Kamis, 18 September 2008
PROSPEK PENGEMBANGAN KACANG KEDELAI
Penghujung tahun 2007 baru saja kita lalui, sebagai sebuah pertanda masuknya era yang bagi khalayak umum memberikan semangat dan harapan baru bagi kemajuan bangsa yang masih dalam keterpurukan ini. Betapa tidak, carut marutnya situasi politik yang ditandai dengan begitu maraknya aksi menentang hampir setiap kebijakan pemerintah yang dikeluarkan, seakan telah menjadi headline berita sehari-hari. Makin menurunnya moral bangsa dengan berbagai tindak criminal yang diperbuatnya hingga kebijakan ekonomi yang makin tak berpihak pada kesejahteraan rakyat, semakin menambah panjang catatan kelam bangsa dimasa yang telah berlalu.
Namun, kondisi yang kita temui saat ini ternyata jauh panggang dari api. Tak ada yang berbeda. Menghadapi persoalan bangsa ini, seolah mengurai simpul yang tak pernah ada habisnya. Baru beberapa hari ‘era baru’ ini kita lalui, bangsa ini kembali dihantam oleh krisis ekonomi, kelangkaan minyak tanah dan mencuatnya harga kedelai hingga 200%.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Bangsa Indonesia yang dikenal kaya akan sumber daya mineralnya serta produksi pertaniannya, justru menjadi bangsa yang kekurangan dan tak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sebagian menilai ini sebagai sebuah ‘kutukan’, akibat masyarakatnya yang enggan bekerja keras lantaran segalanya telah tersedia disekitarnya. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa kebijakan pemerintah pun kerapkali tidak memiliki strategi yang matang.
B. KEBIJAKAN STRATEGIS SWASEMBADA KACANG KEDELAI
Kelangkaan minyak tanah dipasaran mungkin sudah menjadi hal biasa bagi sebagian kalangan. Namun naiknya harga kedelai dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 7.800/kg sungguh merupakan berita besar karena kenaikan ini merupakan yang tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Akibatnya ribuan produsen tahu dan tempe diseluruh tanah air gulung tikar. Mereka benar-benar terpukul. Sebagian terpaksa mengurangi jumlah pekerja, memperkecil ukuran dan menurunkan kualitas, menaikkan harga hingga menghentikan produksinya. Tak pelak, perekonomian nasional pun terpukul dalam karena produksi tahu dan tempe ini merupakan produksi menengah kebawah yang cukup banyak menyerap tenaga kerja.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, mengatakan gejolak harga kedelai disebabkan oleh masalah klasik yakni turunnya produksi dalam negeri dan naiknya harga di pasar global. Menurut catatan BPS pada tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Ada banyak penyebab turunnya produksi kedelai nasional diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam.
Jika kita melihat tingkat kebutuhan kedelai dalam negeri yang mencapai 1,9 juta-2 juta ton per tahun (Seputar Indonesia,16 januari 2008), maka sekitar 70% kebutuhan kedelai bergantung pada impor dari luar negeri. Hal ini praktis menyebabkan naiknya harga kedelai dunia yang saat ini mencapai 100% dari 300 dollar AS per ton menjadi 600 dollar AS per ton, memberikan dampak yang cukup signifikan bagi harga kedelai nasional.
Kebijakan impor yang dominan terhadap produksi nasional ini sesungguhnya justru semakin memperpuruk perekonomian rakyat. Jika kita melihat kembali kebijakan yang dilakukan pemerintah pada tahun 1999, dengan kebijakan pasar bebasnya pemerintah membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk. Waktu itu pasar nasional dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani tertekan, petani banyak yang merugi dan sebagai akibatnya banyak petani yang hengkang dari produksi kedelai.
Kebijakan impor akan bertambah rumit ketika nuansa politik ketika nuansa politik ikut menyelimuti perdagangan antar negara ini. Sejahrahwan Prof. Onghokham, yang meneliti impor menjelang Pemilu pertama tahun 1955 menyatakan bahwa menjelang Pemilu kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang berafialiasi dengan partai politik tertentu cenderung meningkat. Penelitian itu memang tidak mengungkap sejauh mana keterkaitan mereka dengan kebutuhan dana untuk partai tertentu. Akan tetapi, penelitian tersebut mengingatkan kita tentang betapa besar kebutuhan dana untuk menghidupi partai politik, dan kedelai merupakan komoditas yang cukup mudah dicairkan menjadi dana segar.
Keadaan ini diperparah dengan kebijakan pertanian yang keliru. Pemerintah mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas seperti kelapa sawit, disisi lain pembangunan tanaman pangan terbengkalai. Sedangkan infrastruktur irigasi tidak digunakan bahkan yang sudah ada pun tidak dipelihara sehingga kuantitas dan kualitasnya menurun. Sementara itu, jumlah lahan pertanian pangan terus menyusut dan tidak dijalankannya pembaruan agrarian. Disamping itu janji pemerintah untuk membagi-bagikan lahan kepada petani melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak ada perwujudannya. Sehingga wajar jika para petani sudah tidak tertarik lagi menanam kedelai karena tidak adanya insentif bagi petani untuk menanam kedelai dan harga kedelai dipasar tidak bisa menutupi ongkos produksi.
Menyangkut solusi gejolak harga kedelai saat ini, memang perlu diadakan operasi pasar untuk menurunkan dan menyetabilkan harga. Untuk sementara waktu, pendapat ketua IV bidang profesi Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Ir Nur Hidayat dengan melakukan substitusi bisa diterapkan. Substitusi atau bahan pengganti bisa ditempuh dengan mengkombinasikan antara kacang kedelai impor dengan kedelai local. Jika dirasa masih mahal, maka bisa dicari bahan baku lain yang tetap berasal dari kacang-kacangan. Misalnya kacang hijau, koro, isi kacang panjang dan bahkan petai Cina.
Namun secara jangka panjang kita harus berswasembada kedelai karena kedelai yang ada di pasar dunia tidak akan mencukupi kebutuhan Indonesia jikalau produksi nasional terus turun. Untuk mencapai swasembada itu ada tiga hal utama yang harus dilakukan pemerintah, pertama, segera melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, membangun infrastruktuir di pedesaan seperti irigasi dan jalan-jalan desa bukan hanya jalan tol saja yang dibangun. Ketiga, tegakkan kedaulatan pangan dengan cara berswasembada dan melepaskan ketergantungan terhadap mekanisme pasar bebas.
Mengenai kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif impor dari 10% hingga 0% sesungguhnya takkan mampu memberikan dampak yang signifikan, jika pada kenyataannya impor masih tetap dominan. Yang justru nampak dari kondisi ini adalah kealpaan kebijakan dalam ketahanan pangan. Pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan atas produksi dan system komoditas kedelai yang mapan jika menghadapkan petani dengan pasar global. Akhirnya seperti realita saat ini, petani kalah dalam persaingan global yang dibiarkan oleh pemerintah. Jelas saja, karena kemampuan kolektif pemerintah menyiasati kebijakan perdagangan kedelai hanya mengambil jalan pintas yang bebas. Pakar ekonom Didik J Rachbini mengatakan, kebijakan tersebut bersifat liberal yang mematikan potensi petani.
C. PENUTUP
Tarif impor yang ditetapkan sangat tidak signifikan sehingga cukup amunisi bagi produk impor untuk mematikan petani. Tarif yang ada sebelum diturunkan hanya formalitas, yang tidak ada arti bagi perlindungan petani. Tarif rendah di masa lalu juga merupakan visi liberal dari pemerintah saat ini. Ketika tarif diturunkan sebagai usaha untuk mengatasi kekurangan pasokan dan harga tinggi, kebijakan itu pun merupakan kebijakan tidak serius yang bisa dianggap membohongi publik. Pemerintah seolah-olah berbuat sesuatu untuk mengatasi permasalahan kedelai dengan suatu kebijakan, padahal kebijakan itu kosong (Seputar Indonesia, 16 Januari 2008).
Sehingga jelas pokok akar permasalahan yang sesungguhnya adalah kecenderungan pemerintah menerapkan system ekonomi liberal melalui perdagangan bebasnya tanpa meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri secara optimal. Kebijakan ini pada akhirnya hanya akan memberikan keuntungan bagi para pemilik modal. Sedangkan rakyat yang seharusnya menjadi subyek utama pembangunan dan pemerataan kesejahteraan justru harus merasakan pahitnya beban ekonomi yang tidak seharusnya mereka rasakan.
Namun, kondisi yang kita temui saat ini ternyata jauh panggang dari api. Tak ada yang berbeda. Menghadapi persoalan bangsa ini, seolah mengurai simpul yang tak pernah ada habisnya. Baru beberapa hari ‘era baru’ ini kita lalui, bangsa ini kembali dihantam oleh krisis ekonomi, kelangkaan minyak tanah dan mencuatnya harga kedelai hingga 200%.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Bangsa Indonesia yang dikenal kaya akan sumber daya mineralnya serta produksi pertaniannya, justru menjadi bangsa yang kekurangan dan tak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sebagian menilai ini sebagai sebuah ‘kutukan’, akibat masyarakatnya yang enggan bekerja keras lantaran segalanya telah tersedia disekitarnya. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa kebijakan pemerintah pun kerapkali tidak memiliki strategi yang matang.
B. KEBIJAKAN STRATEGIS SWASEMBADA KACANG KEDELAI
Kelangkaan minyak tanah dipasaran mungkin sudah menjadi hal biasa bagi sebagian kalangan. Namun naiknya harga kedelai dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 7.800/kg sungguh merupakan berita besar karena kenaikan ini merupakan yang tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Akibatnya ribuan produsen tahu dan tempe diseluruh tanah air gulung tikar. Mereka benar-benar terpukul. Sebagian terpaksa mengurangi jumlah pekerja, memperkecil ukuran dan menurunkan kualitas, menaikkan harga hingga menghentikan produksinya. Tak pelak, perekonomian nasional pun terpukul dalam karena produksi tahu dan tempe ini merupakan produksi menengah kebawah yang cukup banyak menyerap tenaga kerja.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, mengatakan gejolak harga kedelai disebabkan oleh masalah klasik yakni turunnya produksi dalam negeri dan naiknya harga di pasar global. Menurut catatan BPS pada tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Ada banyak penyebab turunnya produksi kedelai nasional diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam.
Jika kita melihat tingkat kebutuhan kedelai dalam negeri yang mencapai 1,9 juta-2 juta ton per tahun (Seputar Indonesia,16 januari 2008), maka sekitar 70% kebutuhan kedelai bergantung pada impor dari luar negeri. Hal ini praktis menyebabkan naiknya harga kedelai dunia yang saat ini mencapai 100% dari 300 dollar AS per ton menjadi 600 dollar AS per ton, memberikan dampak yang cukup signifikan bagi harga kedelai nasional.
Kebijakan impor yang dominan terhadap produksi nasional ini sesungguhnya justru semakin memperpuruk perekonomian rakyat. Jika kita melihat kembali kebijakan yang dilakukan pemerintah pada tahun 1999, dengan kebijakan pasar bebasnya pemerintah membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk. Waktu itu pasar nasional dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani tertekan, petani banyak yang merugi dan sebagai akibatnya banyak petani yang hengkang dari produksi kedelai.
Kebijakan impor akan bertambah rumit ketika nuansa politik ketika nuansa politik ikut menyelimuti perdagangan antar negara ini. Sejahrahwan Prof. Onghokham, yang meneliti impor menjelang Pemilu pertama tahun 1955 menyatakan bahwa menjelang Pemilu kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang berafialiasi dengan partai politik tertentu cenderung meningkat. Penelitian itu memang tidak mengungkap sejauh mana keterkaitan mereka dengan kebutuhan dana untuk partai tertentu. Akan tetapi, penelitian tersebut mengingatkan kita tentang betapa besar kebutuhan dana untuk menghidupi partai politik, dan kedelai merupakan komoditas yang cukup mudah dicairkan menjadi dana segar.
Keadaan ini diperparah dengan kebijakan pertanian yang keliru. Pemerintah mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas seperti kelapa sawit, disisi lain pembangunan tanaman pangan terbengkalai. Sedangkan infrastruktur irigasi tidak digunakan bahkan yang sudah ada pun tidak dipelihara sehingga kuantitas dan kualitasnya menurun. Sementara itu, jumlah lahan pertanian pangan terus menyusut dan tidak dijalankannya pembaruan agrarian. Disamping itu janji pemerintah untuk membagi-bagikan lahan kepada petani melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak ada perwujudannya. Sehingga wajar jika para petani sudah tidak tertarik lagi menanam kedelai karena tidak adanya insentif bagi petani untuk menanam kedelai dan harga kedelai dipasar tidak bisa menutupi ongkos produksi.
Menyangkut solusi gejolak harga kedelai saat ini, memang perlu diadakan operasi pasar untuk menurunkan dan menyetabilkan harga. Untuk sementara waktu, pendapat ketua IV bidang profesi Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Ir Nur Hidayat dengan melakukan substitusi bisa diterapkan. Substitusi atau bahan pengganti bisa ditempuh dengan mengkombinasikan antara kacang kedelai impor dengan kedelai local. Jika dirasa masih mahal, maka bisa dicari bahan baku lain yang tetap berasal dari kacang-kacangan. Misalnya kacang hijau, koro, isi kacang panjang dan bahkan petai Cina.
Namun secara jangka panjang kita harus berswasembada kedelai karena kedelai yang ada di pasar dunia tidak akan mencukupi kebutuhan Indonesia jikalau produksi nasional terus turun. Untuk mencapai swasembada itu ada tiga hal utama yang harus dilakukan pemerintah, pertama, segera melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, membangun infrastruktuir di pedesaan seperti irigasi dan jalan-jalan desa bukan hanya jalan tol saja yang dibangun. Ketiga, tegakkan kedaulatan pangan dengan cara berswasembada dan melepaskan ketergantungan terhadap mekanisme pasar bebas.
Mengenai kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif impor dari 10% hingga 0% sesungguhnya takkan mampu memberikan dampak yang signifikan, jika pada kenyataannya impor masih tetap dominan. Yang justru nampak dari kondisi ini adalah kealpaan kebijakan dalam ketahanan pangan. Pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan atas produksi dan system komoditas kedelai yang mapan jika menghadapkan petani dengan pasar global. Akhirnya seperti realita saat ini, petani kalah dalam persaingan global yang dibiarkan oleh pemerintah. Jelas saja, karena kemampuan kolektif pemerintah menyiasati kebijakan perdagangan kedelai hanya mengambil jalan pintas yang bebas. Pakar ekonom Didik J Rachbini mengatakan, kebijakan tersebut bersifat liberal yang mematikan potensi petani.
C. PENUTUP
Tarif impor yang ditetapkan sangat tidak signifikan sehingga cukup amunisi bagi produk impor untuk mematikan petani. Tarif yang ada sebelum diturunkan hanya formalitas, yang tidak ada arti bagi perlindungan petani. Tarif rendah di masa lalu juga merupakan visi liberal dari pemerintah saat ini. Ketika tarif diturunkan sebagai usaha untuk mengatasi kekurangan pasokan dan harga tinggi, kebijakan itu pun merupakan kebijakan tidak serius yang bisa dianggap membohongi publik. Pemerintah seolah-olah berbuat sesuatu untuk mengatasi permasalahan kedelai dengan suatu kebijakan, padahal kebijakan itu kosong (Seputar Indonesia, 16 Januari 2008).
Sehingga jelas pokok akar permasalahan yang sesungguhnya adalah kecenderungan pemerintah menerapkan system ekonomi liberal melalui perdagangan bebasnya tanpa meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri secara optimal. Kebijakan ini pada akhirnya hanya akan memberikan keuntungan bagi para pemilik modal. Sedangkan rakyat yang seharusnya menjadi subyek utama pembangunan dan pemerataan kesejahteraan justru harus merasakan pahitnya beban ekonomi yang tidak seharusnya mereka rasakan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar