Jumat, 19 September 2008
Pemulihan Ekonomi Nasional dan Tanggungjawab Daerah
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997, belum juga berhasil dipulihkan. Berbagai upaya telah, sedang dan akan dilakukan tidak kurang oleh empat kepemimpinan nasional secara berturut-turut. Tapi, harus diakui bahwa, pemulihan krisis seolah menjadi warisan sejarah yang terus akan menjadi beban, atau paling tidak sebagai tantangan utama bagi penerus bangsa. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian adalah hubungan antara pemulihan ekonomi dengan pelaksanan desentralisasi.
Seperti diketahui, di tengah krisis ekonomi bahkan krisis multidimensi, pemerintah mengeluarkan UU 22/1999 dan UU 25/1999 sebagai instrumen kehendak otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kendatipun sementara pakar menyebutkan bahwa, berbeda dengan pengalaman beberapa negara lain yang menerapkan kebijakan desentralisasi dalam situasi tidak mengalami krisis, untuk kasus Indonesia justru sebaliknya. Maksudnya, kebijakan desentralisasi di Indonesia dilaksanakan di tengah krisis dan bahkan diharapkan menjadi salah satu obat penawar krisis.
Dua tahun implementasi otonomi daerah diwarnai dengan dinamika yang tinggi di berbagai tingkatan; nasional, provinsi dan bahkan di tingkat masyarakat dan dunia usaha. Beberapa isu penting mewarnai periode awal implementasi ini, di antaranya terkait dengan penataan urusan pemerintahan, perimbangan keuangan, pengelolaan aset dan utamanya personil, hubungan segiempat pemerintah daerah, DPRD, masyarakat dan dunia usaha, serta yang juga menonjol adalah akuntabilias pemerintahan daerah. Ketegangan juga terjadi, antara instansi pusat, antara instansi pusat dengan daerah, antara provinsi dengan kabupaten/kota, antara daerah otonom, bahkan antara masyarakat termasuk dunia usaha dengan pemerintah daerah. Kesemua ini haruslah dipandang sebagai bagian proses menuju keseimbangan dinamis baru, yang lebih baik, lebih efisien, efektif dan berdaya saing.
Pola Sistemik
Harus diakui bawah selalu terdapat keterkaitan sistemik antara pembangunan daerah dengan pembangunan nasional. Demikian pula antara gejala dan perlilaku sistemik krisis ekonomi nasional: selalu ada hubungan antara dinamika nasional dengan dinamika daerah. Tapi, memang seringkali tidak secara mudah dan tepat dapat diidentifikasi variabel-variabel kunci yang menyusun struktur sistemik krisis ini. Dalam kesempatan refleksi ini, ada baiknya kita renungkan salah satu pertanyaan penting: apa peranan dan tanggungjawab daerah dalam mewujudkan pemulihan krisis?
Barangkali ada baiknya dicermati angka-angka dalam RAPBN tahun 2003. Dari pos pengeluaran rutin, tergambar besarnya beban pembayaran bunga utang tahun 2002 tidak kurang mencapai 88,5 triliun rupiah; masing-masing 59,5 triliun bunga utang dalam negeri dan 29,0 triliun bunga utang luar negeri. Sementara proyeksi beban pos yang sama untuk tahun 2003 diperkirakan tidak kurang dari 80 triliun rupiah. Bunganya saja sudah sedemikian besar, bagaimana dengan pokoknya? Konon, tidak kurang dari 1300 triliun rupiah.
Angka lain yang juga perlu dicermati adalah pos belanja untuk daerah. Tahun 2003, diperkirakan tidak kurang dari 113 triliun dana nasional yang dialokasikan ke daerah, baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana otonomi khusus dan penyeimbang. Angka ini sudah lebih dari tiga kali lipat dibanding besaran dana nasional yang didaerahkan pada tahun 2000, yang mencapai sekitar 35 triliun rupiah. Apakah artinya ini?
Tidak lain adalah, manakala kita berbicara tentang pemulihan ekonomi, termasuk pembayaran bunga utang dan pokoknya seperti disebut di atas, maka peranan anggaran 113 triliun rupiah yang didaerahkan itu menjadi sangat penting. Daerah, selain mendapat pelimpahan penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka otonomi termasuk perimbangan keuangan, juga pada saat yang sama punya tanggung jawab besar dalam pemulihan ekonomi. Singkatnya, bagaimanakah masing-masing daerah secara optimum memanfaatkan dana yang diterimanya, yang akumulatif 113 triliun tersebut, untuk menjadi mesin pertumbuhan daerah ,sekaligus menjadi mesin pemulihan nasional?
Otonomi daerah telah menjadikan setiap daerah sebagai pusat peningkatan produktivitas nasional. Ini bukan hanya keinginan, tapi sudah sebagai keharusan. Sayang sekali, masih sering ditengarai adanya kesenjangan antara keharusan dengan apa yang berkembangan di sementara daerah. Beberapa ilustrasi menggambarkan fenomena ini.
Pertama, masih sering terdengar keluhan dari para pengusaha, baik domestik maupun manca negara. Dalam pertemuan para usahawan internasional di Singapura baru-baru ini, mencuat isu “local custom” di beberapa daerah di Indonesia. Bila ternyata masih ada daerah yang lebih suka mengenakan beban-beban berlebih, baik berupa pajak dan retribusi daerah maupun beban pungutan lain, sehingga dikesankan adanya local custom ini, jelas hal ini tidak kondusif bagi upaya peningkatan produktivitas daerah.
Memang dapat dimengerti, bila daerah memerlukan pembiayaan, yang salah satu sumbernya berupa PAD. Kenyatannya juga, kontribusi PAD dalam APBD bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Ada daerah yang kontribusi PAD dalam APBD lebih besar dari 20%, tapi ada juga daerah yang kontribusi PADnya dalam APBD hanya 3%. Tapi apapun situasinya, secara umum dapat dikategorikan dua fenomena yang berbeda berkenaan dengan hubungan antara PAD dengan pertumbuhan daerah.
Suatu daerah dapat mengumpulkan PAD, ex ante, tanpa perlu mempertimbangkan masak-masak implikasinya terhadap produktivitas dan pertumbuhan daerah. Hal ini ditunjukkan oleh sementara daerah yang sejak mula implimenetasi otonomi daerah berorientasi meningkatkan sebesar-besarnya PAD. Disadari atau tidak, kebijakan seperti ini jelas mengurangi minat para investor untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut. Dengan sedikitnya minat investor, dengan sendirinya akan menurunkan kemampuan daerah tersebut untuk mengumpulkan PAD, misalnya karena tidak berkembangnya hiburan dan restoran tentu tidak terkumpulnya pajak hiburan dan restoran. Kerugian lain yang diderita oleh daerah semacam ini adalah tidak berkembangnya kesempatan kerja.
Sebaliknya, suatu daerah juga dapat berorientasi memungut PAD, ex post, mendorong produktivitas dan pertumbuhan terlebih dahulu baru memungutnya. Bila investor suka hati berusaha di daerah tersebut, kesempatan kerja meningkat, kegiatan ekonomi tumbuh, termasuk restoran, hiburan dan pariwisata. Dengan pertumbuhan sektor-sektor yang terakhir ini dengan sendirinyapun pajak dan retribusi daerah atau PAD meningkat.
Catatan dua tahun terakhir ini, tampaknya ada daerah yang masih berorientasi pada pengumpulan PAD terlebih dahulu, tapi tidak sedikit juga yang sudah berorientasi mendorong pertumbuhan dahulu. Contoh yang terakhir ini adalah Provinsi Gorontalo. Berulang kali dikemukakan oleh Gubernur Provinsi Gorontalo: anti retribusi daerah, dan dorong produktivitas. Utamanya produktivitas komoditi jagung. Walaupun dikatakan anti retribusi daerah, maksudnya adalah untuk menekankan betapa pentinganya peningkatan pertumbuhan daerah terlebih dahulu, barulah dipetik hasilnya, antara lain berupa PAD.
Kedua, ada daerah yang selalu merasa kekurangan dana perimbangan, dan cenderung menuntut kenaikan DAU. Harus dipahami bahwa DAU bukanlah dana yang berasal dari negeri antah berantah. DAU adalah bagian dana perimbangan yang diperoleh dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN), yang nilainya minimal 25%. Kenaikan DAU suatu daerah hanya dapat diperoleh melalui (1) penurunan DAU daerah lain manakala total aloksinya tetap, (2) penurunan alokasi pusat manakala persentase alokasi DAU dari PDN naik, atau (3) kenaikan PDN.
Kenaikan PDN diperoleh melalui kenaikan pajak dalam negeri termasuk cukai, pajak perdagangan internasional, dan penerimaan negara bukan pajak. Untuk menaikkan pajak-pajak ini tentu dibutuhkan pertumbuhan dan peningkatan produktivitas badan-badan usaha domestik, BUMN maupun asing. Pertanyaannya, daerah manakah yang terus berusaha menarik sebanyak mungkin badan-badan usaha produktiv ini untuk berusaha di daerahnya? Bila ternyata suatu daerah lebih berorientasi pada peningatan PAD sejak awal dan mengorbankan prioritas pertumbuhan, jelas daerah ini tidak menyumbang pada PDN yang akan dibagikan ke dalam bentuk DAU.
Memang disadari ada daerah yang menyumbang sangat besar ke dalam PDN seperti DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan beberapa daerah lain. Tapi juga tidak sedikit daerah yang lebih banyak tergantung pada sumbangan PDN. Inilah mozaik Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Otonomi Daerah dimaksudkan untuk memperkaya mozaik ini berupa bertumbuhnya daerah sekaligus kuatnya negara kesatuan. Dengan sendirinya semakin banyak daerah yang bertumbuh cepat, semakin kuat pulalah negara kesatuan.
Ketiga, diskusi tentang upaya peningkatan produktivitas daerah tentu menyentuh tentang struktur APBD: apakah pemerintah daerah dan DPRD telah menyusun APBD untuk sebesar-besarnya kepentingan pertumbuhan daerah? Apakah alokasi untuk belanja publik relatif lebih besar daripada belanja adminitrasi? Bila masih terdapat kecenderungan alokasi belanja publik yang rendah tentu ini tidak sejalan dengan upaya mendorong produktivitas daerah.
Sebagai ilustrasi misalnya ada dinas pertanian kabupaten memperoleh alokasi anggaran sebesar 6 milyar rupiah. Pertanyaan kuncinya adalah; berapa besar porsi anggaran dialokasikan untuk mendorong produktivitas perbenihan, penanaman, pemeliharan, pemanenan, pemasaran serta pengolahan komoditas pertanian dibandingkan dengan porsi anggaran untuk adminitrasi dinas pertanian tersebut?
Tolok ukur lain tentang hal ini adalah ketaatatan DPRD terhadap Peraturan Pemerintah 110/2000. PP ini mengatur tentang batas maksimum untuk pengeluaran DPRD. Prinsipnya bila DPRD membatasi pengeluarannya seperti yang diatur dalam PP ini, maka semakin besarlah porsi anggaran untuk pelayanan masyarakat. Dengan demikian juga semakin besar kesempatan untuk mendorong produktivitas daerah. Sayang sekali, masih terdengar keluhan di beberapa daerah, yang DPRDnya secara sadar melanggar ketentuan ini. Bila demikian ini dapat dikatakan bahwa DPRD belum berorientasi sepenuhnya pada upaya mendorong produktivitas daerah.
Keempat, beberapa aspek terkait dengan pinjaman dan kerjasama daerah. Sepanjang tahun 2001 dan 2002 terjadi diskusi hangat tentang boleh tidaknya daerah meminjam langsung kepada sumber-sumber pendanaan luar negeri. Indikasi ke arah kebolehan ini memang tercermin dalam UU 22/1999 dan UU 25/1999. Yang harus diperhitungkan adalah implikasi sistemiknya manakala setiap daerah boleh meminjam langsung ke luar negeri. Bagaimanapun juga pinjaman luar negeri terkait dengan peluang terjaminnnya usaha di masa depan. Apakah selalu ada jaminan bahwa pinjaman-pinjaman tersebut di masa depan memperoleh kepastian pengembalian, baik oleh karena alasan ekonomik, politik maupun alasan lainnya kondisional setempat. Inilah kekhawatiran, termasuk yang disampaikan oleh negara dan badan-badan donor internasional sejak sidang CGI di Tokyo Oktober 2000.
Masih banyak faktor dan alasan mengapa kita harus sangat hati-hati menerapkan kebijakan pinjaman luar negeri langsung bagi daerah. Masalah akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, dinamika politik lokal, pengalaman internasional termasuk Argentina dan bahkan Amerika sendiri tampaknya alternatif pembiayaan dua tahap seperti dilakukan selama ini tetap merupakan pilihan kebijakan yang optimal.
Tampaknya, lebih baih bila daerah tidak berpikir terlalu jauh tentang pencarian pinjaman langsung dari luar negeri ini. Tanggung jawab daerah adalah memanfaatkan potensi keuangannya, termasuk dana perimbangan, untuk mendorong investor dalam dan luar negeri supaya produktivitas daerah meningkat sebesar-besarnya. Masing-masing daerah harus berhemat sesuai kapasitas keuangannya, dan pada saat yang sama berrtanggungjawab secara akumulatif memaksimalkan kegunaan dana 113 triliun itu. (Dr.Ir Sudarsono, MA, Kepala Badan Diklat Depdagri, dan dosen FISIP UI)
Seperti diketahui, di tengah krisis ekonomi bahkan krisis multidimensi, pemerintah mengeluarkan UU 22/1999 dan UU 25/1999 sebagai instrumen kehendak otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kendatipun sementara pakar menyebutkan bahwa, berbeda dengan pengalaman beberapa negara lain yang menerapkan kebijakan desentralisasi dalam situasi tidak mengalami krisis, untuk kasus Indonesia justru sebaliknya. Maksudnya, kebijakan desentralisasi di Indonesia dilaksanakan di tengah krisis dan bahkan diharapkan menjadi salah satu obat penawar krisis.
Dua tahun implementasi otonomi daerah diwarnai dengan dinamika yang tinggi di berbagai tingkatan; nasional, provinsi dan bahkan di tingkat masyarakat dan dunia usaha. Beberapa isu penting mewarnai periode awal implementasi ini, di antaranya terkait dengan penataan urusan pemerintahan, perimbangan keuangan, pengelolaan aset dan utamanya personil, hubungan segiempat pemerintah daerah, DPRD, masyarakat dan dunia usaha, serta yang juga menonjol adalah akuntabilias pemerintahan daerah. Ketegangan juga terjadi, antara instansi pusat, antara instansi pusat dengan daerah, antara provinsi dengan kabupaten/kota, antara daerah otonom, bahkan antara masyarakat termasuk dunia usaha dengan pemerintah daerah. Kesemua ini haruslah dipandang sebagai bagian proses menuju keseimbangan dinamis baru, yang lebih baik, lebih efisien, efektif dan berdaya saing.
Pola Sistemik
Harus diakui bawah selalu terdapat keterkaitan sistemik antara pembangunan daerah dengan pembangunan nasional. Demikian pula antara gejala dan perlilaku sistemik krisis ekonomi nasional: selalu ada hubungan antara dinamika nasional dengan dinamika daerah. Tapi, memang seringkali tidak secara mudah dan tepat dapat diidentifikasi variabel-variabel kunci yang menyusun struktur sistemik krisis ini. Dalam kesempatan refleksi ini, ada baiknya kita renungkan salah satu pertanyaan penting: apa peranan dan tanggungjawab daerah dalam mewujudkan pemulihan krisis?
Barangkali ada baiknya dicermati angka-angka dalam RAPBN tahun 2003. Dari pos pengeluaran rutin, tergambar besarnya beban pembayaran bunga utang tahun 2002 tidak kurang mencapai 88,5 triliun rupiah; masing-masing 59,5 triliun bunga utang dalam negeri dan 29,0 triliun bunga utang luar negeri. Sementara proyeksi beban pos yang sama untuk tahun 2003 diperkirakan tidak kurang dari 80 triliun rupiah. Bunganya saja sudah sedemikian besar, bagaimana dengan pokoknya? Konon, tidak kurang dari 1300 triliun rupiah.
Angka lain yang juga perlu dicermati adalah pos belanja untuk daerah. Tahun 2003, diperkirakan tidak kurang dari 113 triliun dana nasional yang dialokasikan ke daerah, baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana otonomi khusus dan penyeimbang. Angka ini sudah lebih dari tiga kali lipat dibanding besaran dana nasional yang didaerahkan pada tahun 2000, yang mencapai sekitar 35 triliun rupiah. Apakah artinya ini?
Tidak lain adalah, manakala kita berbicara tentang pemulihan ekonomi, termasuk pembayaran bunga utang dan pokoknya seperti disebut di atas, maka peranan anggaran 113 triliun rupiah yang didaerahkan itu menjadi sangat penting. Daerah, selain mendapat pelimpahan penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka otonomi termasuk perimbangan keuangan, juga pada saat yang sama punya tanggung jawab besar dalam pemulihan ekonomi. Singkatnya, bagaimanakah masing-masing daerah secara optimum memanfaatkan dana yang diterimanya, yang akumulatif 113 triliun tersebut, untuk menjadi mesin pertumbuhan daerah ,sekaligus menjadi mesin pemulihan nasional?
Otonomi daerah telah menjadikan setiap daerah sebagai pusat peningkatan produktivitas nasional. Ini bukan hanya keinginan, tapi sudah sebagai keharusan. Sayang sekali, masih sering ditengarai adanya kesenjangan antara keharusan dengan apa yang berkembangan di sementara daerah. Beberapa ilustrasi menggambarkan fenomena ini.
Pertama, masih sering terdengar keluhan dari para pengusaha, baik domestik maupun manca negara. Dalam pertemuan para usahawan internasional di Singapura baru-baru ini, mencuat isu “local custom” di beberapa daerah di Indonesia. Bila ternyata masih ada daerah yang lebih suka mengenakan beban-beban berlebih, baik berupa pajak dan retribusi daerah maupun beban pungutan lain, sehingga dikesankan adanya local custom ini, jelas hal ini tidak kondusif bagi upaya peningkatan produktivitas daerah.
Memang dapat dimengerti, bila daerah memerlukan pembiayaan, yang salah satu sumbernya berupa PAD. Kenyatannya juga, kontribusi PAD dalam APBD bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Ada daerah yang kontribusi PAD dalam APBD lebih besar dari 20%, tapi ada juga daerah yang kontribusi PADnya dalam APBD hanya 3%. Tapi apapun situasinya, secara umum dapat dikategorikan dua fenomena yang berbeda berkenaan dengan hubungan antara PAD dengan pertumbuhan daerah.
Suatu daerah dapat mengumpulkan PAD, ex ante, tanpa perlu mempertimbangkan masak-masak implikasinya terhadap produktivitas dan pertumbuhan daerah. Hal ini ditunjukkan oleh sementara daerah yang sejak mula implimenetasi otonomi daerah berorientasi meningkatkan sebesar-besarnya PAD. Disadari atau tidak, kebijakan seperti ini jelas mengurangi minat para investor untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut. Dengan sedikitnya minat investor, dengan sendirinya akan menurunkan kemampuan daerah tersebut untuk mengumpulkan PAD, misalnya karena tidak berkembangnya hiburan dan restoran tentu tidak terkumpulnya pajak hiburan dan restoran. Kerugian lain yang diderita oleh daerah semacam ini adalah tidak berkembangnya kesempatan kerja.
Sebaliknya, suatu daerah juga dapat berorientasi memungut PAD, ex post, mendorong produktivitas dan pertumbuhan terlebih dahulu baru memungutnya. Bila investor suka hati berusaha di daerah tersebut, kesempatan kerja meningkat, kegiatan ekonomi tumbuh, termasuk restoran, hiburan dan pariwisata. Dengan pertumbuhan sektor-sektor yang terakhir ini dengan sendirinyapun pajak dan retribusi daerah atau PAD meningkat.
Catatan dua tahun terakhir ini, tampaknya ada daerah yang masih berorientasi pada pengumpulan PAD terlebih dahulu, tapi tidak sedikit juga yang sudah berorientasi mendorong pertumbuhan dahulu. Contoh yang terakhir ini adalah Provinsi Gorontalo. Berulang kali dikemukakan oleh Gubernur Provinsi Gorontalo: anti retribusi daerah, dan dorong produktivitas. Utamanya produktivitas komoditi jagung. Walaupun dikatakan anti retribusi daerah, maksudnya adalah untuk menekankan betapa pentinganya peningkatan pertumbuhan daerah terlebih dahulu, barulah dipetik hasilnya, antara lain berupa PAD.
Kedua, ada daerah yang selalu merasa kekurangan dana perimbangan, dan cenderung menuntut kenaikan DAU. Harus dipahami bahwa DAU bukanlah dana yang berasal dari negeri antah berantah. DAU adalah bagian dana perimbangan yang diperoleh dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN), yang nilainya minimal 25%. Kenaikan DAU suatu daerah hanya dapat diperoleh melalui (1) penurunan DAU daerah lain manakala total aloksinya tetap, (2) penurunan alokasi pusat manakala persentase alokasi DAU dari PDN naik, atau (3) kenaikan PDN.
Kenaikan PDN diperoleh melalui kenaikan pajak dalam negeri termasuk cukai, pajak perdagangan internasional, dan penerimaan negara bukan pajak. Untuk menaikkan pajak-pajak ini tentu dibutuhkan pertumbuhan dan peningkatan produktivitas badan-badan usaha domestik, BUMN maupun asing. Pertanyaannya, daerah manakah yang terus berusaha menarik sebanyak mungkin badan-badan usaha produktiv ini untuk berusaha di daerahnya? Bila ternyata suatu daerah lebih berorientasi pada peningatan PAD sejak awal dan mengorbankan prioritas pertumbuhan, jelas daerah ini tidak menyumbang pada PDN yang akan dibagikan ke dalam bentuk DAU.
Memang disadari ada daerah yang menyumbang sangat besar ke dalam PDN seperti DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan beberapa daerah lain. Tapi juga tidak sedikit daerah yang lebih banyak tergantung pada sumbangan PDN. Inilah mozaik Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Otonomi Daerah dimaksudkan untuk memperkaya mozaik ini berupa bertumbuhnya daerah sekaligus kuatnya negara kesatuan. Dengan sendirinya semakin banyak daerah yang bertumbuh cepat, semakin kuat pulalah negara kesatuan.
Ketiga, diskusi tentang upaya peningkatan produktivitas daerah tentu menyentuh tentang struktur APBD: apakah pemerintah daerah dan DPRD telah menyusun APBD untuk sebesar-besarnya kepentingan pertumbuhan daerah? Apakah alokasi untuk belanja publik relatif lebih besar daripada belanja adminitrasi? Bila masih terdapat kecenderungan alokasi belanja publik yang rendah tentu ini tidak sejalan dengan upaya mendorong produktivitas daerah.
Sebagai ilustrasi misalnya ada dinas pertanian kabupaten memperoleh alokasi anggaran sebesar 6 milyar rupiah. Pertanyaan kuncinya adalah; berapa besar porsi anggaran dialokasikan untuk mendorong produktivitas perbenihan, penanaman, pemeliharan, pemanenan, pemasaran serta pengolahan komoditas pertanian dibandingkan dengan porsi anggaran untuk adminitrasi dinas pertanian tersebut?
Tolok ukur lain tentang hal ini adalah ketaatatan DPRD terhadap Peraturan Pemerintah 110/2000. PP ini mengatur tentang batas maksimum untuk pengeluaran DPRD. Prinsipnya bila DPRD membatasi pengeluarannya seperti yang diatur dalam PP ini, maka semakin besarlah porsi anggaran untuk pelayanan masyarakat. Dengan demikian juga semakin besar kesempatan untuk mendorong produktivitas daerah. Sayang sekali, masih terdengar keluhan di beberapa daerah, yang DPRDnya secara sadar melanggar ketentuan ini. Bila demikian ini dapat dikatakan bahwa DPRD belum berorientasi sepenuhnya pada upaya mendorong produktivitas daerah.
Keempat, beberapa aspek terkait dengan pinjaman dan kerjasama daerah. Sepanjang tahun 2001 dan 2002 terjadi diskusi hangat tentang boleh tidaknya daerah meminjam langsung kepada sumber-sumber pendanaan luar negeri. Indikasi ke arah kebolehan ini memang tercermin dalam UU 22/1999 dan UU 25/1999. Yang harus diperhitungkan adalah implikasi sistemiknya manakala setiap daerah boleh meminjam langsung ke luar negeri. Bagaimanapun juga pinjaman luar negeri terkait dengan peluang terjaminnnya usaha di masa depan. Apakah selalu ada jaminan bahwa pinjaman-pinjaman tersebut di masa depan memperoleh kepastian pengembalian, baik oleh karena alasan ekonomik, politik maupun alasan lainnya kondisional setempat. Inilah kekhawatiran, termasuk yang disampaikan oleh negara dan badan-badan donor internasional sejak sidang CGI di Tokyo Oktober 2000.
Masih banyak faktor dan alasan mengapa kita harus sangat hati-hati menerapkan kebijakan pinjaman luar negeri langsung bagi daerah. Masalah akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, dinamika politik lokal, pengalaman internasional termasuk Argentina dan bahkan Amerika sendiri tampaknya alternatif pembiayaan dua tahap seperti dilakukan selama ini tetap merupakan pilihan kebijakan yang optimal.
Tampaknya, lebih baih bila daerah tidak berpikir terlalu jauh tentang pencarian pinjaman langsung dari luar negeri ini. Tanggung jawab daerah adalah memanfaatkan potensi keuangannya, termasuk dana perimbangan, untuk mendorong investor dalam dan luar negeri supaya produktivitas daerah meningkat sebesar-besarnya. Masing-masing daerah harus berhemat sesuai kapasitas keuangannya, dan pada saat yang sama berrtanggungjawab secara akumulatif memaksimalkan kegunaan dana 113 triliun itu. (Dr.Ir Sudarsono, MA, Kepala Badan Diklat Depdagri, dan dosen FISIP UI)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar