Kamis, 18 September 2008
SISTEM REWARD DAN PUNISHMENT UNTUK MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA
I. PENDAHULUAN
Reward dan punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia kerja. Tidak hanya dalam dunia kerja, dalam dunia penidikan pun kedua ini kerap kali digunakan. Namun selalu terjadi perbedaan pandangan, mana yang lebih diprioritaskan antara reward dengan punishment?
Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Dalam konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Metode ini bisa meng-asosiasi-kan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dapat dicapainya.
Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif; maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan mesti bersifat pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik.
Pada dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah ditunjukkan oleh bawahannya; hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja.
II. DATA DAN FAKTA
Ditetapkannya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 (sekarang dengan UU No. 8/2008) tentang pemerintahan daerah diharpkan menjadi birokrasi yang efektif. Dalam Undang-undang disebutkan, pemerintah hanya mengelola enam bidang saja yaitu: politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta beberapa bidang lainnya yang membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain pemerintah berbeda.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi signifikan. Oleh karena itu perubahan peranan birokrasi di tengah masyarakat senantiasa menjadi sangat vital. Arah perubahan sudah dimulai sejak masa reformasi sampai saat ini. Dorongan internal tersebut kemudian melahirkan beberapa kebijakan diantaranya, pertama Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, undang-undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 1999 Tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Keempat, Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai kebijakan tersebut menunjukkan keseriusan dan tekad pemerintah secara sungguh-sungguh menuju penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Namun demikian praktek-praktek KKN pada birokrasi yang tumbuh subur sejak pemerintahan orde baru cenderung meningkat saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembenahan aparatur pemerintah.
Salah satu contoh kecil saat pelaksanaan Ujian Nasional di Kota Medan, Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan telah mengambil kebijakan untuk mencabut izin sekolah yang melakukan kecurangan dalam Ujian Nasional (UN). Alasannya, jauh-jauh hari Diknas sudah menyosialisasikan ke sekolah-sekolah dan Diknas juga sudah mengingatkan agar sekolah tidak membantu siswanya dalam mengerjakan soal ujian, seperti yang terjadi tahun-tahun sebelumnya.
Apa yang diancamkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Hasan Basri itu kita nilai positif. Namun begitu, jangan hanya pihak sekolah yang curang yang dihukum, tetapi hukuman pun harus dijatuhkan kepada lembaga pendidikan yang gagal dalam meningkatkan mutu pendidikan di wilayahnya.
Jadi, siapa pun yang dinilai gagal dalam pelaksanaan UN nanti harus dihukum, sebaliknya siapa pun yang berhasil dalam UN nanti harus diberi penghargaan. Manajemen ‘’reward and punishment’’ harus ditegakkan dan dijalankan tanpa pilih kasih, tidak hanya kepada pihak sekolah, tetapi kepada semua lembaga pendidikan yang terkait dengan pelaksanaan UN.
III. PEMBAHASAN MASALAH
Sejak 1959 aparatur negara diberikan penghargaan untuk berbagai jenis sesuai dengan prestasinya. Sebut saja sarya Lencana Kemerdekaan, Satya Lencana Pembangunan, Satya Lencana Wira Karya, Satya Lencana Karya Satya dan Piagam Pelita. Namun banyak diantara anugerah tersebut ditanggapi dingin karena bentuknya yang berkurang memberi manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Puluhan tahun lalu, Abraham Maslow menenggarai tentang penghargaan sejenis itu yang hanya bisa dinikmati kelompok masyarakat mapan. Sementara jika dilihat dari pendapatan mayoritas aparatur pemerintah saat ini, untuk menutup kebutuhan pokok saja tidak cukup. Intinya, kenutuhan akan sandang, pangan, papan lebih berarti dari sebuah penghargaan atas kesetiaan, prestasi dan darma bhakti yang diberikan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha dari pemerintah untuk mengevaluasi kembali mengenai bentuk dan manfaat dari penghargaan yang akan diberikan.
Sementara penerapan sistem punishment pada aparatur telah lama diterapkan sejak diterbitkannya Peraturan pemerintah nomor 30/1980 tentang Disiplin Aparatur Pemerintah. Kemudian sederet aturan diawali Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 sampai dengan Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Namun aturan tersebut tidak dapat diterapkan dengan baik sampai sekarang. Hal ini banyak dipengaruhi karena belum adanya ukuran produk kerja yang dihasilkan, beban kerja setiap unit tidak sama, jumlah pegawai terlalu besar tidak sebanding dengan beban kerja adanya tenggang rasa yang tebal sesama aparatur, keteladanan dan kedisiplinan pimpinan menurun.
Dari penerapan reward and punishment tersebut diatas menunjukkan adanya kelemahan birokrasi yang akan menyebabkan rendahnya kualitas kinerja aparatur dan menggambarkan rendahnya kompetensi SDM. Sistem reward and punishment ditegakkan dengan “tebang pilih” yang dalam artian pemberian penghargaan dan hukuman tidak dilaksanakan secara menyeluruh, serta variabel-variabel unsur penilaian tidak obyektif.
Untuk itu perlu adanya rencana reformasi birokrasi untuk merombak bagian yang selama ini dinilai lemah. Stidakya enam langkah strategis dengan reformasi birokrasi perlu ditindak lanjuti secara cermat. Yaitu, pertama, melalui upaya-upaya meningkatkan law enforcement, dengan membentuk lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pemantauan, pengawasan, dan evaluasi kinerja yang dilakukan secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan.
Kedua, hubungan kerja yang jelas sebagai alat ukur kinerja lembaga. Untuk itu diperlukan tindakan konkrit untuk mempertegas institusi yang bertanggung jawab dalam menyususn norma, standard dan procedure kerja mengelola informasi, mereview, menganalisa, merumuskan dan menetapkan indikator kinerja, mensosialisasikan SOP itu sendiri, dan peningkatan kompetensi SDM dan penerapan reward dan punishment yang konsisten.
Ketiga, terdapat perbedaan tajam antara penghargaan atas profesionalisme antara yang terjadi di pemerintahan dengan di swasta dibandingkan yang terjadi dikalangan swasta. Untuk itu perlu adanya regulasi standar kinerja professional, memperkuat kelembagaan kepegawaian dalam pembinaan professionalitas yang sesuai standar hidup layak serta penegakan reward dan punishment.
Keempat, Meningkatkan disiplin SDM aparatur yang masih rendah dengan perubahan perilaku yang mendasar. Hal itu terjadi melalui revitalisasi pembinaan kepegawaian dan proses pembelajaran dengan membangun komitmen kuat dalam mengemban tugas sebagai PNS, disertai pengembangan system reward dan punishment yang tepat dan efektif.
Kelima, perubahan dalam membangun pola perilaku aparatur yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dalam penyelenggaraan pelayanan serta membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan dan mengembangkan system yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Dan Keenam, perlunya standar pelayanan yang jelas, meliputi procedur, jangka waktu dan kalau perlu biaya yang jelas, guna mendorong terciptanya lembaga pelayanan yang standard dan teratur. Dengan membangun system standarisasi pelayanan mulai dari input, proses, output pelayanan yang selanjutnya dituangkan dalam SOP yang transparan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam proses penataan birokrasi menjadi efektif lagi menyenangkan, hendaklah pemerintah dengan tegas memperhatikan dan menata sistem reward dan punishment. Hal ini harus diimplemntasikan sampai level bawah pemerintahan. Dengan begitu, diharapkan kualitas birokrasi meningkat, begitu pula kinerja aparat birorasi dalam dunia kerja semakin bermutu. Reward yang diberikan pun harus secara adil dan bijak. Jika tidak, reward malah menimbulkan rasa cemburu dan ”persaingan yang tidak sehat” serta memicu rasa sombong bagi pegawai yang memperolehnya. Tidak pula membuat seseorang terlena dalam pujian dan hadiah yang diberikan sehingga membuatnya lupa diri. Oleh karena itu, prinsip keadilan sangat dibutuhkan dalam pemberian reward.
Sebaliknya, jika punishment memang harus diberlakukan, maka laksanakanlah dengan cara yang bijak lagi mendidik, tidak boleh sewenang-wenang, tidak pula menimbulkan rasa kebencian yang berlebihan sehingga merusak tali silaturrahim. Dalam proses penataan birokrasi, hendaknya punishment yang diberikan kepada pegawai yang melanggar aturan telah disosialisasikan sebelumnya. Dan sebaiknya sanksi itu sama-sama disepakati, sehingga mendorong si terhukum untuk bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ikhlas.
Selanjutnya hukuman yang diberikan bukanlah dengan kekerasan, tetapi diberikan dengan ketegasan. Jika hukuman dilakukan dengan kekerasan, maka hukuman tidak lagi memotivasi seseorang berbuat baik, melainkan membuatnya merasa takut dan benci sehingga bisa menimbulkan pemberontakan batin. Di sinilah dibutuhkan skill dari para pimpinan atau si pemberi punishment sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai secara efektif.
DAFTAR BACAAN
Amstrong. Michael, 1991. Manajemen Sumber Daya Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Bambang Nugroho, 2006, Reward dan Punishment, Bulletin CiptaKarya, Departemen Pekerjaan Umum Edisi No. 6/IV/Juni 2006
Handoko, T. Hani, 1992. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Edisi ke-2, Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Hidayat, Sucherli, 1986. Peningkatan Produktivitas Organisasi dan Pegawai Negeri Sipil: Kasus Indonesia, Prisma, Jakarta.
Muhammad Kosim, Antara Reward dan Punishment, Rubrik Artikel, Padang Ekspres, Senin, 09 Juni 2008.
Soeprihanto, John, 1998. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.
Harian Berita Sore, Reward And Punishment, Rabu, 25 Juni 2008, Medan
Reward dan punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia kerja. Tidak hanya dalam dunia kerja, dalam dunia penidikan pun kedua ini kerap kali digunakan. Namun selalu terjadi perbedaan pandangan, mana yang lebih diprioritaskan antara reward dengan punishment?
Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Dalam konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Metode ini bisa meng-asosiasi-kan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dapat dicapainya.
Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif; maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan mesti bersifat pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik.
Pada dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah ditunjukkan oleh bawahannya; hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja.
II. DATA DAN FAKTA
Ditetapkannya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 (sekarang dengan UU No. 8/2008) tentang pemerintahan daerah diharpkan menjadi birokrasi yang efektif. Dalam Undang-undang disebutkan, pemerintah hanya mengelola enam bidang saja yaitu: politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta beberapa bidang lainnya yang membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain pemerintah berbeda.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi signifikan. Oleh karena itu perubahan peranan birokrasi di tengah masyarakat senantiasa menjadi sangat vital. Arah perubahan sudah dimulai sejak masa reformasi sampai saat ini. Dorongan internal tersebut kemudian melahirkan beberapa kebijakan diantaranya, pertama Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, undang-undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 1999 Tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Keempat, Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai kebijakan tersebut menunjukkan keseriusan dan tekad pemerintah secara sungguh-sungguh menuju penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Namun demikian praktek-praktek KKN pada birokrasi yang tumbuh subur sejak pemerintahan orde baru cenderung meningkat saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembenahan aparatur pemerintah.
Salah satu contoh kecil saat pelaksanaan Ujian Nasional di Kota Medan, Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan telah mengambil kebijakan untuk mencabut izin sekolah yang melakukan kecurangan dalam Ujian Nasional (UN). Alasannya, jauh-jauh hari Diknas sudah menyosialisasikan ke sekolah-sekolah dan Diknas juga sudah mengingatkan agar sekolah tidak membantu siswanya dalam mengerjakan soal ujian, seperti yang terjadi tahun-tahun sebelumnya.
Apa yang diancamkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Hasan Basri itu kita nilai positif. Namun begitu, jangan hanya pihak sekolah yang curang yang dihukum, tetapi hukuman pun harus dijatuhkan kepada lembaga pendidikan yang gagal dalam meningkatkan mutu pendidikan di wilayahnya.
Jadi, siapa pun yang dinilai gagal dalam pelaksanaan UN nanti harus dihukum, sebaliknya siapa pun yang berhasil dalam UN nanti harus diberi penghargaan. Manajemen ‘’reward and punishment’’ harus ditegakkan dan dijalankan tanpa pilih kasih, tidak hanya kepada pihak sekolah, tetapi kepada semua lembaga pendidikan yang terkait dengan pelaksanaan UN.
III. PEMBAHASAN MASALAH
Sejak 1959 aparatur negara diberikan penghargaan untuk berbagai jenis sesuai dengan prestasinya. Sebut saja sarya Lencana Kemerdekaan, Satya Lencana Pembangunan, Satya Lencana Wira Karya, Satya Lencana Karya Satya dan Piagam Pelita. Namun banyak diantara anugerah tersebut ditanggapi dingin karena bentuknya yang berkurang memberi manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Puluhan tahun lalu, Abraham Maslow menenggarai tentang penghargaan sejenis itu yang hanya bisa dinikmati kelompok masyarakat mapan. Sementara jika dilihat dari pendapatan mayoritas aparatur pemerintah saat ini, untuk menutup kebutuhan pokok saja tidak cukup. Intinya, kenutuhan akan sandang, pangan, papan lebih berarti dari sebuah penghargaan atas kesetiaan, prestasi dan darma bhakti yang diberikan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha dari pemerintah untuk mengevaluasi kembali mengenai bentuk dan manfaat dari penghargaan yang akan diberikan.
Sementara penerapan sistem punishment pada aparatur telah lama diterapkan sejak diterbitkannya Peraturan pemerintah nomor 30/1980 tentang Disiplin Aparatur Pemerintah. Kemudian sederet aturan diawali Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 sampai dengan Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Namun aturan tersebut tidak dapat diterapkan dengan baik sampai sekarang. Hal ini banyak dipengaruhi karena belum adanya ukuran produk kerja yang dihasilkan, beban kerja setiap unit tidak sama, jumlah pegawai terlalu besar tidak sebanding dengan beban kerja adanya tenggang rasa yang tebal sesama aparatur, keteladanan dan kedisiplinan pimpinan menurun.
Dari penerapan reward and punishment tersebut diatas menunjukkan adanya kelemahan birokrasi yang akan menyebabkan rendahnya kualitas kinerja aparatur dan menggambarkan rendahnya kompetensi SDM. Sistem reward and punishment ditegakkan dengan “tebang pilih” yang dalam artian pemberian penghargaan dan hukuman tidak dilaksanakan secara menyeluruh, serta variabel-variabel unsur penilaian tidak obyektif.
Untuk itu perlu adanya rencana reformasi birokrasi untuk merombak bagian yang selama ini dinilai lemah. Stidakya enam langkah strategis dengan reformasi birokrasi perlu ditindak lanjuti secara cermat. Yaitu, pertama, melalui upaya-upaya meningkatkan law enforcement, dengan membentuk lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pemantauan, pengawasan, dan evaluasi kinerja yang dilakukan secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan.
Kedua, hubungan kerja yang jelas sebagai alat ukur kinerja lembaga. Untuk itu diperlukan tindakan konkrit untuk mempertegas institusi yang bertanggung jawab dalam menyususn norma, standard dan procedure kerja mengelola informasi, mereview, menganalisa, merumuskan dan menetapkan indikator kinerja, mensosialisasikan SOP itu sendiri, dan peningkatan kompetensi SDM dan penerapan reward dan punishment yang konsisten.
Ketiga, terdapat perbedaan tajam antara penghargaan atas profesionalisme antara yang terjadi di pemerintahan dengan di swasta dibandingkan yang terjadi dikalangan swasta. Untuk itu perlu adanya regulasi standar kinerja professional, memperkuat kelembagaan kepegawaian dalam pembinaan professionalitas yang sesuai standar hidup layak serta penegakan reward dan punishment.
Keempat, Meningkatkan disiplin SDM aparatur yang masih rendah dengan perubahan perilaku yang mendasar. Hal itu terjadi melalui revitalisasi pembinaan kepegawaian dan proses pembelajaran dengan membangun komitmen kuat dalam mengemban tugas sebagai PNS, disertai pengembangan system reward dan punishment yang tepat dan efektif.
Kelima, perubahan dalam membangun pola perilaku aparatur yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dalam penyelenggaraan pelayanan serta membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan dan mengembangkan system yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Dan Keenam, perlunya standar pelayanan yang jelas, meliputi procedur, jangka waktu dan kalau perlu biaya yang jelas, guna mendorong terciptanya lembaga pelayanan yang standard dan teratur. Dengan membangun system standarisasi pelayanan mulai dari input, proses, output pelayanan yang selanjutnya dituangkan dalam SOP yang transparan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam proses penataan birokrasi menjadi efektif lagi menyenangkan, hendaklah pemerintah dengan tegas memperhatikan dan menata sistem reward dan punishment. Hal ini harus diimplemntasikan sampai level bawah pemerintahan. Dengan begitu, diharapkan kualitas birokrasi meningkat, begitu pula kinerja aparat birorasi dalam dunia kerja semakin bermutu. Reward yang diberikan pun harus secara adil dan bijak. Jika tidak, reward malah menimbulkan rasa cemburu dan ”persaingan yang tidak sehat” serta memicu rasa sombong bagi pegawai yang memperolehnya. Tidak pula membuat seseorang terlena dalam pujian dan hadiah yang diberikan sehingga membuatnya lupa diri. Oleh karena itu, prinsip keadilan sangat dibutuhkan dalam pemberian reward.
Sebaliknya, jika punishment memang harus diberlakukan, maka laksanakanlah dengan cara yang bijak lagi mendidik, tidak boleh sewenang-wenang, tidak pula menimbulkan rasa kebencian yang berlebihan sehingga merusak tali silaturrahim. Dalam proses penataan birokrasi, hendaknya punishment yang diberikan kepada pegawai yang melanggar aturan telah disosialisasikan sebelumnya. Dan sebaiknya sanksi itu sama-sama disepakati, sehingga mendorong si terhukum untuk bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ikhlas.
Selanjutnya hukuman yang diberikan bukanlah dengan kekerasan, tetapi diberikan dengan ketegasan. Jika hukuman dilakukan dengan kekerasan, maka hukuman tidak lagi memotivasi seseorang berbuat baik, melainkan membuatnya merasa takut dan benci sehingga bisa menimbulkan pemberontakan batin. Di sinilah dibutuhkan skill dari para pimpinan atau si pemberi punishment sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai secara efektif.
DAFTAR BACAAN
Amstrong. Michael, 1991. Manajemen Sumber Daya Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Bambang Nugroho, 2006, Reward dan Punishment, Bulletin CiptaKarya, Departemen Pekerjaan Umum Edisi No. 6/IV/Juni 2006
Handoko, T. Hani, 1992. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Edisi ke-2, Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Hidayat, Sucherli, 1986. Peningkatan Produktivitas Organisasi dan Pegawai Negeri Sipil: Kasus Indonesia, Prisma, Jakarta.
Muhammad Kosim, Antara Reward dan Punishment, Rubrik Artikel, Padang Ekspres, Senin, 09 Juni 2008.
Soeprihanto, John, 1998. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.
Harian Berita Sore, Reward And Punishment, Rabu, 25 Juni 2008, Medan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar