Jumat, 19 September 2008

REPOSISI DEPARTEMEN DALAM NEGERI

I. Latar Belakang

Berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa : Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar (propinsi) dan kecil (kabupaten/kota) dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang. Selanjutnya dalam pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, APBN dan hal keuangan negara diatur dengan Undang-undang. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pembagian daerah mempunyai konsekwensi terhadap pendelegasian kewenangan dan keuangan, dan untuk itu perlu diatur dalam format undang-undang, sehingga aspek pemerintah dan keuangan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu merupakan satu kesatuan yang utuh.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bentuk dan susunan pemerintahan (pusat dan daerah) telah diatur dan disempurnakan beberapa kali mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah dan yang terakhir adalah paket UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Semua UU memperlihatkan kaitan yang sangat signifikan antara aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan kapasitas keuangan daerah, baik dalam tataran sumber-sumber keuangannya maupun pada tataran administrasi dan manajemen keuangan daerah sebagai bagian manajemen pemerintahan secara umum, dalam meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarkaat.

Oleh karena itu setiap penyempurnaan UU tentang Pemerintahan Daerah selalu ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Pemerintahan (PP) bidang keuangan daerah yang merupakan landasan operasional dalam pengelolaan keuangan daerah, mulai dari aspek perencanaan anggaran, penata-usahaan, pelaksanaan dan perhitungan anggaran, pertanggungjawaban dan pengawasan. Gambaran umum perubahan tersebut dari waktu ke waktu adalah sebagai berikut:

1. UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah telah diikuti dengan PP Nomor 36 Tahun 1972 tentang Pengurusan, pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah dan PP Nomor 48 Tahun 1973 tentang Pedoman Penyelenggaraan Keuangan Daerah.

2. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan DI Daerah telah diikuti dengan PP Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah dan PP Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tatausaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD.

3. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah diikuti dengan PP Nomor 104 tahun 2000 tentang Dana Perimbangan dan PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang sesuai amanat dalam Pasal 14 PP Nomor 105 Tahun 2000 tersebut ditindak lanjuti dengan KEPMENDAGRI Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.

Selain dari pada itu, dalam konteks perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, pada tahun 1956 pemerintah telah mulai berupaya mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan menetapkan UU Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-Daerah Yang Berhak Mengurus Rumahtangganya Sendiri (Daerah Otonom). Dalam kenyataannya dengan pertimbangan tertentu peraturan dimaksud tidak pernah kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, pada awalnya melalui Alokasi Devisa Otomatis (ADO) yang selanjutnya diganti dengan kebijakan Subsidi Daerah Otonom (SDO) untuk kegiatan rutin dan INPRES untuk kegiatan pembangunan.


II. Kompetensi Pembinaan Bidang Keuangan Daerah Sesuai Tugas Pokok dan Fungsi

Berdasarkan fakta hukum dimaksud dan praktek-praktek pembinaan selama ini tidak dapat dipungkiri besarnya kompetensi DEPDAGRI secara komprehensif dan integratif dalam pembinaan pengelolaan keuangan daerah, seperti khususnya dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Perhitungan subsidi (SDO) dan bantuan pembangunan (INPRES) ke daerah. Dalam kaitan ini DDN bersama PEMDA memformulasikan kebutuhan dan jumlah alokasi dana untuk daerah, menyiapkan Surat Permintaan Penerbitan (SPP) SKO ke DEPKEU cq. Ditjen Anggaran.

2. Pengesahan PERDA APBD yang intinya untuk melihat akuntabilitas anggaran pada umumnya baik penerimaan maupun pengeluaran dan khususnya rencana penggunaan dana subsidi dan bantuan dari pemerintah. Kegiatan ini dilakukan berkoordinasi dengan BAPPENAS maupun instansi terkait lainnya.

3. Pengesahan PERDA Perhitungan APBD yang intinya untuk melihat kinerja dan devisa dalam pelaksanaan anggaran.

4. Kegiatan pembinaan yang dilakukan dalam format penyiapan regulasi, advisori, bimbingan teknis, dan pengembangan metoda, teknis, serta pemanfaatan teknologi di bidang pengelolaan keuangan daerah.

Selama kurun waktu yang begitu panjang, peraturan-peraturan yang dipergunakan sebagai acuan atau landasan hukum dalam pengelolaan keuangan negara hingga saat ini masih berkiblat pada ICW (Undang-undang Perbendaharaan Indonesia), walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian seperlunya tetapi tidak hialng dari prinsip dasarnya. Demikian pula aturan-aturan dalam pengelolaan keuangan daerah sebelum ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 juga masih mengacu pada ICW atau UU Perbendaharaaan Indonesia (UUPI), meskipun saat ini sedang diproses paket UU Keuangan Negara sebagai penggantinya. Dengan demikian spirit aturan bidang keuangan daerah pasca UU Nomor 22 Tahun 1999 sudah mengantisipasi hal tersebut (masa transisi) sesuai dinamika perubahan dan tuntutan masyarakat akan perlunya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah sebagai salah satu instrumen kebijakan publik.

Di dalam undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah tentang pemerintahan daerah pada umumnya dan keuangan daerah pada khususnya diamanatkan bahwa pembinaan dan pengawasan umum terhadap jalannya pemerintahan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Mengingat keuangan daerah merupakan salah satu substansi fungsi pemerintahan daerah tidak dapat dipisahkan terlebih-lebih di era otonomi daerah, maka hal-hal yang terkait dengan koordinasi kebijakan pengaturan keuangan daerah dengan sendirinya berada dalam pembinaan dan pengawasan Departemen Dalam Negeri. Hal ini juga sejalan dengan upaya pencapaian stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, politik dan kemasyarakat, serta pembangunan yang terintegrasi. Tentu dalam pelaksanannya tidak mengurangi kewenangan Departemen Keuangan dalam menentukan kebijakan makro keuangan derah (Badan Analisa Moneter dan Fiskal) maupun penyaluran alokasi dana ke daerah (Dirjen Anggaran) termasuk juga aspek pengawasan yang harus dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan BPKP.

Berkenaan dengan hal tersebut dan sesuai amanat yang diatur dalam UU maupun PP, maka peran sentral Departemen Dalam Negeri dalam pembinaan Keuangan Daerah diwujudkan melalui penyiapan berbagai instrumen manajemen dan penatausahaan sebagai pedoman atau acuan, baik yang bersifat standart/aturan (mandatory) maupun yang bersifat panduan umum/metoda (voluntary). Oleh karenanya sebagai tindaklanjut PP Nomor 5 Tahun 1975 dan PP Nomor 6 Tahun 1975, Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan beberapa peraturan dan keputusan sebagai pedoman bagi daerah antara lain:

1. Permendagri Nomor 11 Tahun 1975 tentang Contoh-contoh Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD;
2. Permendagri Nomor 1 Tahun 1980 tentang Petunjuk/Pedoman Tata Administrasi Bendaharawan Daerah;
3. Permendagri Nomor 2 Tahun 1994 jo. Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan APBD;
4. Permendagri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah;
5. Kepmendagri Nomor 903-269 Tahun 1986 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Tata Usaha Keuangan Daerah serta Perhitungan APBD;
6. Kepmendagri Nomor 903-379 Tahun 1987 tentang Penggunaan Sistim Digit Dalam Pelaksanaan APBD serta Petunjuk Teknis Tata Usaha Keuangan Daerah.

Selain itu, di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hal yang berkaitan dengan Keuangan Daerah juga diatur tersendiri yaitu pada Bab VIII Keuangan Daerah. Pasal 86 ayat (4) dan ayat (6) mengamanatkan hal-hal sebagai berikut:

• Ayat (4) Penyusunan, Perubahan dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
• Ayat (6) Pedoman tantang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan mangacu kepada ketentuan tersebut di atas, maka pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan pemerintah sebagai tindaklanjutnya, antara lain:

1. PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.
2. PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3. PP Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
4. PP Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
5. PP Nomor 109 Tahun 2000 Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
6. PP Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.

Pengelolaan keuangan daerah secara khusus lebih jelas dalam PP Nomor 105 Tahun 2000 yaitu pada Bagian Ketiga: Pengaturan tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Penegasan tersebut tercantum pada Pasal 14 ayat:

(1) Ketentuan tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Sistem dan Prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.
(4) Pedoman tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (4) tersebut di atas, maka Departemen Dalam Negeri telah menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD sebagai petunjuk / pedoman teknis bagi pemerintah daerah sebagai acuan utana pengelolaan keuangan daerah.


III. Distorsi Tugas Pokok Dan Fungsi

Jelaslah bahwa peranan DEPDAGRI dalam memberikan bimbingan dan supervisi dibidang pengelolaan keuangan daerah justru menjadi salah satu bagian penting dari pelaksanaan otonomi daerah, antara lain melalui adanya keadilan fiskal yang mampu meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah otonom.

Namun disisi lain adanya restrukturisasi organisasi Departemen, terutama dengan dibentuknya Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJ PKPD) di Departemen Keuangan telah menimbulkan kerancuan dalam penataan fungsi-funsgi yang bertumpu pada mekanisme pembinaan man, money, dan material, khususnya keterkaitannya antara aspek kewenangan dan keuangan yang terintegrasi.

Kondisi menjadi distortif mengingat fungsi-fungsi yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah yang sangat esential seperti fungsi alokasi dan stabilitas bantuan keuangan ke daerah, serta standarisasi administrasi pengelolaan keuangan daerah juga dilaksanakan oleh DEPKEU. Pada hal semestinya menurut azas dan praktek pengelolaan keuangan pemerintah yang sehat, Menteri Keuangan selaku Otorisator dan Bendaharawan Umum Negara (BUN) tidak boleh merangkap tugas atau fungsi lainnya dibidang pengelolaan keuangan negara, seperti fungsi perencanaan yang seharusnya menjadi tugas departemen sesuai dengan kompetensinya.

Seharusnya secara tegas fungsi Departemen Dalam Negeri dalam pembinaan pemerintah daerah baik kewenangan maupun keuangan daerah tidak rancu atau tercampur aduk dengan fungsi dan peran DEPKEU untuk menerbitkan dan menyalurkan SKO dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Kondisi demikian bila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan disparatis antara aspek penyelenggaraan pemerintahan, politik dan kemasyarakatan, dan pembangunan dengan aspek keuangan daerah serta memberikan peluang negatif bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan keuangan negara.

Munculnya DJ PKPD membentuk image yang keliru bagi daerah, seoralh-olah yang bertanggungjawab mambina keuangan daerah adalah DEPKEU, sebab dilingkungan DJ PKPD terdapat Direktorat yang tugasnya hampir sama dengan tugas-tugas yang terddapat pada Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah Ditjen OTDA. Oleh karena itu fasilitasi keuangan daerah yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah Ditjen Otda sering berbenturan dengan tugas yang dilaksanakan oleh DJ PKPD, terutama berkaitan dengan alokasi dana perimbangan baik bagi hasil, DAU, maupun DAK, dan standar akuntansi dan tata usaha pengelolaan keuangan daerah.

Selain itu, peran DJ PKPD yang merencanakan kriteria teknis alokasi DAU juga bersama komponen lainnya dilingkungan DEPKEU berupaya untuk melakukan pembinaan keuangan daerah yang selama ini telah menjadi tugas DEPDAGRI (perhatikan PP 5&6 Tahun 1975 dan PP 105 Tahun 2000 ps 14), yang sama sekali tidak ada kaitan tugas Depkeu antara lain:

1. Intervensi penataan sistem akuntansi keuangan daerah yang dilakukan oleh Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN). Yang terkahir ini seharusnya lebih berperan menata sistem akuntansi keuangan negara agar tercipta administrasi keuangan negara yang baik dan sehat.

2. Intervensi evaluasi dan pelaporan keuangan daerah yang dilaksanakan oleh Badan Infpormasi dan Teknologi Keuangan dan DJ PKPD DEPKEU (Sistemn Infpormasi Keuangan Daerah/SIKD). Pada hal Ditjen Otda cq. Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah salah satu tugasnya melakukan evaluasi dan menyiapkan laporan tentang informasi keuangan daerah, atas PERDA APBD yang disampaikan daerah 15 hari setelah ditetapkan. Karene alasan data dasar perhitungan DAU,maka dalam kenyataannya daerah lebih taan menyampaikan PERDA APBD-nya ke DEPKEU dari pada ke DEPDAGRI.

Kedua hal di atas tersebut pada gilirannya menjadikan peran Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua DPOD (seperti diamanatkan oleh UU 22/1999) juga tidak optimal. Beberapa hal berikut ini adalah indikasi distorsi tupoksi kedua Departemen yang disebabkan oleh adanya Ditjen PKPD:

1. Ditunjuknya DJ PKPD selaku Kepala Sekretraiat Perimbangan Keuangan DPOD yang kedudukannya dibawah Ditjen OTDA selaku Sekretaris DPOD seringkali tidak bisa mengkoordinasikan keputusan MENKEU dibidang perimbangan keuangan dengan Sekretaris DPOD. Sehingga sering keputusan MENKEU yang strategis dibidang perimbangan keuangan tidak dikoordinasikan terlebih dahulu bahkan MENDAGRI atau Ditjen OTDA tidak mengetahuinya.
Contoh kasus Bagi Hasil Migas Tahun 2002.

2. Perencanaan awal penentuan plafond dana perimbangan (DAU & DAK) dalam RAPBN tidak pernah dimintakan pertimbangan terlebih dahulu daro DPOD. Hal tersebut disebabkan Badan Analisa Fiskal lebih berperan dari DJ PKPD. Kendala ini mungkin disebabkan satu sisi DJ PKPD selaku Kepala Sekretariat DPOD dan disisi lain sebagai bawahan MENKEU sehingga sulit mendahulukan kepentingan daerah dari pada kepentingan APBN.

3. Daerah lebih senang berhubungan langsung dengan DEPKEU sebab perhitungan DAU, Penetapan besaran Bagi Hasil dan penyalurannya ke Kas Daerah semuanya dilakukan oleh DEPKEU Fungsi kontrol dalam pola ini sulit berjalan, sehingga berpotensi terjadinya isue penyalahgunaan dalam penetapan dana perimbangan.

Tentang pelaksanaan tugas DJ PKPD sendiri dinilai kurang efektif disebabkan beberapa hal:

1. Perencana bagi hasil PBB, BPHTB, PPh Pasal 21 pada dasarnya dilakukan oleh Ditjen Pajak DEPKEU.

2. Perencana bagi hasil bukan pajak, Sektor Pertambangan Migas dan Pertambangan Umum telah dilakukan oleh Menteri ESDM, Sektor Kehutanan oleh Menteri Kehutanan, Sektor Perikanan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

3. Menyusun plafon Dana Perimbangan dalam RAPBN setiap tahun dilakukan oleh Badan Analisa Fiskal DEPKEU.

4. Penyaluran Bagi Hasil Bukan Pajak adalah Ditjen Lembaga Keuangan, sedangkan Bagi Hasil Pajak, DAU dan DAK Reboisasi adalah Ditjen Anggaran DEPKEU.

5. Menyusun formula DAU dilakukan oleh 4 Perguruan Tinggi (UI, INHAS, UNAND dan UGM) untuk tahun 2003 ditambah dengan Univ. Syahkuala Banda Aceh dan Univ. Mulawarman.

6. Menyusun kriteria teknis DAK Reboisasi dan DAK-Non Reboisasi adalah Departemen Teknis.

Praktis peran DJ PKPD hanya mengumpulkan data dasar perhitungan DAU, itupun sebagian besar sumbernya dari Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah Ditjen OTDA. Dalam berbagai kerjasama dan koordinasi yang dilakukan boleh dikatakan bahwa tugas DJ PKPD tidak jauh beda dengan tugas yang dilaksanakan Subdit Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Direktorarat Keuangan Daerah Ditjen PUOD sebelum UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999.


IV. Perbandingan Internasional

Persoalan pembagian tugas pokok dan fungsi serta kompetensi antara pembinaan keuangan negara dengan pembinaan keuangan daerah juga dialami dari banyak negara lain. Survey telah dilakukan terhadap tiga negara sebagai rujukan yakni China, Kore dan Jepang. Sebagaimana tercermin pada Lampiran-1, Lampiran-2 dan Lampiran-3, jelas sekali bahwa ketiga negara tersebut dengan tegas menempatkan pembinaan keuangan daerah di bawah Kementrian Dalam Negeri. Sementara Kementrian Keuangan di tiga negara tersebut berkonsentrasi pada aspek-aspek makro penyelenggaraan keuangan negara.


V. Implikasi Kebijakan

Berdasar uraian tersebut di atas, sangatlah jelas perlunya dilakukan langkah-langkah strategi dalam rangka pemantapan penyelenggaraan pemerintahan nasional sekaligus penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui langkah-langkah berikut:

1. Peleburan Ditjen PKPD dan Badan Informasi Keuangan Daerah.

2. Pada saat yang sama dilakukan Reposisi dan Restrukturasi Depdagri melalui beberapa alternatif.

Alternatif-1, melalui pembentukan Ditjen Keuangan Daerah sehingga menambah satu Ditjen baru dilingkungan Depdagri menjadi 7 (tujuh) Direktorat Jenderal.

Alternatif-2, menata kembali Ditjen Otda dan Ditjen Bangda, sehingga aspek pembinaan keuangan daerah secara penuh dan integratif dikelola dalam Ditjen baru, yaitu “Ditjen Pembangunan dan Keuangan Daerah”. Melalui alternatif-2 ini jumlah Ditjen dilingkungan Depdagri tetap 6 (enam) Ditjen.

Alternatif-3, membentuk Ditjen Keuangan Daerah dan menata kembali Ditjen Otda, dan khususnya mengintegrasikan Ditjen Bangda dan Ditjen PMD menjadi Ditjen Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Melalui alternatif-3 ini jumlah Ditjen di lingkungan Depdagri tetap berjumlah 6 (enam).

3. Sebagai konsekuensi peleburan Ditjen PKPD dan Badan Informasi Keuangan Daerah Depkeu, semua P3D dapat dialokasikan ke Depdagri sesuai peraturan perundangan, kecuali bagi personil yang tetap menginginkan berkarir di Depkeu.

4. Penyesuian diperlukan di Ditjen Anggaran Depkeu, yakni dengan menambahkan satu Direktorat yakni Direktorat Dana Perimbangan.



Dibentuknya Ditjen Keuangan Daerah akan dapat mempolakan pengurusan keuangan daerah yang lebih terintegrasi dalam kerangka perimbangan keuangan pusat-daerah dan hubungan pemerintahan pusat dan daerah ditangani melalui satu pintu yaitu DEPDAGRI.

Selain merancang perimbangan keuangan, peran utama Ditjen Keuangan Daerah yang harus ditetapkan, agar pengelolaan keuangan daerah dan pengurusan dana perimbangan dapat ditangani melalui satu pintu, antara lain:

1. Menerbitkan Surat Permintaan Penerbitan (SPP) SKO Menteri Keuangan untuk menyalurkan dana perimbangan yang telah ditetapkan dalam APBN ke Kas Daerah. Dengan demikian tidak Rp1-pun penyaluran dana perimbangan ke Kas Daerah tanpa berdasarkan SPP dari Menteri Dalam Negeri seperti penyaluran dana SDO sebelum UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999.

2. Menunjuk kedudukan Dirjen Keuangan Daerah selaku Kepala Sekretariat DPOD bidang Perimbangan, sehingga peran DPOD dan peran MENDAGRI dalam memberikan pertimbangan berkaitan dengan perimbangan keuangan kepada Presiden untuk ditampung dalam RAPBN akan lebih optimal. Kepentingan daerah dalam APBN dapat lebih diutamakan.

Dengan lahirnya Ditjen Keuangan Daerah DEPDAGRI, maka peran DEPKEU melalui Ditjen Anggaran cukup bertindak sebagai penyalur dana perimbangan sebagaimana ditetapkan. Fungsi pengawasan tetap ditangani oleh BPK dan BPKP, bahkan Inspektorat Jenderal DEPDAGRI akan lebih efektif peranannya dalam melakukan pengawasan di daerah. Adanya pemisahan fungsi-fungsi ini niscaya pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah akan dilaksanakan lebih efektif dan efisien.

Keberadaan Ditjen Keuangan Daerah juga akan mendorong terlaksananya dengan efektif tugas-tugas DEPDAGRI dibidang pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah, pembinaan pembangunan daerah, kesatuan bangsa, pemerintahan umum, kependudukan, pemberdayaan masyarakat desa, litbang, pendidikan dan pelatihan serta penyiapan kader kepemimpinan.

Ditjen Keuangan Daerah akan memainkan peran merencanakan dukungan pembiayaan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh komponen yang terkait dilingkungan DEPDAGRI dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Disisi lain berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) dan (4) pemerintah daerah juga harus menyiapkan Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan keputusan Kepala Daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan keuangan daerah. Namun sampai saat ini daerah-daerah baik Propinsi, kabupaten dan Kota yang telah menetapkan Perda tentang itu relatif masih terbatas.

Berpijak dari kondisi tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa pelaksanaan pengelolaan keuangannya pada tahun kedua pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 belum sepenuhnya berpedoman pada ketentuan yang berlaku. Atau dalam kata lain pengelolaan keuangan daerah masih terdapat ruang kosong (Perda dan Keputusan Kepala Daerah) yang perlu disiapkan dan ditetapkan oleh masing-masing Pemerintah daerah. Selain itu dengan adanya pelimpahan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah kepada pemerintah daerah mengakibatkan semakin menumpuknya atau kompleksnya permasalahan yang harus diselesaikan, maka pembinaan dan evaluasi yang berkesinambungan sangat diperlukan.

Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya duplikasi pengaturan atau substansi yang ditampung dalma ketentuan (PP – Keppres – Kepmendagri – Perda – Kdh) lebih runtut diperlukan koordinasi dan sinkronisasi yang mantap antara pemerintah (Depdagri) dengan pemeirntah daerah dalam menyusun aturan-aturan pelaksanaannya.

Bertitik tolak dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa dalam masa otonomi daerah sekarang ini, hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, pengaturan dan pengawasan umum jalannya pemerintahan daerah khususnya pengelolaan keuangan daerah harus tetap dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, sekaligus memfasilitasi daerah-daerah dalam rangka percepatan pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar: