak perlu resah lagi bila akan diadakan pilkada di daerahnya dan tidak perlu terjebak lagi pada iming-iming politik dari para calon peserta pilkada serta tidak perlu takut bila terjadi pergantian puncak kepemimpinan di daerah, baik itu incumbent dikalahkan maupun menjabat kembali.
Pegawai Negeri Sipil dapat bebas secara profesional dan proporsional serta netral untuk melaksanakan fungsi-fungsi administrasi dan manajemen dalam variabel pelayanan publik dan pembangunan secara baik. Mereka mampu mengendarai roda-roda birokrasi dengan stabil untuk kesejahteraan masyarakat
Akhirnya kita hanya dapat menanti kebijakan pemerintah yang lebih cerdas dalam meihat dilema-dilema yang terjadi pada pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil, akankah berjalan begini seadanya selamanya atau ada angin perubahan untuk menjamin netralitas, kemandirian serta profesionalisme para Pegawai Negeri Sipil di seluruh nusantara.
Irfan Setiawan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Sebaiknya DP3 PNS harus diganti karena tidak menggambarkan hasil kerja seorang Pegawai Negeri Sipil yang profesional, salah satu buktinya masih banyak PNS yang menganggur pada jam kerja, bahkan ada yang keluyuran, tetapi di nilai AMAT BAIK.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk mengukur pelaksanaan pekerjaan PNS sudah ketinggalan zaman, karena tidak menggambarkan hasil kerja nyata seorang Pegawai negeri Sipil (PNS), dan unsur subyektivitas pejabat Penilai lebih Dominan, dan dilandasi unsur Like and di Like (suka dan tidak suka).
Posting Komentar