Jumat, 19 September 2008
Menuju Babak Baru Pemerintahan Desa
Pengaturan khusus pemerintahan desa merupakan langkah penting yang patut didukung guna tertatanya sistem politik dan mekanisme kekuasaan di desa secara lebih baik. Itu agar di masa datang, desa dapat menjadi pioner bagi pemantapan demokrasi, kemandirian dan kesejahteraan secara lokal maupun nasional.Undang-Undang No 32/2004 yang mengatur aspek pemerintahan daerah sedang mengalami revisi. Salah satu revisi dimaksud adalah pemisahan aturan desa secara khusus ke dalam UU tersendiri. Hal ini serupa dengan masa Orde Baru di mana desa secara khusus diatur dalam UU No 5 tahun 1979.
Bagi publik di Sulawesi Selatan, persoalan ini kurang ramai dibahas dibanding dengan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang juga merupakan pengembangan dari UU No. 32/2004.
Sumber rujukanpun masih kurang dipublikasikan oleh media massa lokal terkecuali melalui website beberapa waktu lalu dan milis-milis tertentu.
Melalui kerja sama FPPD dengan drsp-USAID beberapa waktu lalu, dirangkailah berbagai masukan untuk perumusan naskah akademik RUU Desa.
Lalu atas inisiatif pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri disusunlah naskah akademik oleh 16 anggota tim penyusun dan 11 narasumber utama yang terdiri dari para ahli dengan pengarah Drs Ayip Muflich, SH, MSi dan penanggung jawab Drs Persadaan Girsang, MSi.
Pengaturan khusus UU Desa tentu merupakan langkah penting yang patut didukung guna tertatanya sistem politik dan mekanisme kekuasaan di desa secara lebih baik. Dengan merujuk pada naskah akademik yang telah dikeluarkan Depdagri, tulisan ini berusaha memaparkan kemungkinan babak baru dinamika governance di level desa.
Dari Representatif ke Deliberatif
Salah satu tanda perubahan itu adalah dengan mengganti sistem demokrasi representatif atau perwakilan desa menjadi sistem demokrasi deliberatif atau demokrasi permusyawaratan.
Konsekuensi dari sistem ini adalah BPD beralih fungsi, walau tetap sebagai lembaga legislatif desa, tetapi mekanisme pemilihan anggotanya bukan lagi pemilihan langsung melainkan melalui musyawarah desa.
Lalu, karena tidak dipilih langsung oleh warga desa maka otoritasnya menjadi setingkat di bawah kepala desa yang dipilih langsung, dan dengannya BPD kehilangan satu fungsi mendasar dalam sistem politik yakni pengawasan terhadap kinerja pemerintah desa.
Sebaliknya, kepala desa justru bertanggung jawab secara langsung kepada bupati dan hanya melalui prosedur formalitas kepada BPD dengan sekadar memberi keterangan pertanggungjawaban.
Demokrasi deliberatif tentu tidak berarti lebih buruk dari demokrasi representatif. Hanya saja, esensi demokrasi ini belum dipahami dan dijalankan sepenuhnya oleh daerah dan desa dalam arti masih dilaksanakan secara terbatas.
Musyawarah adalah baik, tetapi siapa menentukan agenda, peserta dan proses musyawarah masih sangat didominasi oleh kepala desa atau elite desa setempat, dan tentu saja dengan jumlah peserta yang masih sangat terbatas.
Kemandirian desa membawa permasalahan pada sistem pemerintahan desa seperti apa yang cocok diterapkan dalam konteks keberagaman desa di Indonesia.
Dari aspek historis dan budaya, ada desa yang memiliki tradisi adat yang kuat dan mampu melampaui fungsi-fungsi pemerintah desa secara formal, maka disebutlah ini sebagai self governing community atau kemampuan masyarakat memerintah diri mereka sendiri berdasarkan kearifan lokal mereka.
Lalu, sistem local state government yang selama ini diterapkan di mana negara memberi penyeragaman model pemerintahan desa yang secara vertikal diatur dari atas.
Terakhir adalah sistem local self government atau desa otonom, di mana desa memiliki otonominya sendiri dan memperoleh kewenangan langsung dari pusat atau meminjam istilah orde baru, desa menjadi daerah tingkat III atau Desa Praja sebagaimana diatur pada tahun 1965 melalui UU no. 19/1965.
Keanekaragaman juga dapat dilihat melalui tipologi desa di Indonesia, yakni desa dengan tradisi adat yang kuat (seperti Kajang dan wilayah pedalaman Papua), desa dengan tradisi adat yang hilang atau lemah (Jawa, sebagian Sulawesi dan Kalimantan),
desa dan adat terintegrasi (Sumatera Barat dengan Nagari, dan sebagian Sulawesi Tengah), desa dan adat eksis tapi konfliktual (Bali, NTT, Maluku, Aceh, Kalimantan Barat), desa dan adat tidak eksis (kelurahan).
Optional Village
Dengan memperhatikan aspek keanekaragaman itulah maka dalam naskah akademis itu diperkenalkan konsep optional village di mana desa dapat memilih beberapa ketentuan atau skema dalam manajemen pemerintahan desa.
Beberapa skema yang ditawarkan adalah memberikan daftar kewenangan desa (positive list) sehingga desa dapat memilih jenis kewenangan yang sesuai dengan kondisi dan kapasitasnya.
Kemudian, berbagai ketentuan dan persyaratan juga dibuat secara longgar seperti pembentukan desa dan pemilihan kepala desa hingga keanggotaan BPD. Termasuk di sini struktur keperangkatan desa dengan prinsip minimal-maksimal sehingga tidak harus ditentukan secara seragam.
Terakhir, perlunya penetapan standar geografis dan demografis atas desa dalam pengalokasian dana desa atau ADD.
Namun, disamping aspek-aspek yang dapat dipilih oleh desa, terdapat hal yang bersifat umum berlaku untuk seluruh desa, yakni pengakuan dan pelembagaan hak-hak desa yang sejak dulu telah dimiliki.
Beberapa hak dasar itu adalah memiliki dan mengontrol pengelolaan sumber daya alam, kontrol atas pengembangan kawasan yang direncanakan oleh pihak luar desa seperti pengusaha dan atau pemerintah.
Namun perlu juga diperhatikan agar nilai-nilai negatif feodalisme tidak serta-merta memperoleh justifikasi sebagai “kearifan lokal” dan olehnya harus ditetapkan standar kepemerintahan seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat secara berkualitas.
Untuk itu dengan dua azas yang akan berlaku di desa, yakni asas rekognisi atau pengakuan akan hak asal-usul desa dan asas subsidiaritas atau asas membangun desa berdasarkan kebijakan yang disusun secara lokal tanpa ada koneksitas dengan negara, maka desa akan menjalankan sistem pemerintahannya secara mandiri.
Kedua asas ini berkorelasi langsung dengan jenis kewenangan di desa ke depan, yakni kewenangan asal-usul yang diakui negara untuk mengelola aset dalam wilayah yurisdiksi desa dan kewenangan melekat atau atributif untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Di samping itu, dikenal juga satu kewenangan tambahan yakni kewenangan delegatif dari pemerintah pusat atau daerah yang disertai oleh pembiayaan, personel dan fasilitas.
Dalam konteks penyelenggara pemerintahan desa, sorotan naskah akademis ini adalah pada BPD dan kepala desa serta pola hubungan yang harus dibangun oleh keduanya.
Konsepsi demokrasi representatif dan deliberatif dipertemukan untuk menemukan sebuah formula demokrasi desa yang tepat di mana pemerintah desa dan anggota BPD bekerja dalam ranah tersebut.
Partisipasi masyarakat dalam interaksi kedua lembaga itu juga ditampilkan dengan mengusung tiga kriteria partisipasi seperti voice, acsess, dan control. Maksudnya bahwa masyarakat memiliki hak menyampaikan pendapat di tengah musyawarah desa,
juga kemudahan akses terhadap berbagai pelayanan publik dan khususnya informasi terbuka lebar dan mudah bagi masyarakat untuk memperolehnya dan masyarakat memiliki ruang untuk melakukan kontrol atas kinerja pemerintahan desa atau penyelewengan yang mungkin terjadi.
Untuk perencanaan pembangunan dan keuangan desa terdapat korelasi positif. Perencanaan desa sudah saatnya dilakukan secara mandiri tanpa melalui mekanisme musrembangdes sebagaimana diatur sekarang ini.
Kegagalan mekanisme musrembangdes yang disinyalir bottom up planning sistem bukan rahasia lagi, karena hampir seluruh desa di Indonesia kecewa ketika hasil perencanaan mereka selalu ditolak di level kabupaten dengan alasan klasik bahwa perencanaan desa adalah daftar usulan kepala desa.
Padahal beberapa desa telah bersusah payah mengumpulkan warga dimulai dari level dusun hingga desa menyusun rencana tersebut.
Dikarenakan sudah ada ADD maka perencanaan desa mandiri tanpa perlu diusulkan ke atas dapat dilakukan dengan dana yang sudah pasti dialokasikan melalui mekanisme transfer ADD ke desa.
Hanya saja kerangka hukum ADD perlu dipertegas dalam UU baru dan seharusnya ditransfer langsung dari APBN dan bukan melalui APBD sebagaimana kini berlaku. RUU Desa ke depan akan memperkenalkan empat model transfer uang yang masuk ke desa yakni investasi dari pemerintah, ADD, akselerasi, dan insentif.
Untuk kerja sama desa, kelembagaan kemasyarakatan, serta pengawasan dan pembinaan tidak ada perubahan prinsipil selain perlunya memantapkan aspek musyawarah dalam pembentukan kelembagaan masyarakat desa,
mekanisme dan tujuan kerja sama antardesa dan menjadikan fungsi pengawasan atas kinerja desa juga berada di bawah pemerintah pusat, daerah maupun kecamatan.
Lalu, akankah desa ke depan dapat menjadi pioner bagi pemantapan demokrasi,
kemandirian dan kesejahteraan secara lokal maupun nasional? Tentu saja masih harus menunggu masa yang panjang, mengingat nasib desa selama ini tidaklah benar-benar diperhatikan sebagai ujung tombak bagi gerakan transformasi sosial di Indonesia.
*Oleh:
Ishak Salim, Direktur Active Society Institute (AcSI), dan Alumni Institute of Social Studies (ISS) The Hague-the Netherlands.
(13 Feb 2008, 31 x , Komentar, koran fajar)
Bagi publik di Sulawesi Selatan, persoalan ini kurang ramai dibahas dibanding dengan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang juga merupakan pengembangan dari UU No. 32/2004.
Sumber rujukanpun masih kurang dipublikasikan oleh media massa lokal terkecuali melalui website beberapa waktu lalu dan milis-milis tertentu.
Melalui kerja sama FPPD dengan drsp-USAID beberapa waktu lalu, dirangkailah berbagai masukan untuk perumusan naskah akademik RUU Desa.
Lalu atas inisiatif pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri disusunlah naskah akademik oleh 16 anggota tim penyusun dan 11 narasumber utama yang terdiri dari para ahli dengan pengarah Drs Ayip Muflich, SH, MSi dan penanggung jawab Drs Persadaan Girsang, MSi.
Pengaturan khusus UU Desa tentu merupakan langkah penting yang patut didukung guna tertatanya sistem politik dan mekanisme kekuasaan di desa secara lebih baik. Dengan merujuk pada naskah akademik yang telah dikeluarkan Depdagri, tulisan ini berusaha memaparkan kemungkinan babak baru dinamika governance di level desa.
Dari Representatif ke Deliberatif
Salah satu tanda perubahan itu adalah dengan mengganti sistem demokrasi representatif atau perwakilan desa menjadi sistem demokrasi deliberatif atau demokrasi permusyawaratan.
Konsekuensi dari sistem ini adalah BPD beralih fungsi, walau tetap sebagai lembaga legislatif desa, tetapi mekanisme pemilihan anggotanya bukan lagi pemilihan langsung melainkan melalui musyawarah desa.
Lalu, karena tidak dipilih langsung oleh warga desa maka otoritasnya menjadi setingkat di bawah kepala desa yang dipilih langsung, dan dengannya BPD kehilangan satu fungsi mendasar dalam sistem politik yakni pengawasan terhadap kinerja pemerintah desa.
Sebaliknya, kepala desa justru bertanggung jawab secara langsung kepada bupati dan hanya melalui prosedur formalitas kepada BPD dengan sekadar memberi keterangan pertanggungjawaban.
Demokrasi deliberatif tentu tidak berarti lebih buruk dari demokrasi representatif. Hanya saja, esensi demokrasi ini belum dipahami dan dijalankan sepenuhnya oleh daerah dan desa dalam arti masih dilaksanakan secara terbatas.
Musyawarah adalah baik, tetapi siapa menentukan agenda, peserta dan proses musyawarah masih sangat didominasi oleh kepala desa atau elite desa setempat, dan tentu saja dengan jumlah peserta yang masih sangat terbatas.
Kemandirian desa membawa permasalahan pada sistem pemerintahan desa seperti apa yang cocok diterapkan dalam konteks keberagaman desa di Indonesia.
Dari aspek historis dan budaya, ada desa yang memiliki tradisi adat yang kuat dan mampu melampaui fungsi-fungsi pemerintah desa secara formal, maka disebutlah ini sebagai self governing community atau kemampuan masyarakat memerintah diri mereka sendiri berdasarkan kearifan lokal mereka.
Lalu, sistem local state government yang selama ini diterapkan di mana negara memberi penyeragaman model pemerintahan desa yang secara vertikal diatur dari atas.
Terakhir adalah sistem local self government atau desa otonom, di mana desa memiliki otonominya sendiri dan memperoleh kewenangan langsung dari pusat atau meminjam istilah orde baru, desa menjadi daerah tingkat III atau Desa Praja sebagaimana diatur pada tahun 1965 melalui UU no. 19/1965.
Keanekaragaman juga dapat dilihat melalui tipologi desa di Indonesia, yakni desa dengan tradisi adat yang kuat (seperti Kajang dan wilayah pedalaman Papua), desa dengan tradisi adat yang hilang atau lemah (Jawa, sebagian Sulawesi dan Kalimantan),
desa dan adat terintegrasi (Sumatera Barat dengan Nagari, dan sebagian Sulawesi Tengah), desa dan adat eksis tapi konfliktual (Bali, NTT, Maluku, Aceh, Kalimantan Barat), desa dan adat tidak eksis (kelurahan).
Optional Village
Dengan memperhatikan aspek keanekaragaman itulah maka dalam naskah akademis itu diperkenalkan konsep optional village di mana desa dapat memilih beberapa ketentuan atau skema dalam manajemen pemerintahan desa.
Beberapa skema yang ditawarkan adalah memberikan daftar kewenangan desa (positive list) sehingga desa dapat memilih jenis kewenangan yang sesuai dengan kondisi dan kapasitasnya.
Kemudian, berbagai ketentuan dan persyaratan juga dibuat secara longgar seperti pembentukan desa dan pemilihan kepala desa hingga keanggotaan BPD. Termasuk di sini struktur keperangkatan desa dengan prinsip minimal-maksimal sehingga tidak harus ditentukan secara seragam.
Terakhir, perlunya penetapan standar geografis dan demografis atas desa dalam pengalokasian dana desa atau ADD.
Namun, disamping aspek-aspek yang dapat dipilih oleh desa, terdapat hal yang bersifat umum berlaku untuk seluruh desa, yakni pengakuan dan pelembagaan hak-hak desa yang sejak dulu telah dimiliki.
Beberapa hak dasar itu adalah memiliki dan mengontrol pengelolaan sumber daya alam, kontrol atas pengembangan kawasan yang direncanakan oleh pihak luar desa seperti pengusaha dan atau pemerintah.
Namun perlu juga diperhatikan agar nilai-nilai negatif feodalisme tidak serta-merta memperoleh justifikasi sebagai “kearifan lokal” dan olehnya harus ditetapkan standar kepemerintahan seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat secara berkualitas.
Untuk itu dengan dua azas yang akan berlaku di desa, yakni asas rekognisi atau pengakuan akan hak asal-usul desa dan asas subsidiaritas atau asas membangun desa berdasarkan kebijakan yang disusun secara lokal tanpa ada koneksitas dengan negara, maka desa akan menjalankan sistem pemerintahannya secara mandiri.
Kedua asas ini berkorelasi langsung dengan jenis kewenangan di desa ke depan, yakni kewenangan asal-usul yang diakui negara untuk mengelola aset dalam wilayah yurisdiksi desa dan kewenangan melekat atau atributif untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Di samping itu, dikenal juga satu kewenangan tambahan yakni kewenangan delegatif dari pemerintah pusat atau daerah yang disertai oleh pembiayaan, personel dan fasilitas.
Dalam konteks penyelenggara pemerintahan desa, sorotan naskah akademis ini adalah pada BPD dan kepala desa serta pola hubungan yang harus dibangun oleh keduanya.
Konsepsi demokrasi representatif dan deliberatif dipertemukan untuk menemukan sebuah formula demokrasi desa yang tepat di mana pemerintah desa dan anggota BPD bekerja dalam ranah tersebut.
Partisipasi masyarakat dalam interaksi kedua lembaga itu juga ditampilkan dengan mengusung tiga kriteria partisipasi seperti voice, acsess, dan control. Maksudnya bahwa masyarakat memiliki hak menyampaikan pendapat di tengah musyawarah desa,
juga kemudahan akses terhadap berbagai pelayanan publik dan khususnya informasi terbuka lebar dan mudah bagi masyarakat untuk memperolehnya dan masyarakat memiliki ruang untuk melakukan kontrol atas kinerja pemerintahan desa atau penyelewengan yang mungkin terjadi.
Untuk perencanaan pembangunan dan keuangan desa terdapat korelasi positif. Perencanaan desa sudah saatnya dilakukan secara mandiri tanpa melalui mekanisme musrembangdes sebagaimana diatur sekarang ini.
Kegagalan mekanisme musrembangdes yang disinyalir bottom up planning sistem bukan rahasia lagi, karena hampir seluruh desa di Indonesia kecewa ketika hasil perencanaan mereka selalu ditolak di level kabupaten dengan alasan klasik bahwa perencanaan desa adalah daftar usulan kepala desa.
Padahal beberapa desa telah bersusah payah mengumpulkan warga dimulai dari level dusun hingga desa menyusun rencana tersebut.
Dikarenakan sudah ada ADD maka perencanaan desa mandiri tanpa perlu diusulkan ke atas dapat dilakukan dengan dana yang sudah pasti dialokasikan melalui mekanisme transfer ADD ke desa.
Hanya saja kerangka hukum ADD perlu dipertegas dalam UU baru dan seharusnya ditransfer langsung dari APBN dan bukan melalui APBD sebagaimana kini berlaku. RUU Desa ke depan akan memperkenalkan empat model transfer uang yang masuk ke desa yakni investasi dari pemerintah, ADD, akselerasi, dan insentif.
Untuk kerja sama desa, kelembagaan kemasyarakatan, serta pengawasan dan pembinaan tidak ada perubahan prinsipil selain perlunya memantapkan aspek musyawarah dalam pembentukan kelembagaan masyarakat desa,
mekanisme dan tujuan kerja sama antardesa dan menjadikan fungsi pengawasan atas kinerja desa juga berada di bawah pemerintah pusat, daerah maupun kecamatan.
Lalu, akankah desa ke depan dapat menjadi pioner bagi pemantapan demokrasi,
kemandirian dan kesejahteraan secara lokal maupun nasional? Tentu saja masih harus menunggu masa yang panjang, mengingat nasib desa selama ini tidaklah benar-benar diperhatikan sebagai ujung tombak bagi gerakan transformasi sosial di Indonesia.
*Oleh:
Ishak Salim, Direktur Active Society Institute (AcSI), dan Alumni Institute of Social Studies (ISS) The Hague-the Netherlands.
(13 Feb 2008, 31 x , Komentar, koran fajar)
Pemulihan Ekonomi Nasional dan Tanggungjawab Daerah
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997, belum juga berhasil dipulihkan. Berbagai upaya telah, sedang dan akan dilakukan tidak kurang oleh empat kepemimpinan nasional secara berturut-turut. Tapi, harus diakui bahwa, pemulihan krisis seolah menjadi warisan sejarah yang terus akan menjadi beban, atau paling tidak sebagai tantangan utama bagi penerus bangsa. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian adalah hubungan antara pemulihan ekonomi dengan pelaksanan desentralisasi.
Seperti diketahui, di tengah krisis ekonomi bahkan krisis multidimensi, pemerintah mengeluarkan UU 22/1999 dan UU 25/1999 sebagai instrumen kehendak otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kendatipun sementara pakar menyebutkan bahwa, berbeda dengan pengalaman beberapa negara lain yang menerapkan kebijakan desentralisasi dalam situasi tidak mengalami krisis, untuk kasus Indonesia justru sebaliknya. Maksudnya, kebijakan desentralisasi di Indonesia dilaksanakan di tengah krisis dan bahkan diharapkan menjadi salah satu obat penawar krisis.
Dua tahun implementasi otonomi daerah diwarnai dengan dinamika yang tinggi di berbagai tingkatan; nasional, provinsi dan bahkan di tingkat masyarakat dan dunia usaha. Beberapa isu penting mewarnai periode awal implementasi ini, di antaranya terkait dengan penataan urusan pemerintahan, perimbangan keuangan, pengelolaan aset dan utamanya personil, hubungan segiempat pemerintah daerah, DPRD, masyarakat dan dunia usaha, serta yang juga menonjol adalah akuntabilias pemerintahan daerah. Ketegangan juga terjadi, antara instansi pusat, antara instansi pusat dengan daerah, antara provinsi dengan kabupaten/kota, antara daerah otonom, bahkan antara masyarakat termasuk dunia usaha dengan pemerintah daerah. Kesemua ini haruslah dipandang sebagai bagian proses menuju keseimbangan dinamis baru, yang lebih baik, lebih efisien, efektif dan berdaya saing.
Pola Sistemik
Harus diakui bawah selalu terdapat keterkaitan sistemik antara pembangunan daerah dengan pembangunan nasional. Demikian pula antara gejala dan perlilaku sistemik krisis ekonomi nasional: selalu ada hubungan antara dinamika nasional dengan dinamika daerah. Tapi, memang seringkali tidak secara mudah dan tepat dapat diidentifikasi variabel-variabel kunci yang menyusun struktur sistemik krisis ini. Dalam kesempatan refleksi ini, ada baiknya kita renungkan salah satu pertanyaan penting: apa peranan dan tanggungjawab daerah dalam mewujudkan pemulihan krisis?
Barangkali ada baiknya dicermati angka-angka dalam RAPBN tahun 2003. Dari pos pengeluaran rutin, tergambar besarnya beban pembayaran bunga utang tahun 2002 tidak kurang mencapai 88,5 triliun rupiah; masing-masing 59,5 triliun bunga utang dalam negeri dan 29,0 triliun bunga utang luar negeri. Sementara proyeksi beban pos yang sama untuk tahun 2003 diperkirakan tidak kurang dari 80 triliun rupiah. Bunganya saja sudah sedemikian besar, bagaimana dengan pokoknya? Konon, tidak kurang dari 1300 triliun rupiah.
Angka lain yang juga perlu dicermati adalah pos belanja untuk daerah. Tahun 2003, diperkirakan tidak kurang dari 113 triliun dana nasional yang dialokasikan ke daerah, baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana otonomi khusus dan penyeimbang. Angka ini sudah lebih dari tiga kali lipat dibanding besaran dana nasional yang didaerahkan pada tahun 2000, yang mencapai sekitar 35 triliun rupiah. Apakah artinya ini?
Tidak lain adalah, manakala kita berbicara tentang pemulihan ekonomi, termasuk pembayaran bunga utang dan pokoknya seperti disebut di atas, maka peranan anggaran 113 triliun rupiah yang didaerahkan itu menjadi sangat penting. Daerah, selain mendapat pelimpahan penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka otonomi termasuk perimbangan keuangan, juga pada saat yang sama punya tanggung jawab besar dalam pemulihan ekonomi. Singkatnya, bagaimanakah masing-masing daerah secara optimum memanfaatkan dana yang diterimanya, yang akumulatif 113 triliun tersebut, untuk menjadi mesin pertumbuhan daerah ,sekaligus menjadi mesin pemulihan nasional?
Otonomi daerah telah menjadikan setiap daerah sebagai pusat peningkatan produktivitas nasional. Ini bukan hanya keinginan, tapi sudah sebagai keharusan. Sayang sekali, masih sering ditengarai adanya kesenjangan antara keharusan dengan apa yang berkembangan di sementara daerah. Beberapa ilustrasi menggambarkan fenomena ini.
Pertama, masih sering terdengar keluhan dari para pengusaha, baik domestik maupun manca negara. Dalam pertemuan para usahawan internasional di Singapura baru-baru ini, mencuat isu “local custom” di beberapa daerah di Indonesia. Bila ternyata masih ada daerah yang lebih suka mengenakan beban-beban berlebih, baik berupa pajak dan retribusi daerah maupun beban pungutan lain, sehingga dikesankan adanya local custom ini, jelas hal ini tidak kondusif bagi upaya peningkatan produktivitas daerah.
Memang dapat dimengerti, bila daerah memerlukan pembiayaan, yang salah satu sumbernya berupa PAD. Kenyatannya juga, kontribusi PAD dalam APBD bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Ada daerah yang kontribusi PAD dalam APBD lebih besar dari 20%, tapi ada juga daerah yang kontribusi PADnya dalam APBD hanya 3%. Tapi apapun situasinya, secara umum dapat dikategorikan dua fenomena yang berbeda berkenaan dengan hubungan antara PAD dengan pertumbuhan daerah.
Suatu daerah dapat mengumpulkan PAD, ex ante, tanpa perlu mempertimbangkan masak-masak implikasinya terhadap produktivitas dan pertumbuhan daerah. Hal ini ditunjukkan oleh sementara daerah yang sejak mula implimenetasi otonomi daerah berorientasi meningkatkan sebesar-besarnya PAD. Disadari atau tidak, kebijakan seperti ini jelas mengurangi minat para investor untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut. Dengan sedikitnya minat investor, dengan sendirinya akan menurunkan kemampuan daerah tersebut untuk mengumpulkan PAD, misalnya karena tidak berkembangnya hiburan dan restoran tentu tidak terkumpulnya pajak hiburan dan restoran. Kerugian lain yang diderita oleh daerah semacam ini adalah tidak berkembangnya kesempatan kerja.
Sebaliknya, suatu daerah juga dapat berorientasi memungut PAD, ex post, mendorong produktivitas dan pertumbuhan terlebih dahulu baru memungutnya. Bila investor suka hati berusaha di daerah tersebut, kesempatan kerja meningkat, kegiatan ekonomi tumbuh, termasuk restoran, hiburan dan pariwisata. Dengan pertumbuhan sektor-sektor yang terakhir ini dengan sendirinyapun pajak dan retribusi daerah atau PAD meningkat.
Catatan dua tahun terakhir ini, tampaknya ada daerah yang masih berorientasi pada pengumpulan PAD terlebih dahulu, tapi tidak sedikit juga yang sudah berorientasi mendorong pertumbuhan dahulu. Contoh yang terakhir ini adalah Provinsi Gorontalo. Berulang kali dikemukakan oleh Gubernur Provinsi Gorontalo: anti retribusi daerah, dan dorong produktivitas. Utamanya produktivitas komoditi jagung. Walaupun dikatakan anti retribusi daerah, maksudnya adalah untuk menekankan betapa pentinganya peningkatan pertumbuhan daerah terlebih dahulu, barulah dipetik hasilnya, antara lain berupa PAD.
Kedua, ada daerah yang selalu merasa kekurangan dana perimbangan, dan cenderung menuntut kenaikan DAU. Harus dipahami bahwa DAU bukanlah dana yang berasal dari negeri antah berantah. DAU adalah bagian dana perimbangan yang diperoleh dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN), yang nilainya minimal 25%. Kenaikan DAU suatu daerah hanya dapat diperoleh melalui (1) penurunan DAU daerah lain manakala total aloksinya tetap, (2) penurunan alokasi pusat manakala persentase alokasi DAU dari PDN naik, atau (3) kenaikan PDN.
Kenaikan PDN diperoleh melalui kenaikan pajak dalam negeri termasuk cukai, pajak perdagangan internasional, dan penerimaan negara bukan pajak. Untuk menaikkan pajak-pajak ini tentu dibutuhkan pertumbuhan dan peningkatan produktivitas badan-badan usaha domestik, BUMN maupun asing. Pertanyaannya, daerah manakah yang terus berusaha menarik sebanyak mungkin badan-badan usaha produktiv ini untuk berusaha di daerahnya? Bila ternyata suatu daerah lebih berorientasi pada peningatan PAD sejak awal dan mengorbankan prioritas pertumbuhan, jelas daerah ini tidak menyumbang pada PDN yang akan dibagikan ke dalam bentuk DAU.
Memang disadari ada daerah yang menyumbang sangat besar ke dalam PDN seperti DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan beberapa daerah lain. Tapi juga tidak sedikit daerah yang lebih banyak tergantung pada sumbangan PDN. Inilah mozaik Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Otonomi Daerah dimaksudkan untuk memperkaya mozaik ini berupa bertumbuhnya daerah sekaligus kuatnya negara kesatuan. Dengan sendirinya semakin banyak daerah yang bertumbuh cepat, semakin kuat pulalah negara kesatuan.
Ketiga, diskusi tentang upaya peningkatan produktivitas daerah tentu menyentuh tentang struktur APBD: apakah pemerintah daerah dan DPRD telah menyusun APBD untuk sebesar-besarnya kepentingan pertumbuhan daerah? Apakah alokasi untuk belanja publik relatif lebih besar daripada belanja adminitrasi? Bila masih terdapat kecenderungan alokasi belanja publik yang rendah tentu ini tidak sejalan dengan upaya mendorong produktivitas daerah.
Sebagai ilustrasi misalnya ada dinas pertanian kabupaten memperoleh alokasi anggaran sebesar 6 milyar rupiah. Pertanyaan kuncinya adalah; berapa besar porsi anggaran dialokasikan untuk mendorong produktivitas perbenihan, penanaman, pemeliharan, pemanenan, pemasaran serta pengolahan komoditas pertanian dibandingkan dengan porsi anggaran untuk adminitrasi dinas pertanian tersebut?
Tolok ukur lain tentang hal ini adalah ketaatatan DPRD terhadap Peraturan Pemerintah 110/2000. PP ini mengatur tentang batas maksimum untuk pengeluaran DPRD. Prinsipnya bila DPRD membatasi pengeluarannya seperti yang diatur dalam PP ini, maka semakin besarlah porsi anggaran untuk pelayanan masyarakat. Dengan demikian juga semakin besar kesempatan untuk mendorong produktivitas daerah. Sayang sekali, masih terdengar keluhan di beberapa daerah, yang DPRDnya secara sadar melanggar ketentuan ini. Bila demikian ini dapat dikatakan bahwa DPRD belum berorientasi sepenuhnya pada upaya mendorong produktivitas daerah.
Keempat, beberapa aspek terkait dengan pinjaman dan kerjasama daerah. Sepanjang tahun 2001 dan 2002 terjadi diskusi hangat tentang boleh tidaknya daerah meminjam langsung kepada sumber-sumber pendanaan luar negeri. Indikasi ke arah kebolehan ini memang tercermin dalam UU 22/1999 dan UU 25/1999. Yang harus diperhitungkan adalah implikasi sistemiknya manakala setiap daerah boleh meminjam langsung ke luar negeri. Bagaimanapun juga pinjaman luar negeri terkait dengan peluang terjaminnnya usaha di masa depan. Apakah selalu ada jaminan bahwa pinjaman-pinjaman tersebut di masa depan memperoleh kepastian pengembalian, baik oleh karena alasan ekonomik, politik maupun alasan lainnya kondisional setempat. Inilah kekhawatiran, termasuk yang disampaikan oleh negara dan badan-badan donor internasional sejak sidang CGI di Tokyo Oktober 2000.
Masih banyak faktor dan alasan mengapa kita harus sangat hati-hati menerapkan kebijakan pinjaman luar negeri langsung bagi daerah. Masalah akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, dinamika politik lokal, pengalaman internasional termasuk Argentina dan bahkan Amerika sendiri tampaknya alternatif pembiayaan dua tahap seperti dilakukan selama ini tetap merupakan pilihan kebijakan yang optimal.
Tampaknya, lebih baih bila daerah tidak berpikir terlalu jauh tentang pencarian pinjaman langsung dari luar negeri ini. Tanggung jawab daerah adalah memanfaatkan potensi keuangannya, termasuk dana perimbangan, untuk mendorong investor dalam dan luar negeri supaya produktivitas daerah meningkat sebesar-besarnya. Masing-masing daerah harus berhemat sesuai kapasitas keuangannya, dan pada saat yang sama berrtanggungjawab secara akumulatif memaksimalkan kegunaan dana 113 triliun itu. (Dr.Ir Sudarsono, MA, Kepala Badan Diklat Depdagri, dan dosen FISIP UI)
Seperti diketahui, di tengah krisis ekonomi bahkan krisis multidimensi, pemerintah mengeluarkan UU 22/1999 dan UU 25/1999 sebagai instrumen kehendak otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kendatipun sementara pakar menyebutkan bahwa, berbeda dengan pengalaman beberapa negara lain yang menerapkan kebijakan desentralisasi dalam situasi tidak mengalami krisis, untuk kasus Indonesia justru sebaliknya. Maksudnya, kebijakan desentralisasi di Indonesia dilaksanakan di tengah krisis dan bahkan diharapkan menjadi salah satu obat penawar krisis.
Dua tahun implementasi otonomi daerah diwarnai dengan dinamika yang tinggi di berbagai tingkatan; nasional, provinsi dan bahkan di tingkat masyarakat dan dunia usaha. Beberapa isu penting mewarnai periode awal implementasi ini, di antaranya terkait dengan penataan urusan pemerintahan, perimbangan keuangan, pengelolaan aset dan utamanya personil, hubungan segiempat pemerintah daerah, DPRD, masyarakat dan dunia usaha, serta yang juga menonjol adalah akuntabilias pemerintahan daerah. Ketegangan juga terjadi, antara instansi pusat, antara instansi pusat dengan daerah, antara provinsi dengan kabupaten/kota, antara daerah otonom, bahkan antara masyarakat termasuk dunia usaha dengan pemerintah daerah. Kesemua ini haruslah dipandang sebagai bagian proses menuju keseimbangan dinamis baru, yang lebih baik, lebih efisien, efektif dan berdaya saing.
Pola Sistemik
Harus diakui bawah selalu terdapat keterkaitan sistemik antara pembangunan daerah dengan pembangunan nasional. Demikian pula antara gejala dan perlilaku sistemik krisis ekonomi nasional: selalu ada hubungan antara dinamika nasional dengan dinamika daerah. Tapi, memang seringkali tidak secara mudah dan tepat dapat diidentifikasi variabel-variabel kunci yang menyusun struktur sistemik krisis ini. Dalam kesempatan refleksi ini, ada baiknya kita renungkan salah satu pertanyaan penting: apa peranan dan tanggungjawab daerah dalam mewujudkan pemulihan krisis?
Barangkali ada baiknya dicermati angka-angka dalam RAPBN tahun 2003. Dari pos pengeluaran rutin, tergambar besarnya beban pembayaran bunga utang tahun 2002 tidak kurang mencapai 88,5 triliun rupiah; masing-masing 59,5 triliun bunga utang dalam negeri dan 29,0 triliun bunga utang luar negeri. Sementara proyeksi beban pos yang sama untuk tahun 2003 diperkirakan tidak kurang dari 80 triliun rupiah. Bunganya saja sudah sedemikian besar, bagaimana dengan pokoknya? Konon, tidak kurang dari 1300 triliun rupiah.
Angka lain yang juga perlu dicermati adalah pos belanja untuk daerah. Tahun 2003, diperkirakan tidak kurang dari 113 triliun dana nasional yang dialokasikan ke daerah, baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana otonomi khusus dan penyeimbang. Angka ini sudah lebih dari tiga kali lipat dibanding besaran dana nasional yang didaerahkan pada tahun 2000, yang mencapai sekitar 35 triliun rupiah. Apakah artinya ini?
Tidak lain adalah, manakala kita berbicara tentang pemulihan ekonomi, termasuk pembayaran bunga utang dan pokoknya seperti disebut di atas, maka peranan anggaran 113 triliun rupiah yang didaerahkan itu menjadi sangat penting. Daerah, selain mendapat pelimpahan penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka otonomi termasuk perimbangan keuangan, juga pada saat yang sama punya tanggung jawab besar dalam pemulihan ekonomi. Singkatnya, bagaimanakah masing-masing daerah secara optimum memanfaatkan dana yang diterimanya, yang akumulatif 113 triliun tersebut, untuk menjadi mesin pertumbuhan daerah ,sekaligus menjadi mesin pemulihan nasional?
Otonomi daerah telah menjadikan setiap daerah sebagai pusat peningkatan produktivitas nasional. Ini bukan hanya keinginan, tapi sudah sebagai keharusan. Sayang sekali, masih sering ditengarai adanya kesenjangan antara keharusan dengan apa yang berkembangan di sementara daerah. Beberapa ilustrasi menggambarkan fenomena ini.
Pertama, masih sering terdengar keluhan dari para pengusaha, baik domestik maupun manca negara. Dalam pertemuan para usahawan internasional di Singapura baru-baru ini, mencuat isu “local custom” di beberapa daerah di Indonesia. Bila ternyata masih ada daerah yang lebih suka mengenakan beban-beban berlebih, baik berupa pajak dan retribusi daerah maupun beban pungutan lain, sehingga dikesankan adanya local custom ini, jelas hal ini tidak kondusif bagi upaya peningkatan produktivitas daerah.
Memang dapat dimengerti, bila daerah memerlukan pembiayaan, yang salah satu sumbernya berupa PAD. Kenyatannya juga, kontribusi PAD dalam APBD bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Ada daerah yang kontribusi PAD dalam APBD lebih besar dari 20%, tapi ada juga daerah yang kontribusi PADnya dalam APBD hanya 3%. Tapi apapun situasinya, secara umum dapat dikategorikan dua fenomena yang berbeda berkenaan dengan hubungan antara PAD dengan pertumbuhan daerah.
Suatu daerah dapat mengumpulkan PAD, ex ante, tanpa perlu mempertimbangkan masak-masak implikasinya terhadap produktivitas dan pertumbuhan daerah. Hal ini ditunjukkan oleh sementara daerah yang sejak mula implimenetasi otonomi daerah berorientasi meningkatkan sebesar-besarnya PAD. Disadari atau tidak, kebijakan seperti ini jelas mengurangi minat para investor untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut. Dengan sedikitnya minat investor, dengan sendirinya akan menurunkan kemampuan daerah tersebut untuk mengumpulkan PAD, misalnya karena tidak berkembangnya hiburan dan restoran tentu tidak terkumpulnya pajak hiburan dan restoran. Kerugian lain yang diderita oleh daerah semacam ini adalah tidak berkembangnya kesempatan kerja.
Sebaliknya, suatu daerah juga dapat berorientasi memungut PAD, ex post, mendorong produktivitas dan pertumbuhan terlebih dahulu baru memungutnya. Bila investor suka hati berusaha di daerah tersebut, kesempatan kerja meningkat, kegiatan ekonomi tumbuh, termasuk restoran, hiburan dan pariwisata. Dengan pertumbuhan sektor-sektor yang terakhir ini dengan sendirinyapun pajak dan retribusi daerah atau PAD meningkat.
Catatan dua tahun terakhir ini, tampaknya ada daerah yang masih berorientasi pada pengumpulan PAD terlebih dahulu, tapi tidak sedikit juga yang sudah berorientasi mendorong pertumbuhan dahulu. Contoh yang terakhir ini adalah Provinsi Gorontalo. Berulang kali dikemukakan oleh Gubernur Provinsi Gorontalo: anti retribusi daerah, dan dorong produktivitas. Utamanya produktivitas komoditi jagung. Walaupun dikatakan anti retribusi daerah, maksudnya adalah untuk menekankan betapa pentinganya peningkatan pertumbuhan daerah terlebih dahulu, barulah dipetik hasilnya, antara lain berupa PAD.
Kedua, ada daerah yang selalu merasa kekurangan dana perimbangan, dan cenderung menuntut kenaikan DAU. Harus dipahami bahwa DAU bukanlah dana yang berasal dari negeri antah berantah. DAU adalah bagian dana perimbangan yang diperoleh dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN), yang nilainya minimal 25%. Kenaikan DAU suatu daerah hanya dapat diperoleh melalui (1) penurunan DAU daerah lain manakala total aloksinya tetap, (2) penurunan alokasi pusat manakala persentase alokasi DAU dari PDN naik, atau (3) kenaikan PDN.
Kenaikan PDN diperoleh melalui kenaikan pajak dalam negeri termasuk cukai, pajak perdagangan internasional, dan penerimaan negara bukan pajak. Untuk menaikkan pajak-pajak ini tentu dibutuhkan pertumbuhan dan peningkatan produktivitas badan-badan usaha domestik, BUMN maupun asing. Pertanyaannya, daerah manakah yang terus berusaha menarik sebanyak mungkin badan-badan usaha produktiv ini untuk berusaha di daerahnya? Bila ternyata suatu daerah lebih berorientasi pada peningatan PAD sejak awal dan mengorbankan prioritas pertumbuhan, jelas daerah ini tidak menyumbang pada PDN yang akan dibagikan ke dalam bentuk DAU.
Memang disadari ada daerah yang menyumbang sangat besar ke dalam PDN seperti DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan beberapa daerah lain. Tapi juga tidak sedikit daerah yang lebih banyak tergantung pada sumbangan PDN. Inilah mozaik Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Otonomi Daerah dimaksudkan untuk memperkaya mozaik ini berupa bertumbuhnya daerah sekaligus kuatnya negara kesatuan. Dengan sendirinya semakin banyak daerah yang bertumbuh cepat, semakin kuat pulalah negara kesatuan.
Ketiga, diskusi tentang upaya peningkatan produktivitas daerah tentu menyentuh tentang struktur APBD: apakah pemerintah daerah dan DPRD telah menyusun APBD untuk sebesar-besarnya kepentingan pertumbuhan daerah? Apakah alokasi untuk belanja publik relatif lebih besar daripada belanja adminitrasi? Bila masih terdapat kecenderungan alokasi belanja publik yang rendah tentu ini tidak sejalan dengan upaya mendorong produktivitas daerah.
Sebagai ilustrasi misalnya ada dinas pertanian kabupaten memperoleh alokasi anggaran sebesar 6 milyar rupiah. Pertanyaan kuncinya adalah; berapa besar porsi anggaran dialokasikan untuk mendorong produktivitas perbenihan, penanaman, pemeliharan, pemanenan, pemasaran serta pengolahan komoditas pertanian dibandingkan dengan porsi anggaran untuk adminitrasi dinas pertanian tersebut?
Tolok ukur lain tentang hal ini adalah ketaatatan DPRD terhadap Peraturan Pemerintah 110/2000. PP ini mengatur tentang batas maksimum untuk pengeluaran DPRD. Prinsipnya bila DPRD membatasi pengeluarannya seperti yang diatur dalam PP ini, maka semakin besarlah porsi anggaran untuk pelayanan masyarakat. Dengan demikian juga semakin besar kesempatan untuk mendorong produktivitas daerah. Sayang sekali, masih terdengar keluhan di beberapa daerah, yang DPRDnya secara sadar melanggar ketentuan ini. Bila demikian ini dapat dikatakan bahwa DPRD belum berorientasi sepenuhnya pada upaya mendorong produktivitas daerah.
Keempat, beberapa aspek terkait dengan pinjaman dan kerjasama daerah. Sepanjang tahun 2001 dan 2002 terjadi diskusi hangat tentang boleh tidaknya daerah meminjam langsung kepada sumber-sumber pendanaan luar negeri. Indikasi ke arah kebolehan ini memang tercermin dalam UU 22/1999 dan UU 25/1999. Yang harus diperhitungkan adalah implikasi sistemiknya manakala setiap daerah boleh meminjam langsung ke luar negeri. Bagaimanapun juga pinjaman luar negeri terkait dengan peluang terjaminnnya usaha di masa depan. Apakah selalu ada jaminan bahwa pinjaman-pinjaman tersebut di masa depan memperoleh kepastian pengembalian, baik oleh karena alasan ekonomik, politik maupun alasan lainnya kondisional setempat. Inilah kekhawatiran, termasuk yang disampaikan oleh negara dan badan-badan donor internasional sejak sidang CGI di Tokyo Oktober 2000.
Masih banyak faktor dan alasan mengapa kita harus sangat hati-hati menerapkan kebijakan pinjaman luar negeri langsung bagi daerah. Masalah akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, dinamika politik lokal, pengalaman internasional termasuk Argentina dan bahkan Amerika sendiri tampaknya alternatif pembiayaan dua tahap seperti dilakukan selama ini tetap merupakan pilihan kebijakan yang optimal.
Tampaknya, lebih baih bila daerah tidak berpikir terlalu jauh tentang pencarian pinjaman langsung dari luar negeri ini. Tanggung jawab daerah adalah memanfaatkan potensi keuangannya, termasuk dana perimbangan, untuk mendorong investor dalam dan luar negeri supaya produktivitas daerah meningkat sebesar-besarnya. Masing-masing daerah harus berhemat sesuai kapasitas keuangannya, dan pada saat yang sama berrtanggungjawab secara akumulatif memaksimalkan kegunaan dana 113 triliun itu. (Dr.Ir Sudarsono, MA, Kepala Badan Diklat Depdagri, dan dosen FISIP UI)
PRESIDEN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN
Dalam kampanye kepresidenan Korea Selatan waktu itu, Capres Kim Dae Jung mengatakan: “beri kesempatan saya jadi Presiden Korea Selatan, dan krisis ekonomi akan saya pulihkan dalam waktu dua tahun”. Presiden Kim Dae Jung memang menepati janji politiknya. Bahkan, seluruh indikator ekonomi makro Korea Selatan dapat disehatkan dalam waktu 18 bulan sejak pelantikan Presiden.
Fenomena Presiden Kim Dae Jung ini menarik minat seorang peneliti perilaku kepemimpinan dari Chung Ahn University, Prof. Kim Dong Hwan. Melalui kajian atas hampir 1000 halaman pidato kepresidenan, disimpulkan bahwa Presiden Kim Dae Jung adalah salah seorang model pemimpin pembelajaran (a learning leader). Ciri pemimpin pembelajaran antara lain, (1) berpikir serba sistem, (2) memahami kompleksitas dinamis masyarakat, dan (3) suka dialog.
Gambaran pemimpin pembelajaran ini ditunjukkan oleh kecerdasan Presiden Kim dalam memahami krisis ekonomi Korea Selatan. Presiden Kim berpendapat bahwa krisis ekonomi Korea Selatan ditandai oleh struktur sistemik yang bersifat penstabilan (balancing). Krisis ekonomi Korea Selatan adalah mirip sistem tubuh manusia. Tidak sehatnya satu atau beberapa bagian dari sistem, ditandai oleh tidak sehatnya satu atau beberapa indikator kesehatan sistem. Satu-satunya cara untuk menyehatkan sistem adalah dengan cara menyehatkan seluruh komponen sistem, terutama yang memiliki daya ungkit tertinggi (highest leverage).
Itulah sebabnya mengapa Presiden Kim memilih kebijakan reformasi institusi politik dan institusi finansial guna memulihkan krisis ekonomi Korea Selatan. Dengan jalan ini, Presiden Kim telah bertindak sebagai perancang kebijakan, pelayan dan sekaligus guru masyarakat Korea Selatan untuk menempuh jalan pemulihan krisis.
Kualifikasi pemimpin pembelajaran juga ditunjukkan oleh Perdana Menteri Malaysia Dr.Mahatir Mohammad. Melalui kajian atas materi pidatonya sepanjang kurun waktu tujuh bulan, Prof.Kim Dong Hwan dan V.K. Rai, mendeteksi kecerdasan PM Mahatir Mohammad dalam memahami krisis ekonomi Malaysia. Tidak seperti Presiden Kim, PM Mahatir Mohammad berpendapat bahwa krisis Malaysia ditandai oleh struktur sistemik yang bersifat percepatan negatif (negative reinforcing). Menururt PM Mahatir Mohammad, sesungguhnya seluruh bagian sistem ekonomi politik Malaysia tidak ada yang sakit. Krisis justru disebabkan oleh kegiatan spekulatif orang asing yang menggerogoti kekayaan bangsa Malaysia, melalui spekulasi mata uang. Itulah sebabnya mengapa PM Mahatir Mohammad memilih jalan pemulihan melalui penetapan nilai tukar tetap, dan melarang perdagangan ringgit. Ini adalah cara untuk memotong lingkaran krisis Malaysia yang bersifat lingkaran setan (vicious cycle).
Revolusi Mental
Jelas sekali bahwa kendatipun sama-sama krisis ekonomi dan moneter, karakteristik sistemiknya sangatlah berbeda, dan karena itu kebijakan pemulihannyapun sangat berbeda. Kemampuan Pemimpin mendeteksi sifat krisis di masing-masing negara menjadi faktor sangat penting bagi keberhasilan pemulihan krisis. Hal ini sejalan dengan peringatan Peter Drucker bahwa:”the greates danger in times of turbulence is not the turbulence …. It is to act with yesterdays logic”. Yang paling berbahaya pada saat krisis bukanlah krisis itu sendiri, melainkan justru adalah tindakan kita yang dilandasi oleh pikiran-pikiran kita yang sudah ketinggalan jaman.
Itulah sebabnya setiap negara bangsa memerlukan pemimpin pembelajaran. Yakni, pemimpin yang telah mengalami revolusi mental, atau shift of paradigm. Pemimpin yang bukan hanya membawa dirinya menjadi pembelajar sepanjang hayat, tetapi juga membangun seluruh organisasi bangsa menjadi organisasi pembejaran (learning organization), dan sekaligus mengajak bangsanya menjadi bangsa pembelajaran (learning nation).
Fenomena Presiden Kim Dae Jung ini menarik minat seorang peneliti perilaku kepemimpinan dari Chung Ahn University, Prof. Kim Dong Hwan. Melalui kajian atas hampir 1000 halaman pidato kepresidenan, disimpulkan bahwa Presiden Kim Dae Jung adalah salah seorang model pemimpin pembelajaran (a learning leader). Ciri pemimpin pembelajaran antara lain, (1) berpikir serba sistem, (2) memahami kompleksitas dinamis masyarakat, dan (3) suka dialog.
Gambaran pemimpin pembelajaran ini ditunjukkan oleh kecerdasan Presiden Kim dalam memahami krisis ekonomi Korea Selatan. Presiden Kim berpendapat bahwa krisis ekonomi Korea Selatan ditandai oleh struktur sistemik yang bersifat penstabilan (balancing). Krisis ekonomi Korea Selatan adalah mirip sistem tubuh manusia. Tidak sehatnya satu atau beberapa bagian dari sistem, ditandai oleh tidak sehatnya satu atau beberapa indikator kesehatan sistem. Satu-satunya cara untuk menyehatkan sistem adalah dengan cara menyehatkan seluruh komponen sistem, terutama yang memiliki daya ungkit tertinggi (highest leverage).
Itulah sebabnya mengapa Presiden Kim memilih kebijakan reformasi institusi politik dan institusi finansial guna memulihkan krisis ekonomi Korea Selatan. Dengan jalan ini, Presiden Kim telah bertindak sebagai perancang kebijakan, pelayan dan sekaligus guru masyarakat Korea Selatan untuk menempuh jalan pemulihan krisis.
Kualifikasi pemimpin pembelajaran juga ditunjukkan oleh Perdana Menteri Malaysia Dr.Mahatir Mohammad. Melalui kajian atas materi pidatonya sepanjang kurun waktu tujuh bulan, Prof.Kim Dong Hwan dan V.K. Rai, mendeteksi kecerdasan PM Mahatir Mohammad dalam memahami krisis ekonomi Malaysia. Tidak seperti Presiden Kim, PM Mahatir Mohammad berpendapat bahwa krisis Malaysia ditandai oleh struktur sistemik yang bersifat percepatan negatif (negative reinforcing). Menururt PM Mahatir Mohammad, sesungguhnya seluruh bagian sistem ekonomi politik Malaysia tidak ada yang sakit. Krisis justru disebabkan oleh kegiatan spekulatif orang asing yang menggerogoti kekayaan bangsa Malaysia, melalui spekulasi mata uang. Itulah sebabnya mengapa PM Mahatir Mohammad memilih jalan pemulihan melalui penetapan nilai tukar tetap, dan melarang perdagangan ringgit. Ini adalah cara untuk memotong lingkaran krisis Malaysia yang bersifat lingkaran setan (vicious cycle).
Revolusi Mental
Jelas sekali bahwa kendatipun sama-sama krisis ekonomi dan moneter, karakteristik sistemiknya sangatlah berbeda, dan karena itu kebijakan pemulihannyapun sangat berbeda. Kemampuan Pemimpin mendeteksi sifat krisis di masing-masing negara menjadi faktor sangat penting bagi keberhasilan pemulihan krisis. Hal ini sejalan dengan peringatan Peter Drucker bahwa:”the greates danger in times of turbulence is not the turbulence …. It is to act with yesterdays logic”. Yang paling berbahaya pada saat krisis bukanlah krisis itu sendiri, melainkan justru adalah tindakan kita yang dilandasi oleh pikiran-pikiran kita yang sudah ketinggalan jaman.
Itulah sebabnya setiap negara bangsa memerlukan pemimpin pembelajaran. Yakni, pemimpin yang telah mengalami revolusi mental, atau shift of paradigm. Pemimpin yang bukan hanya membawa dirinya menjadi pembelajar sepanjang hayat, tetapi juga membangun seluruh organisasi bangsa menjadi organisasi pembejaran (learning organization), dan sekaligus mengajak bangsanya menjadi bangsa pembelajaran (learning nation).
REPOSISI DEPARTEMEN DALAM NEGERI
I. Latar Belakang
Berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa : Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar (propinsi) dan kecil (kabupaten/kota) dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang. Selanjutnya dalam pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, APBN dan hal keuangan negara diatur dengan Undang-undang. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pembagian daerah mempunyai konsekwensi terhadap pendelegasian kewenangan dan keuangan, dan untuk itu perlu diatur dalam format undang-undang, sehingga aspek pemerintah dan keuangan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu merupakan satu kesatuan yang utuh.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bentuk dan susunan pemerintahan (pusat dan daerah) telah diatur dan disempurnakan beberapa kali mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah dan yang terakhir adalah paket UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Semua UU memperlihatkan kaitan yang sangat signifikan antara aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan kapasitas keuangan daerah, baik dalam tataran sumber-sumber keuangannya maupun pada tataran administrasi dan manajemen keuangan daerah sebagai bagian manajemen pemerintahan secara umum, dalam meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarkaat.
Oleh karena itu setiap penyempurnaan UU tentang Pemerintahan Daerah selalu ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Pemerintahan (PP) bidang keuangan daerah yang merupakan landasan operasional dalam pengelolaan keuangan daerah, mulai dari aspek perencanaan anggaran, penata-usahaan, pelaksanaan dan perhitungan anggaran, pertanggungjawaban dan pengawasan. Gambaran umum perubahan tersebut dari waktu ke waktu adalah sebagai berikut:
1. UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah telah diikuti dengan PP Nomor 36 Tahun 1972 tentang Pengurusan, pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah dan PP Nomor 48 Tahun 1973 tentang Pedoman Penyelenggaraan Keuangan Daerah.
2. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan DI Daerah telah diikuti dengan PP Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah dan PP Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tatausaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD.
3. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah diikuti dengan PP Nomor 104 tahun 2000 tentang Dana Perimbangan dan PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang sesuai amanat dalam Pasal 14 PP Nomor 105 Tahun 2000 tersebut ditindak lanjuti dengan KEPMENDAGRI Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Selain dari pada itu, dalam konteks perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, pada tahun 1956 pemerintah telah mulai berupaya mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan menetapkan UU Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-Daerah Yang Berhak Mengurus Rumahtangganya Sendiri (Daerah Otonom). Dalam kenyataannya dengan pertimbangan tertentu peraturan dimaksud tidak pernah kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, pada awalnya melalui Alokasi Devisa Otomatis (ADO) yang selanjutnya diganti dengan kebijakan Subsidi Daerah Otonom (SDO) untuk kegiatan rutin dan INPRES untuk kegiatan pembangunan.
II. Kompetensi Pembinaan Bidang Keuangan Daerah Sesuai Tugas Pokok dan Fungsi
Berdasarkan fakta hukum dimaksud dan praktek-praktek pembinaan selama ini tidak dapat dipungkiri besarnya kompetensi DEPDAGRI secara komprehensif dan integratif dalam pembinaan pengelolaan keuangan daerah, seperti khususnya dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Perhitungan subsidi (SDO) dan bantuan pembangunan (INPRES) ke daerah. Dalam kaitan ini DDN bersama PEMDA memformulasikan kebutuhan dan jumlah alokasi dana untuk daerah, menyiapkan Surat Permintaan Penerbitan (SPP) SKO ke DEPKEU cq. Ditjen Anggaran.
2. Pengesahan PERDA APBD yang intinya untuk melihat akuntabilitas anggaran pada umumnya baik penerimaan maupun pengeluaran dan khususnya rencana penggunaan dana subsidi dan bantuan dari pemerintah. Kegiatan ini dilakukan berkoordinasi dengan BAPPENAS maupun instansi terkait lainnya.
3. Pengesahan PERDA Perhitungan APBD yang intinya untuk melihat kinerja dan devisa dalam pelaksanaan anggaran.
4. Kegiatan pembinaan yang dilakukan dalam format penyiapan regulasi, advisori, bimbingan teknis, dan pengembangan metoda, teknis, serta pemanfaatan teknologi di bidang pengelolaan keuangan daerah.
Selama kurun waktu yang begitu panjang, peraturan-peraturan yang dipergunakan sebagai acuan atau landasan hukum dalam pengelolaan keuangan negara hingga saat ini masih berkiblat pada ICW (Undang-undang Perbendaharaan Indonesia), walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian seperlunya tetapi tidak hialng dari prinsip dasarnya. Demikian pula aturan-aturan dalam pengelolaan keuangan daerah sebelum ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 juga masih mengacu pada ICW atau UU Perbendaharaaan Indonesia (UUPI), meskipun saat ini sedang diproses paket UU Keuangan Negara sebagai penggantinya. Dengan demikian spirit aturan bidang keuangan daerah pasca UU Nomor 22 Tahun 1999 sudah mengantisipasi hal tersebut (masa transisi) sesuai dinamika perubahan dan tuntutan masyarakat akan perlunya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah sebagai salah satu instrumen kebijakan publik.
Di dalam undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah tentang pemerintahan daerah pada umumnya dan keuangan daerah pada khususnya diamanatkan bahwa pembinaan dan pengawasan umum terhadap jalannya pemerintahan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Mengingat keuangan daerah merupakan salah satu substansi fungsi pemerintahan daerah tidak dapat dipisahkan terlebih-lebih di era otonomi daerah, maka hal-hal yang terkait dengan koordinasi kebijakan pengaturan keuangan daerah dengan sendirinya berada dalam pembinaan dan pengawasan Departemen Dalam Negeri. Hal ini juga sejalan dengan upaya pencapaian stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, politik dan kemasyarakat, serta pembangunan yang terintegrasi. Tentu dalam pelaksanannya tidak mengurangi kewenangan Departemen Keuangan dalam menentukan kebijakan makro keuangan derah (Badan Analisa Moneter dan Fiskal) maupun penyaluran alokasi dana ke daerah (Dirjen Anggaran) termasuk juga aspek pengawasan yang harus dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan BPKP.
Berkenaan dengan hal tersebut dan sesuai amanat yang diatur dalam UU maupun PP, maka peran sentral Departemen Dalam Negeri dalam pembinaan Keuangan Daerah diwujudkan melalui penyiapan berbagai instrumen manajemen dan penatausahaan sebagai pedoman atau acuan, baik yang bersifat standart/aturan (mandatory) maupun yang bersifat panduan umum/metoda (voluntary). Oleh karenanya sebagai tindaklanjut PP Nomor 5 Tahun 1975 dan PP Nomor 6 Tahun 1975, Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan beberapa peraturan dan keputusan sebagai pedoman bagi daerah antara lain:
1. Permendagri Nomor 11 Tahun 1975 tentang Contoh-contoh Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD;
2. Permendagri Nomor 1 Tahun 1980 tentang Petunjuk/Pedoman Tata Administrasi Bendaharawan Daerah;
3. Permendagri Nomor 2 Tahun 1994 jo. Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan APBD;
4. Permendagri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah;
5. Kepmendagri Nomor 903-269 Tahun 1986 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Tata Usaha Keuangan Daerah serta Perhitungan APBD;
6. Kepmendagri Nomor 903-379 Tahun 1987 tentang Penggunaan Sistim Digit Dalam Pelaksanaan APBD serta Petunjuk Teknis Tata Usaha Keuangan Daerah.
Selain itu, di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hal yang berkaitan dengan Keuangan Daerah juga diatur tersendiri yaitu pada Bab VIII Keuangan Daerah. Pasal 86 ayat (4) dan ayat (6) mengamanatkan hal-hal sebagai berikut:
• Ayat (4) Penyusunan, Perubahan dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
• Ayat (6) Pedoman tantang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan mangacu kepada ketentuan tersebut di atas, maka pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan pemerintah sebagai tindaklanjutnya, antara lain:
1. PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.
2. PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3. PP Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
4. PP Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
5. PP Nomor 109 Tahun 2000 Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
6. PP Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.
Pengelolaan keuangan daerah secara khusus lebih jelas dalam PP Nomor 105 Tahun 2000 yaitu pada Bagian Ketiga: Pengaturan tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Penegasan tersebut tercantum pada Pasal 14 ayat:
(1) Ketentuan tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Sistem dan Prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.
(4) Pedoman tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (4) tersebut di atas, maka Departemen Dalam Negeri telah menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD sebagai petunjuk / pedoman teknis bagi pemerintah daerah sebagai acuan utana pengelolaan keuangan daerah.
III. Distorsi Tugas Pokok Dan Fungsi
Jelaslah bahwa peranan DEPDAGRI dalam memberikan bimbingan dan supervisi dibidang pengelolaan keuangan daerah justru menjadi salah satu bagian penting dari pelaksanaan otonomi daerah, antara lain melalui adanya keadilan fiskal yang mampu meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah otonom.
Namun disisi lain adanya restrukturisasi organisasi Departemen, terutama dengan dibentuknya Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJ PKPD) di Departemen Keuangan telah menimbulkan kerancuan dalam penataan fungsi-funsgi yang bertumpu pada mekanisme pembinaan man, money, dan material, khususnya keterkaitannya antara aspek kewenangan dan keuangan yang terintegrasi.
Kondisi menjadi distortif mengingat fungsi-fungsi yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah yang sangat esential seperti fungsi alokasi dan stabilitas bantuan keuangan ke daerah, serta standarisasi administrasi pengelolaan keuangan daerah juga dilaksanakan oleh DEPKEU. Pada hal semestinya menurut azas dan praktek pengelolaan keuangan pemerintah yang sehat, Menteri Keuangan selaku Otorisator dan Bendaharawan Umum Negara (BUN) tidak boleh merangkap tugas atau fungsi lainnya dibidang pengelolaan keuangan negara, seperti fungsi perencanaan yang seharusnya menjadi tugas departemen sesuai dengan kompetensinya.
Seharusnya secara tegas fungsi Departemen Dalam Negeri dalam pembinaan pemerintah daerah baik kewenangan maupun keuangan daerah tidak rancu atau tercampur aduk dengan fungsi dan peran DEPKEU untuk menerbitkan dan menyalurkan SKO dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Kondisi demikian bila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan disparatis antara aspek penyelenggaraan pemerintahan, politik dan kemasyarakatan, dan pembangunan dengan aspek keuangan daerah serta memberikan peluang negatif bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan keuangan negara.
Munculnya DJ PKPD membentuk image yang keliru bagi daerah, seoralh-olah yang bertanggungjawab mambina keuangan daerah adalah DEPKEU, sebab dilingkungan DJ PKPD terdapat Direktorat yang tugasnya hampir sama dengan tugas-tugas yang terddapat pada Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah Ditjen OTDA. Oleh karena itu fasilitasi keuangan daerah yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah Ditjen Otda sering berbenturan dengan tugas yang dilaksanakan oleh DJ PKPD, terutama berkaitan dengan alokasi dana perimbangan baik bagi hasil, DAU, maupun DAK, dan standar akuntansi dan tata usaha pengelolaan keuangan daerah.
Selain itu, peran DJ PKPD yang merencanakan kriteria teknis alokasi DAU juga bersama komponen lainnya dilingkungan DEPKEU berupaya untuk melakukan pembinaan keuangan daerah yang selama ini telah menjadi tugas DEPDAGRI (perhatikan PP 5&6 Tahun 1975 dan PP 105 Tahun 2000 ps 14), yang sama sekali tidak ada kaitan tugas Depkeu antara lain:
1. Intervensi penataan sistem akuntansi keuangan daerah yang dilakukan oleh Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN). Yang terkahir ini seharusnya lebih berperan menata sistem akuntansi keuangan negara agar tercipta administrasi keuangan negara yang baik dan sehat.
2. Intervensi evaluasi dan pelaporan keuangan daerah yang dilaksanakan oleh Badan Infpormasi dan Teknologi Keuangan dan DJ PKPD DEPKEU (Sistemn Infpormasi Keuangan Daerah/SIKD). Pada hal Ditjen Otda cq. Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah salah satu tugasnya melakukan evaluasi dan menyiapkan laporan tentang informasi keuangan daerah, atas PERDA APBD yang disampaikan daerah 15 hari setelah ditetapkan. Karene alasan data dasar perhitungan DAU,maka dalam kenyataannya daerah lebih taan menyampaikan PERDA APBD-nya ke DEPKEU dari pada ke DEPDAGRI.
Kedua hal di atas tersebut pada gilirannya menjadikan peran Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua DPOD (seperti diamanatkan oleh UU 22/1999) juga tidak optimal. Beberapa hal berikut ini adalah indikasi distorsi tupoksi kedua Departemen yang disebabkan oleh adanya Ditjen PKPD:
1. Ditunjuknya DJ PKPD selaku Kepala Sekretraiat Perimbangan Keuangan DPOD yang kedudukannya dibawah Ditjen OTDA selaku Sekretaris DPOD seringkali tidak bisa mengkoordinasikan keputusan MENKEU dibidang perimbangan keuangan dengan Sekretaris DPOD. Sehingga sering keputusan MENKEU yang strategis dibidang perimbangan keuangan tidak dikoordinasikan terlebih dahulu bahkan MENDAGRI atau Ditjen OTDA tidak mengetahuinya.
Contoh kasus Bagi Hasil Migas Tahun 2002.
2. Perencanaan awal penentuan plafond dana perimbangan (DAU & DAK) dalam RAPBN tidak pernah dimintakan pertimbangan terlebih dahulu daro DPOD. Hal tersebut disebabkan Badan Analisa Fiskal lebih berperan dari DJ PKPD. Kendala ini mungkin disebabkan satu sisi DJ PKPD selaku Kepala Sekretariat DPOD dan disisi lain sebagai bawahan MENKEU sehingga sulit mendahulukan kepentingan daerah dari pada kepentingan APBN.
3. Daerah lebih senang berhubungan langsung dengan DEPKEU sebab perhitungan DAU, Penetapan besaran Bagi Hasil dan penyalurannya ke Kas Daerah semuanya dilakukan oleh DEPKEU Fungsi kontrol dalam pola ini sulit berjalan, sehingga berpotensi terjadinya isue penyalahgunaan dalam penetapan dana perimbangan.
Tentang pelaksanaan tugas DJ PKPD sendiri dinilai kurang efektif disebabkan beberapa hal:
1. Perencana bagi hasil PBB, BPHTB, PPh Pasal 21 pada dasarnya dilakukan oleh Ditjen Pajak DEPKEU.
2. Perencana bagi hasil bukan pajak, Sektor Pertambangan Migas dan Pertambangan Umum telah dilakukan oleh Menteri ESDM, Sektor Kehutanan oleh Menteri Kehutanan, Sektor Perikanan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
3. Menyusun plafon Dana Perimbangan dalam RAPBN setiap tahun dilakukan oleh Badan Analisa Fiskal DEPKEU.
4. Penyaluran Bagi Hasil Bukan Pajak adalah Ditjen Lembaga Keuangan, sedangkan Bagi Hasil Pajak, DAU dan DAK Reboisasi adalah Ditjen Anggaran DEPKEU.
5. Menyusun formula DAU dilakukan oleh 4 Perguruan Tinggi (UI, INHAS, UNAND dan UGM) untuk tahun 2003 ditambah dengan Univ. Syahkuala Banda Aceh dan Univ. Mulawarman.
6. Menyusun kriteria teknis DAK Reboisasi dan DAK-Non Reboisasi adalah Departemen Teknis.
Praktis peran DJ PKPD hanya mengumpulkan data dasar perhitungan DAU, itupun sebagian besar sumbernya dari Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah Ditjen OTDA. Dalam berbagai kerjasama dan koordinasi yang dilakukan boleh dikatakan bahwa tugas DJ PKPD tidak jauh beda dengan tugas yang dilaksanakan Subdit Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Direktorarat Keuangan Daerah Ditjen PUOD sebelum UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999.
IV. Perbandingan Internasional
Persoalan pembagian tugas pokok dan fungsi serta kompetensi antara pembinaan keuangan negara dengan pembinaan keuangan daerah juga dialami dari banyak negara lain. Survey telah dilakukan terhadap tiga negara sebagai rujukan yakni China, Kore dan Jepang. Sebagaimana tercermin pada Lampiran-1, Lampiran-2 dan Lampiran-3, jelas sekali bahwa ketiga negara tersebut dengan tegas menempatkan pembinaan keuangan daerah di bawah Kementrian Dalam Negeri. Sementara Kementrian Keuangan di tiga negara tersebut berkonsentrasi pada aspek-aspek makro penyelenggaraan keuangan negara.
V. Implikasi Kebijakan
Berdasar uraian tersebut di atas, sangatlah jelas perlunya dilakukan langkah-langkah strategi dalam rangka pemantapan penyelenggaraan pemerintahan nasional sekaligus penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui langkah-langkah berikut:
1. Peleburan Ditjen PKPD dan Badan Informasi Keuangan Daerah.
2. Pada saat yang sama dilakukan Reposisi dan Restrukturasi Depdagri melalui beberapa alternatif.
Alternatif-1, melalui pembentukan Ditjen Keuangan Daerah sehingga menambah satu Ditjen baru dilingkungan Depdagri menjadi 7 (tujuh) Direktorat Jenderal.
Alternatif-2, menata kembali Ditjen Otda dan Ditjen Bangda, sehingga aspek pembinaan keuangan daerah secara penuh dan integratif dikelola dalam Ditjen baru, yaitu “Ditjen Pembangunan dan Keuangan Daerah”. Melalui alternatif-2 ini jumlah Ditjen dilingkungan Depdagri tetap 6 (enam) Ditjen.
Alternatif-3, membentuk Ditjen Keuangan Daerah dan menata kembali Ditjen Otda, dan khususnya mengintegrasikan Ditjen Bangda dan Ditjen PMD menjadi Ditjen Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Melalui alternatif-3 ini jumlah Ditjen di lingkungan Depdagri tetap berjumlah 6 (enam).
3. Sebagai konsekuensi peleburan Ditjen PKPD dan Badan Informasi Keuangan Daerah Depkeu, semua P3D dapat dialokasikan ke Depdagri sesuai peraturan perundangan, kecuali bagi personil yang tetap menginginkan berkarir di Depkeu.
4. Penyesuian diperlukan di Ditjen Anggaran Depkeu, yakni dengan menambahkan satu Direktorat yakni Direktorat Dana Perimbangan.
Dibentuknya Ditjen Keuangan Daerah akan dapat mempolakan pengurusan keuangan daerah yang lebih terintegrasi dalam kerangka perimbangan keuangan pusat-daerah dan hubungan pemerintahan pusat dan daerah ditangani melalui satu pintu yaitu DEPDAGRI.
Selain merancang perimbangan keuangan, peran utama Ditjen Keuangan Daerah yang harus ditetapkan, agar pengelolaan keuangan daerah dan pengurusan dana perimbangan dapat ditangani melalui satu pintu, antara lain:
1. Menerbitkan Surat Permintaan Penerbitan (SPP) SKO Menteri Keuangan untuk menyalurkan dana perimbangan yang telah ditetapkan dalam APBN ke Kas Daerah. Dengan demikian tidak Rp1-pun penyaluran dana perimbangan ke Kas Daerah tanpa berdasarkan SPP dari Menteri Dalam Negeri seperti penyaluran dana SDO sebelum UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999.
2. Menunjuk kedudukan Dirjen Keuangan Daerah selaku Kepala Sekretariat DPOD bidang Perimbangan, sehingga peran DPOD dan peran MENDAGRI dalam memberikan pertimbangan berkaitan dengan perimbangan keuangan kepada Presiden untuk ditampung dalam RAPBN akan lebih optimal. Kepentingan daerah dalam APBN dapat lebih diutamakan.
Dengan lahirnya Ditjen Keuangan Daerah DEPDAGRI, maka peran DEPKEU melalui Ditjen Anggaran cukup bertindak sebagai penyalur dana perimbangan sebagaimana ditetapkan. Fungsi pengawasan tetap ditangani oleh BPK dan BPKP, bahkan Inspektorat Jenderal DEPDAGRI akan lebih efektif peranannya dalam melakukan pengawasan di daerah. Adanya pemisahan fungsi-fungsi ini niscaya pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah akan dilaksanakan lebih efektif dan efisien.
Keberadaan Ditjen Keuangan Daerah juga akan mendorong terlaksananya dengan efektif tugas-tugas DEPDAGRI dibidang pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah, pembinaan pembangunan daerah, kesatuan bangsa, pemerintahan umum, kependudukan, pemberdayaan masyarakat desa, litbang, pendidikan dan pelatihan serta penyiapan kader kepemimpinan.
Ditjen Keuangan Daerah akan memainkan peran merencanakan dukungan pembiayaan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh komponen yang terkait dilingkungan DEPDAGRI dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Disisi lain berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) dan (4) pemerintah daerah juga harus menyiapkan Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan keputusan Kepala Daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan keuangan daerah. Namun sampai saat ini daerah-daerah baik Propinsi, kabupaten dan Kota yang telah menetapkan Perda tentang itu relatif masih terbatas.
Berpijak dari kondisi tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa pelaksanaan pengelolaan keuangannya pada tahun kedua pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 belum sepenuhnya berpedoman pada ketentuan yang berlaku. Atau dalam kata lain pengelolaan keuangan daerah masih terdapat ruang kosong (Perda dan Keputusan Kepala Daerah) yang perlu disiapkan dan ditetapkan oleh masing-masing Pemerintah daerah. Selain itu dengan adanya pelimpahan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah kepada pemerintah daerah mengakibatkan semakin menumpuknya atau kompleksnya permasalahan yang harus diselesaikan, maka pembinaan dan evaluasi yang berkesinambungan sangat diperlukan.
Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya duplikasi pengaturan atau substansi yang ditampung dalma ketentuan (PP – Keppres – Kepmendagri – Perda – Kdh) lebih runtut diperlukan koordinasi dan sinkronisasi yang mantap antara pemerintah (Depdagri) dengan pemeirntah daerah dalam menyusun aturan-aturan pelaksanaannya.
Bertitik tolak dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa dalam masa otonomi daerah sekarang ini, hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, pengaturan dan pengawasan umum jalannya pemerintahan daerah khususnya pengelolaan keuangan daerah harus tetap dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, sekaligus memfasilitasi daerah-daerah dalam rangka percepatan pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa : Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar (propinsi) dan kecil (kabupaten/kota) dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang. Selanjutnya dalam pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, APBN dan hal keuangan negara diatur dengan Undang-undang. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pembagian daerah mempunyai konsekwensi terhadap pendelegasian kewenangan dan keuangan, dan untuk itu perlu diatur dalam format undang-undang, sehingga aspek pemerintah dan keuangan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu merupakan satu kesatuan yang utuh.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bentuk dan susunan pemerintahan (pusat dan daerah) telah diatur dan disempurnakan beberapa kali mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah dan yang terakhir adalah paket UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Semua UU memperlihatkan kaitan yang sangat signifikan antara aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan kapasitas keuangan daerah, baik dalam tataran sumber-sumber keuangannya maupun pada tataran administrasi dan manajemen keuangan daerah sebagai bagian manajemen pemerintahan secara umum, dalam meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarkaat.
Oleh karena itu setiap penyempurnaan UU tentang Pemerintahan Daerah selalu ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Pemerintahan (PP) bidang keuangan daerah yang merupakan landasan operasional dalam pengelolaan keuangan daerah, mulai dari aspek perencanaan anggaran, penata-usahaan, pelaksanaan dan perhitungan anggaran, pertanggungjawaban dan pengawasan. Gambaran umum perubahan tersebut dari waktu ke waktu adalah sebagai berikut:
1. UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah telah diikuti dengan PP Nomor 36 Tahun 1972 tentang Pengurusan, pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah dan PP Nomor 48 Tahun 1973 tentang Pedoman Penyelenggaraan Keuangan Daerah.
2. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan DI Daerah telah diikuti dengan PP Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah dan PP Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tatausaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD.
3. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah diikuti dengan PP Nomor 104 tahun 2000 tentang Dana Perimbangan dan PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang sesuai amanat dalam Pasal 14 PP Nomor 105 Tahun 2000 tersebut ditindak lanjuti dengan KEPMENDAGRI Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Selain dari pada itu, dalam konteks perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, pada tahun 1956 pemerintah telah mulai berupaya mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan menetapkan UU Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-Daerah Yang Berhak Mengurus Rumahtangganya Sendiri (Daerah Otonom). Dalam kenyataannya dengan pertimbangan tertentu peraturan dimaksud tidak pernah kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, pada awalnya melalui Alokasi Devisa Otomatis (ADO) yang selanjutnya diganti dengan kebijakan Subsidi Daerah Otonom (SDO) untuk kegiatan rutin dan INPRES untuk kegiatan pembangunan.
II. Kompetensi Pembinaan Bidang Keuangan Daerah Sesuai Tugas Pokok dan Fungsi
Berdasarkan fakta hukum dimaksud dan praktek-praktek pembinaan selama ini tidak dapat dipungkiri besarnya kompetensi DEPDAGRI secara komprehensif dan integratif dalam pembinaan pengelolaan keuangan daerah, seperti khususnya dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Perhitungan subsidi (SDO) dan bantuan pembangunan (INPRES) ke daerah. Dalam kaitan ini DDN bersama PEMDA memformulasikan kebutuhan dan jumlah alokasi dana untuk daerah, menyiapkan Surat Permintaan Penerbitan (SPP) SKO ke DEPKEU cq. Ditjen Anggaran.
2. Pengesahan PERDA APBD yang intinya untuk melihat akuntabilitas anggaran pada umumnya baik penerimaan maupun pengeluaran dan khususnya rencana penggunaan dana subsidi dan bantuan dari pemerintah. Kegiatan ini dilakukan berkoordinasi dengan BAPPENAS maupun instansi terkait lainnya.
3. Pengesahan PERDA Perhitungan APBD yang intinya untuk melihat kinerja dan devisa dalam pelaksanaan anggaran.
4. Kegiatan pembinaan yang dilakukan dalam format penyiapan regulasi, advisori, bimbingan teknis, dan pengembangan metoda, teknis, serta pemanfaatan teknologi di bidang pengelolaan keuangan daerah.
Selama kurun waktu yang begitu panjang, peraturan-peraturan yang dipergunakan sebagai acuan atau landasan hukum dalam pengelolaan keuangan negara hingga saat ini masih berkiblat pada ICW (Undang-undang Perbendaharaan Indonesia), walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian seperlunya tetapi tidak hialng dari prinsip dasarnya. Demikian pula aturan-aturan dalam pengelolaan keuangan daerah sebelum ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 juga masih mengacu pada ICW atau UU Perbendaharaaan Indonesia (UUPI), meskipun saat ini sedang diproses paket UU Keuangan Negara sebagai penggantinya. Dengan demikian spirit aturan bidang keuangan daerah pasca UU Nomor 22 Tahun 1999 sudah mengantisipasi hal tersebut (masa transisi) sesuai dinamika perubahan dan tuntutan masyarakat akan perlunya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah sebagai salah satu instrumen kebijakan publik.
Di dalam undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah tentang pemerintahan daerah pada umumnya dan keuangan daerah pada khususnya diamanatkan bahwa pembinaan dan pengawasan umum terhadap jalannya pemerintahan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Mengingat keuangan daerah merupakan salah satu substansi fungsi pemerintahan daerah tidak dapat dipisahkan terlebih-lebih di era otonomi daerah, maka hal-hal yang terkait dengan koordinasi kebijakan pengaturan keuangan daerah dengan sendirinya berada dalam pembinaan dan pengawasan Departemen Dalam Negeri. Hal ini juga sejalan dengan upaya pencapaian stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, politik dan kemasyarakat, serta pembangunan yang terintegrasi. Tentu dalam pelaksanannya tidak mengurangi kewenangan Departemen Keuangan dalam menentukan kebijakan makro keuangan derah (Badan Analisa Moneter dan Fiskal) maupun penyaluran alokasi dana ke daerah (Dirjen Anggaran) termasuk juga aspek pengawasan yang harus dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan BPKP.
Berkenaan dengan hal tersebut dan sesuai amanat yang diatur dalam UU maupun PP, maka peran sentral Departemen Dalam Negeri dalam pembinaan Keuangan Daerah diwujudkan melalui penyiapan berbagai instrumen manajemen dan penatausahaan sebagai pedoman atau acuan, baik yang bersifat standart/aturan (mandatory) maupun yang bersifat panduan umum/metoda (voluntary). Oleh karenanya sebagai tindaklanjut PP Nomor 5 Tahun 1975 dan PP Nomor 6 Tahun 1975, Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan beberapa peraturan dan keputusan sebagai pedoman bagi daerah antara lain:
1. Permendagri Nomor 11 Tahun 1975 tentang Contoh-contoh Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD;
2. Permendagri Nomor 1 Tahun 1980 tentang Petunjuk/Pedoman Tata Administrasi Bendaharawan Daerah;
3. Permendagri Nomor 2 Tahun 1994 jo. Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan APBD;
4. Permendagri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah;
5. Kepmendagri Nomor 903-269 Tahun 1986 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Tata Usaha Keuangan Daerah serta Perhitungan APBD;
6. Kepmendagri Nomor 903-379 Tahun 1987 tentang Penggunaan Sistim Digit Dalam Pelaksanaan APBD serta Petunjuk Teknis Tata Usaha Keuangan Daerah.
Selain itu, di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hal yang berkaitan dengan Keuangan Daerah juga diatur tersendiri yaitu pada Bab VIII Keuangan Daerah. Pasal 86 ayat (4) dan ayat (6) mengamanatkan hal-hal sebagai berikut:
• Ayat (4) Penyusunan, Perubahan dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
• Ayat (6) Pedoman tantang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan mangacu kepada ketentuan tersebut di atas, maka pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan pemerintah sebagai tindaklanjutnya, antara lain:
1. PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.
2. PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3. PP Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
4. PP Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
5. PP Nomor 109 Tahun 2000 Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
6. PP Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.
Pengelolaan keuangan daerah secara khusus lebih jelas dalam PP Nomor 105 Tahun 2000 yaitu pada Bagian Ketiga: Pengaturan tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Penegasan tersebut tercantum pada Pasal 14 ayat:
(1) Ketentuan tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Sistem dan Prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.
(4) Pedoman tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (4) tersebut di atas, maka Departemen Dalam Negeri telah menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD sebagai petunjuk / pedoman teknis bagi pemerintah daerah sebagai acuan utana pengelolaan keuangan daerah.
III. Distorsi Tugas Pokok Dan Fungsi
Jelaslah bahwa peranan DEPDAGRI dalam memberikan bimbingan dan supervisi dibidang pengelolaan keuangan daerah justru menjadi salah satu bagian penting dari pelaksanaan otonomi daerah, antara lain melalui adanya keadilan fiskal yang mampu meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah otonom.
Namun disisi lain adanya restrukturisasi organisasi Departemen, terutama dengan dibentuknya Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJ PKPD) di Departemen Keuangan telah menimbulkan kerancuan dalam penataan fungsi-funsgi yang bertumpu pada mekanisme pembinaan man, money, dan material, khususnya keterkaitannya antara aspek kewenangan dan keuangan yang terintegrasi.
Kondisi menjadi distortif mengingat fungsi-fungsi yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah yang sangat esential seperti fungsi alokasi dan stabilitas bantuan keuangan ke daerah, serta standarisasi administrasi pengelolaan keuangan daerah juga dilaksanakan oleh DEPKEU. Pada hal semestinya menurut azas dan praktek pengelolaan keuangan pemerintah yang sehat, Menteri Keuangan selaku Otorisator dan Bendaharawan Umum Negara (BUN) tidak boleh merangkap tugas atau fungsi lainnya dibidang pengelolaan keuangan negara, seperti fungsi perencanaan yang seharusnya menjadi tugas departemen sesuai dengan kompetensinya.
Seharusnya secara tegas fungsi Departemen Dalam Negeri dalam pembinaan pemerintah daerah baik kewenangan maupun keuangan daerah tidak rancu atau tercampur aduk dengan fungsi dan peran DEPKEU untuk menerbitkan dan menyalurkan SKO dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Kondisi demikian bila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan disparatis antara aspek penyelenggaraan pemerintahan, politik dan kemasyarakatan, dan pembangunan dengan aspek keuangan daerah serta memberikan peluang negatif bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan keuangan negara.
Munculnya DJ PKPD membentuk image yang keliru bagi daerah, seoralh-olah yang bertanggungjawab mambina keuangan daerah adalah DEPKEU, sebab dilingkungan DJ PKPD terdapat Direktorat yang tugasnya hampir sama dengan tugas-tugas yang terddapat pada Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah Ditjen OTDA. Oleh karena itu fasilitasi keuangan daerah yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah Ditjen Otda sering berbenturan dengan tugas yang dilaksanakan oleh DJ PKPD, terutama berkaitan dengan alokasi dana perimbangan baik bagi hasil, DAU, maupun DAK, dan standar akuntansi dan tata usaha pengelolaan keuangan daerah.
Selain itu, peran DJ PKPD yang merencanakan kriteria teknis alokasi DAU juga bersama komponen lainnya dilingkungan DEPKEU berupaya untuk melakukan pembinaan keuangan daerah yang selama ini telah menjadi tugas DEPDAGRI (perhatikan PP 5&6 Tahun 1975 dan PP 105 Tahun 2000 ps 14), yang sama sekali tidak ada kaitan tugas Depkeu antara lain:
1. Intervensi penataan sistem akuntansi keuangan daerah yang dilakukan oleh Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN). Yang terkahir ini seharusnya lebih berperan menata sistem akuntansi keuangan negara agar tercipta administrasi keuangan negara yang baik dan sehat.
2. Intervensi evaluasi dan pelaporan keuangan daerah yang dilaksanakan oleh Badan Infpormasi dan Teknologi Keuangan dan DJ PKPD DEPKEU (Sistemn Infpormasi Keuangan Daerah/SIKD). Pada hal Ditjen Otda cq. Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah salah satu tugasnya melakukan evaluasi dan menyiapkan laporan tentang informasi keuangan daerah, atas PERDA APBD yang disampaikan daerah 15 hari setelah ditetapkan. Karene alasan data dasar perhitungan DAU,maka dalam kenyataannya daerah lebih taan menyampaikan PERDA APBD-nya ke DEPKEU dari pada ke DEPDAGRI.
Kedua hal di atas tersebut pada gilirannya menjadikan peran Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua DPOD (seperti diamanatkan oleh UU 22/1999) juga tidak optimal. Beberapa hal berikut ini adalah indikasi distorsi tupoksi kedua Departemen yang disebabkan oleh adanya Ditjen PKPD:
1. Ditunjuknya DJ PKPD selaku Kepala Sekretraiat Perimbangan Keuangan DPOD yang kedudukannya dibawah Ditjen OTDA selaku Sekretaris DPOD seringkali tidak bisa mengkoordinasikan keputusan MENKEU dibidang perimbangan keuangan dengan Sekretaris DPOD. Sehingga sering keputusan MENKEU yang strategis dibidang perimbangan keuangan tidak dikoordinasikan terlebih dahulu bahkan MENDAGRI atau Ditjen OTDA tidak mengetahuinya.
Contoh kasus Bagi Hasil Migas Tahun 2002.
2. Perencanaan awal penentuan plafond dana perimbangan (DAU & DAK) dalam RAPBN tidak pernah dimintakan pertimbangan terlebih dahulu daro DPOD. Hal tersebut disebabkan Badan Analisa Fiskal lebih berperan dari DJ PKPD. Kendala ini mungkin disebabkan satu sisi DJ PKPD selaku Kepala Sekretariat DPOD dan disisi lain sebagai bawahan MENKEU sehingga sulit mendahulukan kepentingan daerah dari pada kepentingan APBN.
3. Daerah lebih senang berhubungan langsung dengan DEPKEU sebab perhitungan DAU, Penetapan besaran Bagi Hasil dan penyalurannya ke Kas Daerah semuanya dilakukan oleh DEPKEU Fungsi kontrol dalam pola ini sulit berjalan, sehingga berpotensi terjadinya isue penyalahgunaan dalam penetapan dana perimbangan.
Tentang pelaksanaan tugas DJ PKPD sendiri dinilai kurang efektif disebabkan beberapa hal:
1. Perencana bagi hasil PBB, BPHTB, PPh Pasal 21 pada dasarnya dilakukan oleh Ditjen Pajak DEPKEU.
2. Perencana bagi hasil bukan pajak, Sektor Pertambangan Migas dan Pertambangan Umum telah dilakukan oleh Menteri ESDM, Sektor Kehutanan oleh Menteri Kehutanan, Sektor Perikanan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
3. Menyusun plafon Dana Perimbangan dalam RAPBN setiap tahun dilakukan oleh Badan Analisa Fiskal DEPKEU.
4. Penyaluran Bagi Hasil Bukan Pajak adalah Ditjen Lembaga Keuangan, sedangkan Bagi Hasil Pajak, DAU dan DAK Reboisasi adalah Ditjen Anggaran DEPKEU.
5. Menyusun formula DAU dilakukan oleh 4 Perguruan Tinggi (UI, INHAS, UNAND dan UGM) untuk tahun 2003 ditambah dengan Univ. Syahkuala Banda Aceh dan Univ. Mulawarman.
6. Menyusun kriteria teknis DAK Reboisasi dan DAK-Non Reboisasi adalah Departemen Teknis.
Praktis peran DJ PKPD hanya mengumpulkan data dasar perhitungan DAU, itupun sebagian besar sumbernya dari Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah Ditjen OTDA. Dalam berbagai kerjasama dan koordinasi yang dilakukan boleh dikatakan bahwa tugas DJ PKPD tidak jauh beda dengan tugas yang dilaksanakan Subdit Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Direktorarat Keuangan Daerah Ditjen PUOD sebelum UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999.
IV. Perbandingan Internasional
Persoalan pembagian tugas pokok dan fungsi serta kompetensi antara pembinaan keuangan negara dengan pembinaan keuangan daerah juga dialami dari banyak negara lain. Survey telah dilakukan terhadap tiga negara sebagai rujukan yakni China, Kore dan Jepang. Sebagaimana tercermin pada Lampiran-1, Lampiran-2 dan Lampiran-3, jelas sekali bahwa ketiga negara tersebut dengan tegas menempatkan pembinaan keuangan daerah di bawah Kementrian Dalam Negeri. Sementara Kementrian Keuangan di tiga negara tersebut berkonsentrasi pada aspek-aspek makro penyelenggaraan keuangan negara.
V. Implikasi Kebijakan
Berdasar uraian tersebut di atas, sangatlah jelas perlunya dilakukan langkah-langkah strategi dalam rangka pemantapan penyelenggaraan pemerintahan nasional sekaligus penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui langkah-langkah berikut:
1. Peleburan Ditjen PKPD dan Badan Informasi Keuangan Daerah.
2. Pada saat yang sama dilakukan Reposisi dan Restrukturasi Depdagri melalui beberapa alternatif.
Alternatif-1, melalui pembentukan Ditjen Keuangan Daerah sehingga menambah satu Ditjen baru dilingkungan Depdagri menjadi 7 (tujuh) Direktorat Jenderal.
Alternatif-2, menata kembali Ditjen Otda dan Ditjen Bangda, sehingga aspek pembinaan keuangan daerah secara penuh dan integratif dikelola dalam Ditjen baru, yaitu “Ditjen Pembangunan dan Keuangan Daerah”. Melalui alternatif-2 ini jumlah Ditjen dilingkungan Depdagri tetap 6 (enam) Ditjen.
Alternatif-3, membentuk Ditjen Keuangan Daerah dan menata kembali Ditjen Otda, dan khususnya mengintegrasikan Ditjen Bangda dan Ditjen PMD menjadi Ditjen Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Melalui alternatif-3 ini jumlah Ditjen di lingkungan Depdagri tetap berjumlah 6 (enam).
3. Sebagai konsekuensi peleburan Ditjen PKPD dan Badan Informasi Keuangan Daerah Depkeu, semua P3D dapat dialokasikan ke Depdagri sesuai peraturan perundangan, kecuali bagi personil yang tetap menginginkan berkarir di Depkeu.
4. Penyesuian diperlukan di Ditjen Anggaran Depkeu, yakni dengan menambahkan satu Direktorat yakni Direktorat Dana Perimbangan.
Dibentuknya Ditjen Keuangan Daerah akan dapat mempolakan pengurusan keuangan daerah yang lebih terintegrasi dalam kerangka perimbangan keuangan pusat-daerah dan hubungan pemerintahan pusat dan daerah ditangani melalui satu pintu yaitu DEPDAGRI.
Selain merancang perimbangan keuangan, peran utama Ditjen Keuangan Daerah yang harus ditetapkan, agar pengelolaan keuangan daerah dan pengurusan dana perimbangan dapat ditangani melalui satu pintu, antara lain:
1. Menerbitkan Surat Permintaan Penerbitan (SPP) SKO Menteri Keuangan untuk menyalurkan dana perimbangan yang telah ditetapkan dalam APBN ke Kas Daerah. Dengan demikian tidak Rp1-pun penyaluran dana perimbangan ke Kas Daerah tanpa berdasarkan SPP dari Menteri Dalam Negeri seperti penyaluran dana SDO sebelum UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999.
2. Menunjuk kedudukan Dirjen Keuangan Daerah selaku Kepala Sekretariat DPOD bidang Perimbangan, sehingga peran DPOD dan peran MENDAGRI dalam memberikan pertimbangan berkaitan dengan perimbangan keuangan kepada Presiden untuk ditampung dalam RAPBN akan lebih optimal. Kepentingan daerah dalam APBN dapat lebih diutamakan.
Dengan lahirnya Ditjen Keuangan Daerah DEPDAGRI, maka peran DEPKEU melalui Ditjen Anggaran cukup bertindak sebagai penyalur dana perimbangan sebagaimana ditetapkan. Fungsi pengawasan tetap ditangani oleh BPK dan BPKP, bahkan Inspektorat Jenderal DEPDAGRI akan lebih efektif peranannya dalam melakukan pengawasan di daerah. Adanya pemisahan fungsi-fungsi ini niscaya pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah akan dilaksanakan lebih efektif dan efisien.
Keberadaan Ditjen Keuangan Daerah juga akan mendorong terlaksananya dengan efektif tugas-tugas DEPDAGRI dibidang pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah, pembinaan pembangunan daerah, kesatuan bangsa, pemerintahan umum, kependudukan, pemberdayaan masyarakat desa, litbang, pendidikan dan pelatihan serta penyiapan kader kepemimpinan.
Ditjen Keuangan Daerah akan memainkan peran merencanakan dukungan pembiayaan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh komponen yang terkait dilingkungan DEPDAGRI dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Disisi lain berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) dan (4) pemerintah daerah juga harus menyiapkan Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan keputusan Kepala Daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan keuangan daerah. Namun sampai saat ini daerah-daerah baik Propinsi, kabupaten dan Kota yang telah menetapkan Perda tentang itu relatif masih terbatas.
Berpijak dari kondisi tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa pelaksanaan pengelolaan keuangannya pada tahun kedua pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 belum sepenuhnya berpedoman pada ketentuan yang berlaku. Atau dalam kata lain pengelolaan keuangan daerah masih terdapat ruang kosong (Perda dan Keputusan Kepala Daerah) yang perlu disiapkan dan ditetapkan oleh masing-masing Pemerintah daerah. Selain itu dengan adanya pelimpahan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah kepada pemerintah daerah mengakibatkan semakin menumpuknya atau kompleksnya permasalahan yang harus diselesaikan, maka pembinaan dan evaluasi yang berkesinambungan sangat diperlukan.
Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya duplikasi pengaturan atau substansi yang ditampung dalma ketentuan (PP – Keppres – Kepmendagri – Perda – Kdh) lebih runtut diperlukan koordinasi dan sinkronisasi yang mantap antara pemerintah (Depdagri) dengan pemeirntah daerah dalam menyusun aturan-aturan pelaksanaannya.
Bertitik tolak dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa dalam masa otonomi daerah sekarang ini, hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, pengaturan dan pengawasan umum jalannya pemerintahan daerah khususnya pengelolaan keuangan daerah harus tetap dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, sekaligus memfasilitasi daerah-daerah dalam rangka percepatan pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dilema Pengembangan Karier PNS Dalam Otonomi Daerah
Setiap menjelang pelaksanaaan pemilihan kepala daerah (pilkada) diberbagai daerah, baik itu gubernur, bupati atau walikota timbul berbagai kekhawatiran di hati para aparat birokrasi atau pegawai negeri sipil (PNS). Salah satunya adalah godaan dan janji para kandidat kepala daerah. Namun godaan dan janji spekulatif tersebut penuh dengan pengorbanan, pengorbanan untuk mendukung dan tidak mendukung.
Sebagai individu-individu yang pada dasarnya mempunyai naluri politik, para PNS tersebut akan terpecah dan menimbulkan dikotomi-dikotomi dukungan kepada para kandidat. Dalam konteks menentukan pilihan, para PNS tersebut senantiasa mencari ruang-ruang untuk memutuskan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan mereka. Hal inilah yang dapat menghambat roda pemerintahan yang sedang berjalan. Selain itu kandidat juara bertahan pun melakukan aksi untuk menyingkirkan atau dalam istilah kepegawaian “memutasikan” para pegawai yang dianggap tidak loyal terhadapnya. Misalkan pencopotan 2 orang camat dari jabatannya bukan karena kinerja yang buruk tapi karena diduga adanya kedekatan dengan kandidat lainnya. Bahkan lebih buruk lagi mereka didepusi dari eselon IIIa menjadi IVa ataupun menjadi staf biasa. Hal ini mungkin terjadi pula pada daerah-daerah lainnya. Dimana Incumbent merasa selalu memiliki dan mendapat dukungan dari seluruh aparat birokrasi di daerahnya. Sehingga bila ada yang PNS yang dekat dengan calon lainnya maka sudah pasti akan dibuang ataupun dilepaskan dari jabatannya dengan dalih apapun.
Di sisi lain, PNS yang tidak menduduki jabatan, ataupun hanya memiliki jabatan yang rendah lalu memimpikan jabatan yang lebih tinggi, tentunya akan mengambil kesempatan untuk mendukung calon lainnya. Begitu calon dukungannya berhasil terpilih, mereka akan dipromosikan untuk memegang jabatan lebih baik dari sebelumnya. Masalah lain yang mungkin terjadi yaitu Apabila yang bertarung dalam pilkada tersebut ialah antara Bupati/Gubernur melawan Wakil Bupati/Gubernur atau dengan Sekda maka timbul kecenderungan terjadinya fragmentasi di dalam tubuh birokrasi. Birokrasi menjadi terkotak-kotak berdasarkan afiliasi politik yang dipilih secara berbeda, antara mendukung atasan ini atau atasan itu
Hal-hal tersebut akan dapat membuat birokrasi menjadi lamban dan tak berdaya sehingga implikasinya kemudian adalah terganggunya fungsi birokrasi itu sendiri, yaitu penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Perlunya Penataan Sistem Kepegawaian
Keadaan yang demikan lambat laun akan semakin menjadi-jadi dimana kehidupan politik di daerah akan terus bergulir dengan adanya pilkada, sehingga PNS akan terus menerus ikut bertarung dukung-mendukung baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Walaupun sebenarnya telah ada UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 30/80 tentang Disiplin PNS dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No 6/2005, yang mengarahkan dan memposisikan PNS pada posisi yang proporsional dan netral, Namun malah hal ini digunakan beberapa incumbent untuk memakai powernya dalam menguasai aparat birokrasi di daerahnya.
Pemerintah seharusnya tidak setengah-setengah dalam pembinaan dan pengembangan PNS, serta juga tidak setengah-setengah dalam implementasi peraturannya, selama ini sistem promosi seorang PNS dalam jabatan struktural, masih banyak menggunakan like and dislike atasannya karena aturan yang ada masih bersifat umum, asalkan kepangkatannya sudah sesuai untuk menduduki jabatan, maka sudah dapat diangkat menduduki jabatan struktural. Walaupun ada beberapa daerah yang telah menggunakan fit and profer test namun hal itupun belum cukup untuk melihat potensi serta prestasi seorang PNS.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk mengukur pelaksanaan pekerjaan PNS sudah ketinggalan zaman dan jarang digunakan lagi untuk menilai PNS, DP3 hanya dipergunakan secara formalitas ketika seorang PNS akan mengurus kenaikan pangkat. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa nilai dalam DP3 tersebut banyak yang isi sendiri oleh PNS bukan dinilai oleh atasannya, sehingga sangat mustahil bila digunakan untuk penilaian kinerja dan promosi PNS.
Hal tersebut perlu penanganan serius dari pemerintah untuk membuat regulasi yang dapat diimplementasikan oleh para PNS baik di pusat maupun di daerah. Diperlukannya sistem penilaian yang benar-benar nyata dan kinerja PNS tertulis jelas sehingga dapat dipergunakan untuk promosi PNS dalam jabatan struktural.
Salah satu alternatif yaitu dengan merevisi aturan sistem penilaian pelaksanaan pekerjaan dengan mengkombinasikan sistem penilaian DP3 dan penilaian sistem angka kredit pada jabatan fungsional. Dengan kombinasi tersebut dapat dilihat kinerja PNS setiap tahunnya secara jelas. Penilaian trersebut tergambar kegiatan apa yang telah dilaksanakan dan sudah berapa point yang dikumpulkan, serta apakah sudah layak dipromosikan atau belum. Walapun misalkan kepangkatan, pendidikan dan pelatihannya sudah memenuhi syarat, bila point kierjanya belum mencukupi maka belum layak untuk dipromosikan.
Dengan demikian para aparat birokrasi tidak perlu resah lagi bila akan diadakan pilkada di daerahnya dan tidak perlu terjebak lagi pada iming-iming politik dari para calon peserta pilkada serta tidak perlu takut bila terjadi pergantian puncak kepemimpinan di daerah, baik itu incumbent dikalahkan maupun menjabat kembali.
Pegawai Negeri Sipil dapat bebas secara profesional dan proporsional serta netral untuk melaksanakan fungsi-fungsi administrasi dan manajemen dalam variabel pelayanan publik dan pembangunan secara baik. Mereka mampu mengendarai roda-roda birokrasi dengan stabil untuk kesejahteraan masyarakat
Akhirnya kita hanya dapat menanti kebijakan pemerintah yang lebih cerdas dalam meihat dilema-dilema yang terjadi pada pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil, akankah berjalan begini seadanya selamanya atau ada angin perubahan untuk menjamin netralitas, kemandirian serta profesionalisme para Pegawai Negeri Sipil di seluruh nusantara.
Irfan Setiawan
Sebagai individu-individu yang pada dasarnya mempunyai naluri politik, para PNS tersebut akan terpecah dan menimbulkan dikotomi-dikotomi dukungan kepada para kandidat. Dalam konteks menentukan pilihan, para PNS tersebut senantiasa mencari ruang-ruang untuk memutuskan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan mereka. Hal inilah yang dapat menghambat roda pemerintahan yang sedang berjalan. Selain itu kandidat juara bertahan pun melakukan aksi untuk menyingkirkan atau dalam istilah kepegawaian “memutasikan” para pegawai yang dianggap tidak loyal terhadapnya. Misalkan pencopotan 2 orang camat dari jabatannya bukan karena kinerja yang buruk tapi karena diduga adanya kedekatan dengan kandidat lainnya. Bahkan lebih buruk lagi mereka didepusi dari eselon IIIa menjadi IVa ataupun menjadi staf biasa. Hal ini mungkin terjadi pula pada daerah-daerah lainnya. Dimana Incumbent merasa selalu memiliki dan mendapat dukungan dari seluruh aparat birokrasi di daerahnya. Sehingga bila ada yang PNS yang dekat dengan calon lainnya maka sudah pasti akan dibuang ataupun dilepaskan dari jabatannya dengan dalih apapun.
Di sisi lain, PNS yang tidak menduduki jabatan, ataupun hanya memiliki jabatan yang rendah lalu memimpikan jabatan yang lebih tinggi, tentunya akan mengambil kesempatan untuk mendukung calon lainnya. Begitu calon dukungannya berhasil terpilih, mereka akan dipromosikan untuk memegang jabatan lebih baik dari sebelumnya. Masalah lain yang mungkin terjadi yaitu Apabila yang bertarung dalam pilkada tersebut ialah antara Bupati/Gubernur melawan Wakil Bupati/Gubernur atau dengan Sekda maka timbul kecenderungan terjadinya fragmentasi di dalam tubuh birokrasi. Birokrasi menjadi terkotak-kotak berdasarkan afiliasi politik yang dipilih secara berbeda, antara mendukung atasan ini atau atasan itu
Hal-hal tersebut akan dapat membuat birokrasi menjadi lamban dan tak berdaya sehingga implikasinya kemudian adalah terganggunya fungsi birokrasi itu sendiri, yaitu penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Perlunya Penataan Sistem Kepegawaian
Keadaan yang demikan lambat laun akan semakin menjadi-jadi dimana kehidupan politik di daerah akan terus bergulir dengan adanya pilkada, sehingga PNS akan terus menerus ikut bertarung dukung-mendukung baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Walaupun sebenarnya telah ada UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 30/80 tentang Disiplin PNS dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No 6/2005, yang mengarahkan dan memposisikan PNS pada posisi yang proporsional dan netral, Namun malah hal ini digunakan beberapa incumbent untuk memakai powernya dalam menguasai aparat birokrasi di daerahnya.
Pemerintah seharusnya tidak setengah-setengah dalam pembinaan dan pengembangan PNS, serta juga tidak setengah-setengah dalam implementasi peraturannya, selama ini sistem promosi seorang PNS dalam jabatan struktural, masih banyak menggunakan like and dislike atasannya karena aturan yang ada masih bersifat umum, asalkan kepangkatannya sudah sesuai untuk menduduki jabatan, maka sudah dapat diangkat menduduki jabatan struktural. Walaupun ada beberapa daerah yang telah menggunakan fit and profer test namun hal itupun belum cukup untuk melihat potensi serta prestasi seorang PNS.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk mengukur pelaksanaan pekerjaan PNS sudah ketinggalan zaman dan jarang digunakan lagi untuk menilai PNS, DP3 hanya dipergunakan secara formalitas ketika seorang PNS akan mengurus kenaikan pangkat. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa nilai dalam DP3 tersebut banyak yang isi sendiri oleh PNS bukan dinilai oleh atasannya, sehingga sangat mustahil bila digunakan untuk penilaian kinerja dan promosi PNS.
Hal tersebut perlu penanganan serius dari pemerintah untuk membuat regulasi yang dapat diimplementasikan oleh para PNS baik di pusat maupun di daerah. Diperlukannya sistem penilaian yang benar-benar nyata dan kinerja PNS tertulis jelas sehingga dapat dipergunakan untuk promosi PNS dalam jabatan struktural.
Salah satu alternatif yaitu dengan merevisi aturan sistem penilaian pelaksanaan pekerjaan dengan mengkombinasikan sistem penilaian DP3 dan penilaian sistem angka kredit pada jabatan fungsional. Dengan kombinasi tersebut dapat dilihat kinerja PNS setiap tahunnya secara jelas. Penilaian trersebut tergambar kegiatan apa yang telah dilaksanakan dan sudah berapa point yang dikumpulkan, serta apakah sudah layak dipromosikan atau belum. Walapun misalkan kepangkatan, pendidikan dan pelatihannya sudah memenuhi syarat, bila point kierjanya belum mencukupi maka belum layak untuk dipromosikan.
Dengan demikian para aparat birokrasi tidak perlu resah lagi bila akan diadakan pilkada di daerahnya dan tidak perlu terjebak lagi pada iming-iming politik dari para calon peserta pilkada serta tidak perlu takut bila terjadi pergantian puncak kepemimpinan di daerah, baik itu incumbent dikalahkan maupun menjabat kembali.
Pegawai Negeri Sipil dapat bebas secara profesional dan proporsional serta netral untuk melaksanakan fungsi-fungsi administrasi dan manajemen dalam variabel pelayanan publik dan pembangunan secara baik. Mereka mampu mengendarai roda-roda birokrasi dengan stabil untuk kesejahteraan masyarakat
Akhirnya kita hanya dapat menanti kebijakan pemerintah yang lebih cerdas dalam meihat dilema-dilema yang terjadi pada pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil, akankah berjalan begini seadanya selamanya atau ada angin perubahan untuk menjamin netralitas, kemandirian serta profesionalisme para Pegawai Negeri Sipil di seluruh nusantara.
Irfan Setiawan
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SDM DALAM PENGELOLAAN SDM BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
I. PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi dunia menjadi seolah tanpa batas (boundaryless) yang ditandai dengan munculnya perdagangan bebas (free trade) antar pelaku ekonomi global. Implikasinya adalah kondisi pasar menjadi semakin kompetitif, tingginya tuntutan pelanggan khususnya berkaitan dengan kualitas produk dan ketepatan logistik, pemenuhan hak paten, faktor lingkungan, product life cycle yang kian pendek dilihat dari dimensi waktu, dan inovasi produk yang harus memiliki kecenderungan (trend) meningkat.
Globalisasi ekonomi dan sistem pasar dunia menempatkan semua negara termasuk Indonesia sebagai bagian dari sistem tersebut. Hal ini menyiratkan sebuah pesan bahwa agar dapat eksis di tengah persaingan semua negara tanpa kecuali harus meningkatkan efisiensi proses pemanfaatan sumber daya yang jumlahnya sangat terbatas guna menghasilkan produk pada taraf paling optimal. Demikian pula halnya dengan Indonesia dituntut untuk benar-benar menyiapkan dirinya dalam menghadapi kompetisi di tingkat dunia guna dapat meraih keunggulan bersaing (competitivenessadvantage).
Dalam menghadapi persaingan yang begitu bebas dan ketat itu, sudah saatnya bangsa Indonesia harus bangkit dan menyusun rencana strategi pengembangan SDM. Arah pengembangan tersebut adalah terciptanya SDM yang berkualitas dan profesional sehingga siap dan mampu bersaing di era globalisasi, khususnya untuk menghadapi era pasar bebas. Hasil akhir yang diharapkan tentunya adalah memperbaiki kondisi dan posisi Indonesia untuk dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
II. DATA DAN FAKTA
Dalam melaksanakan kebijakan Manajemen Karir tersebut, Direksi PT. TELKOM DIVRE V menganut prinsip Keadilan dan Prestasi (Equity and Merit) sehingga perusahaan menjamin bahwa lebih banyak pegawai memperoleh jalan secara terbuka dan adil untuk menduduki posisi sesuai dengan skill dan kompetensinya. Setiap pegawai dapat menentukan pilihan karirnya berdasarkan skill yang dimilikinya. Keadaan ini memacu setiap individu untuk mengembangkan potensi dirinya dengan harapan mendapatkan jenjang karir yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensinya, perusahaan juga harus secara terbuka dan adil untuk meningkatkan karir individu yang telah berprestasi tersebut.
Permasalahan timbul setelah semakin banyak individu/karyawan PT.TELKOM yang mengembangkan potensi dirinya, baik dengan meningkatkan pendidikan formalnya maupun dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan skill dan kompetensinya. Sementara itu, pola karir pegawai di PT. TELKOM berpijak pada hirarki piramid, dimana level bawah (staff) dengan jumlah individu terbanyak dan semakin ke atas levelnya (middle manager dan top manager) semakin sedikit jumlah individu yang dibutuhkan.
Namun pada kenyataannya, komposisi rentang kendali SDM di PT. TELKOM tersebut tidak berdasar pada band individu melainkan disesuaikan dengan struktur organisasi, yaitu pada jalur struktural, sedangkan komposisi band individu tersebut di atas meliputi jalur struktural dan jalur fungsional. Keadaan ini tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Robbin dan Coulter (1999) di atas, yaitu konsep rentang kendali menentukan jumlah tingkatan dan jumlah manajer yang dimiliki sebuah organisasi. Jika demikian, maka ditinjau dari rentang kendali organisasi/perusahaan PT. TELKOM belumlah efektif dan efisien.
Di sisi lain komposisi jumlah SDM PT. TELKOM Divre V berdasarkan band individu tersebut mengakibatkan terjadinya penggelembungan jumlah SDM pada band individu III, IV, V, dan VI, keadaan ini tidak sesuai lagi dengan hirarki piramid yang dianut oleh PT. TELKOM Divre V Jawa Timur. Penggelembungan ini juga disebabkan karena adanya perubahan struktur organisasi dan bentuk organisasi dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) serta adanya perubahan teknologi dari manual ke komputerisasi.
III. PEMBAHASAN MASALAH
Dalam merespon dan mengantisipasi kondisi bisnis ke depan, PT.TELKOM Indonesia telah melakukan reformulasi visi perusahaan menjadi “To Become Leading Infocom Company in The Region”. Sedangkan misi perusahaan yang ditetapkan adalah “1) Memberikan layanan “One Step Infocom” dengan kualitas yang prima dan harga kompetitif. 2) Mengelola usaha melalui cara yang terbaik dengan mengoptimalkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul, teknologi yang kompetitif serta bisnis partner yang sinergi”. Tercapainya visi dan misi perusahaan berkenaan dengan reposisi bisnis PT. TELKOM dimana akhirnya tergantung pada bagaimana perusahaan mampu membangun “organizational capability” untuk menjalankan strategi yang ditetapkan.
Dari sisi SDM, pembangunan “organizational capability” ini dilakukan melalui peningkatan kompetensi SDM dengan fokus pada pengembangan sikap dan perilaku serta keterampilan dan pengetahuan unggulan yang sangat diperlukan untuk pencapaian visi, misi dan strategi perusahaan. SDM PT. TELKOM diharapkan memiliki kemampuan mengantisipasi persaingan (competitive competences), kemampuan profesional yang tinggi, proaktif, adaptif, inovatif, disiplin, berintegritas tinggi, semangat pengabdian, jujur, berwawasan bisnis, dan mampu menyesuaikan diri terhadap kemajuan teknologi dan persaingan bisnis. Dengan demikian SDM di PT. TELKOM harus memiliki keunggulan kompetitif yang berkesinambungan (sustainable competitive advantage).
Upayakan pengembangan SDM dilaksanakan PT. TELKOM melalui enam tahapan proses manajemen SDM, yaitu (a) Perencanaan SDM, (b) Iklim organisasi, (c) Sistem imbal jasa dan penghargaan, (d) Rekrutasi, seleksi, dan penempatan, (e) Pengembangan karir, dan (f) manajemen kinerja. Ke enam proses Manajemen SDM tersebut menyajikan strategi-strategi pengelolaan SDM dan model-model sistem pengelolaan SDM yang dijadikan model dan pedoman agar dapat memberikan kontribusi besar dalam pencapaian tujuan strategis TELKOM.
Salah satu dari keenam proses Manajemen SDM tersebut adalah proses pengembangan karir. Proses pengembangan karir merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang kesuksesan bisnis PT. TELKOM. Pengembangan karir akan membuat perusahaan dan pegawai dapat mencapai suatu kesepakatan mengenai kompetensi, pelatihan dan pengembangan serta jenjang dan jalur karir yang sesuai untuk mencapai tujuan, baik tujuan perusahaan maupun tujuan pribadi pegawai dalam bentuk kemitraan. Pengembangan karir yang efektif akan menghasilkan suatu lingkungan yang saling mempercayai, pemberdayaan yang efektif dan komitmen terhadap visi, misi serta tujuan strategis.
Untuk mengatur pelaksanaan pengembangan karir pegawai di lingkungan PT. TELKOM Divre V Jatim yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan, maka secara operasional Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. TELKOM Indonesia Tbk menerbitkan SK. Nomor KD.21/PS180/SDM-12/98, tanggal 11 September 1998 tentang Pola Karir Pegawai.
Dokumen Pola Karir Pegawai terdiri atas 86 pasal tentang aturan pengembangan pola karir pegawai di lingkungan PT. TELKOM. Dalam pasal 63 ayat 1 disebutkan tentang mekanisme promosi dan kenaikan tingkat (grade) yang dilaksanakan secara transparan melalui dukungan sistem informasi manajemen SDM yang efektif. Pada ayat 2 disebutkan bahwa jenjang karir maksimum pegawai pada tingkat spesialis/manajerial yang ditetapkan berdasarkan tingkat pendidikan, dan ayat 3 tentang penunjukan pegawai yang dinilai mempunyai potensi tinggi untuk memangku suatu jabatan.
Dalam melaksanakan kebijakan Manajemen Karir tersebut, Direksi PT. TELKOM DIVRE V menganut prinsip Keadilan dan Prestasi (Equity and Merit) sehingga perusahaan menjamin bahwa lebih banyak pegawai memperoleh jalan secara terbuka dan adil untuk menduduki posisi sesuai dengan skill dan kompetensinya. Setiap pegawai dapat menentukan pilihan karirnya berdasarkan skill yang dimilikinya. Keadaan ini memacu setiap individu untuk mengembangkan potensi dirinya dengan harapan mendapatkan jenjang karir yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensinya, perusahaan juga harus secara terbuka dan adil untuk meningkatkan karir individu yang telah berprestasi tersebut.
Proses lainnya, misalnya seleksi dan penempatan, evaluasi pekerjaan, imbal jasa dan pengelolaan kinerja mempunyai dampak dan kontribusi terhadap pengembangan karir. Hal yang penting diperhatikan adalah pengembangan karir yang efektif merupakan suatu proses yang hidup dan suatu proses yang berkembang dan berubah mengikuti organisasi yang semakin fleksibel. Pengembangan karir bukanlah sesuatu yang statis dan tetap, dan oleh karena itu harus dikaji secara kontinyu dan dikembangkan terus-menerus.
PT. TELKOM mencanangkan pengelolaan Karir Pegawai berbasis kompetensi, yang dikembangkan berdasarkan kemitraan partisipatif antara pegawai, manajer lini dan perusahaan yang dilakukan dengan pendekatan :
a. Pegawai merencanakan karir yang hendak dicapainya pada masa yang akan datang dengan diikuti pengembangan kompetensi sesuai dengan persyaratan jabatan/pekerjaan (job requirement) yang hendak dicapainya.
b. Manajer lini berperan dalam membimbing, mengarahkan dan membina pegawai dalam mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menjadi kader yang professional.
c. Perusahaan berperan dalam menyediakan fasilitas pengembangan kompetensi dan karir pegawai sesuai prinsip-prinsip manajemen SDM, seperti (1) persyaratan jabatan/pekerjaan (job requirement), (2) jenjang dan jalur karir, (3) pengembangan kompetensi pegawai, (4) pengelolaan kinerja pegawai, (5) konseling pengembangan karir, (6) assessment dan evaluasi, dan (7) sistem informasi manajemen SDM (HRMIS).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi tersebut strategi yang perlu ditempuh oleh akademisi dan pelaku bisnis ialah pengembangan SDM. Arah pengembangan SDM tersebut ialah terciptanya SDM yang berkualitas dan profesional sehingga mampu bersaing dalam menghadapi era pasar bebas. Berkait dengan itu, dalam rangka melayani transformasi yang begitu cepat dan akurat guna memenuhi tuntutan akan kebutuhan informasi sains, teknologi, ekonomi, dan bisnis, maka PT. Telekomunikasi sebagai BUMN yang strategis mengakses tuntutan tersebut untuk memenuhi kepuasan layanan para pelanggannya.
Dengan demikian, SDM PT. Telkom diharapkan memiliki kemampuan mengantisipasi persaingan (competitive competencies), kemampuan profesional yang tinggi, proaktif, adaptif, inovatif, disiplin, berintegrasi tinggi, jujur, berwawasan bisnis, dan mampu menyesuaikan diri terhadap kemajuan sains,teknologi, dan persaingan bisnis.
DAFTAR BACAAN
Asean website,www.Aseansec.org
Dodi Wirawan Irawanto, 2008, Tolok Ukur Efektivitas Pengelolaan SDM, http://www.portalhr.com/kolom/2id101.html
Irianto, J., (2001), Isu-Isu Strategis Pengembangan Sumber Daya Manusia, Surabaya, Insan Cendekia.
Lancourt, J. and Savage,C. (1995), Organizational Transformation and The Changing Role of The Human Resource Function, Compensation & Benefits Management, Autumn : 42-49.
Marina Tusin, 2008, Transformasi Sumber Daya Manusia http://www.portalhr.com/kolom/2id23.html
Drs. Mardoto, M.T.,2004, Perancangan Sistem Pengelolaan Sumber Daya Manusia Berbasis Teknologi Informasi di Akademi Angkatan Udara, Tesis, MTI UGM
Redaksi Jawa Pos, (2003), Indonesia Hanya Di Atas Laos, Laporan UNDP Atas Indeks Pembangunan Manusia 2003, (10 Juli 2003), halaman 29.
Redaksi Kompas, (2002), Peringkat Daya Saing Indonesia Melorot, (16 Nopember 2002).
PT. Telekomunikasi Indonesia, (1997), Master Plan Manajemen SDM, Rencana Jangka Panjang Sampai dengan Tahun 2005, Direktorat Sumber Daya Manusia TELKOM
Dalam era globalisasi dunia menjadi seolah tanpa batas (boundaryless) yang ditandai dengan munculnya perdagangan bebas (free trade) antar pelaku ekonomi global. Implikasinya adalah kondisi pasar menjadi semakin kompetitif, tingginya tuntutan pelanggan khususnya berkaitan dengan kualitas produk dan ketepatan logistik, pemenuhan hak paten, faktor lingkungan, product life cycle yang kian pendek dilihat dari dimensi waktu, dan inovasi produk yang harus memiliki kecenderungan (trend) meningkat.
Globalisasi ekonomi dan sistem pasar dunia menempatkan semua negara termasuk Indonesia sebagai bagian dari sistem tersebut. Hal ini menyiratkan sebuah pesan bahwa agar dapat eksis di tengah persaingan semua negara tanpa kecuali harus meningkatkan efisiensi proses pemanfaatan sumber daya yang jumlahnya sangat terbatas guna menghasilkan produk pada taraf paling optimal. Demikian pula halnya dengan Indonesia dituntut untuk benar-benar menyiapkan dirinya dalam menghadapi kompetisi di tingkat dunia guna dapat meraih keunggulan bersaing (competitivenessadvantage).
Dalam menghadapi persaingan yang begitu bebas dan ketat itu, sudah saatnya bangsa Indonesia harus bangkit dan menyusun rencana strategi pengembangan SDM. Arah pengembangan tersebut adalah terciptanya SDM yang berkualitas dan profesional sehingga siap dan mampu bersaing di era globalisasi, khususnya untuk menghadapi era pasar bebas. Hasil akhir yang diharapkan tentunya adalah memperbaiki kondisi dan posisi Indonesia untuk dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
II. DATA DAN FAKTA
Dalam melaksanakan kebijakan Manajemen Karir tersebut, Direksi PT. TELKOM DIVRE V menganut prinsip Keadilan dan Prestasi (Equity and Merit) sehingga perusahaan menjamin bahwa lebih banyak pegawai memperoleh jalan secara terbuka dan adil untuk menduduki posisi sesuai dengan skill dan kompetensinya. Setiap pegawai dapat menentukan pilihan karirnya berdasarkan skill yang dimilikinya. Keadaan ini memacu setiap individu untuk mengembangkan potensi dirinya dengan harapan mendapatkan jenjang karir yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensinya, perusahaan juga harus secara terbuka dan adil untuk meningkatkan karir individu yang telah berprestasi tersebut.
Permasalahan timbul setelah semakin banyak individu/karyawan PT.TELKOM yang mengembangkan potensi dirinya, baik dengan meningkatkan pendidikan formalnya maupun dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan skill dan kompetensinya. Sementara itu, pola karir pegawai di PT. TELKOM berpijak pada hirarki piramid, dimana level bawah (staff) dengan jumlah individu terbanyak dan semakin ke atas levelnya (middle manager dan top manager) semakin sedikit jumlah individu yang dibutuhkan.
Namun pada kenyataannya, komposisi rentang kendali SDM di PT. TELKOM tersebut tidak berdasar pada band individu melainkan disesuaikan dengan struktur organisasi, yaitu pada jalur struktural, sedangkan komposisi band individu tersebut di atas meliputi jalur struktural dan jalur fungsional. Keadaan ini tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Robbin dan Coulter (1999) di atas, yaitu konsep rentang kendali menentukan jumlah tingkatan dan jumlah manajer yang dimiliki sebuah organisasi. Jika demikian, maka ditinjau dari rentang kendali organisasi/perusahaan PT. TELKOM belumlah efektif dan efisien.
Di sisi lain komposisi jumlah SDM PT. TELKOM Divre V berdasarkan band individu tersebut mengakibatkan terjadinya penggelembungan jumlah SDM pada band individu III, IV, V, dan VI, keadaan ini tidak sesuai lagi dengan hirarki piramid yang dianut oleh PT. TELKOM Divre V Jawa Timur. Penggelembungan ini juga disebabkan karena adanya perubahan struktur organisasi dan bentuk organisasi dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) serta adanya perubahan teknologi dari manual ke komputerisasi.
III. PEMBAHASAN MASALAH
Dalam merespon dan mengantisipasi kondisi bisnis ke depan, PT.TELKOM Indonesia telah melakukan reformulasi visi perusahaan menjadi “To Become Leading Infocom Company in The Region”. Sedangkan misi perusahaan yang ditetapkan adalah “1) Memberikan layanan “One Step Infocom” dengan kualitas yang prima dan harga kompetitif. 2) Mengelola usaha melalui cara yang terbaik dengan mengoptimalkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul, teknologi yang kompetitif serta bisnis partner yang sinergi”. Tercapainya visi dan misi perusahaan berkenaan dengan reposisi bisnis PT. TELKOM dimana akhirnya tergantung pada bagaimana perusahaan mampu membangun “organizational capability” untuk menjalankan strategi yang ditetapkan.
Dari sisi SDM, pembangunan “organizational capability” ini dilakukan melalui peningkatan kompetensi SDM dengan fokus pada pengembangan sikap dan perilaku serta keterampilan dan pengetahuan unggulan yang sangat diperlukan untuk pencapaian visi, misi dan strategi perusahaan. SDM PT. TELKOM diharapkan memiliki kemampuan mengantisipasi persaingan (competitive competences), kemampuan profesional yang tinggi, proaktif, adaptif, inovatif, disiplin, berintegritas tinggi, semangat pengabdian, jujur, berwawasan bisnis, dan mampu menyesuaikan diri terhadap kemajuan teknologi dan persaingan bisnis. Dengan demikian SDM di PT. TELKOM harus memiliki keunggulan kompetitif yang berkesinambungan (sustainable competitive advantage).
Upayakan pengembangan SDM dilaksanakan PT. TELKOM melalui enam tahapan proses manajemen SDM, yaitu (a) Perencanaan SDM, (b) Iklim organisasi, (c) Sistem imbal jasa dan penghargaan, (d) Rekrutasi, seleksi, dan penempatan, (e) Pengembangan karir, dan (f) manajemen kinerja. Ke enam proses Manajemen SDM tersebut menyajikan strategi-strategi pengelolaan SDM dan model-model sistem pengelolaan SDM yang dijadikan model dan pedoman agar dapat memberikan kontribusi besar dalam pencapaian tujuan strategis TELKOM.
Salah satu dari keenam proses Manajemen SDM tersebut adalah proses pengembangan karir. Proses pengembangan karir merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang kesuksesan bisnis PT. TELKOM. Pengembangan karir akan membuat perusahaan dan pegawai dapat mencapai suatu kesepakatan mengenai kompetensi, pelatihan dan pengembangan serta jenjang dan jalur karir yang sesuai untuk mencapai tujuan, baik tujuan perusahaan maupun tujuan pribadi pegawai dalam bentuk kemitraan. Pengembangan karir yang efektif akan menghasilkan suatu lingkungan yang saling mempercayai, pemberdayaan yang efektif dan komitmen terhadap visi, misi serta tujuan strategis.
Untuk mengatur pelaksanaan pengembangan karir pegawai di lingkungan PT. TELKOM Divre V Jatim yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan, maka secara operasional Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. TELKOM Indonesia Tbk menerbitkan SK. Nomor KD.21/PS180/SDM-12/98, tanggal 11 September 1998 tentang Pola Karir Pegawai.
Dokumen Pola Karir Pegawai terdiri atas 86 pasal tentang aturan pengembangan pola karir pegawai di lingkungan PT. TELKOM. Dalam pasal 63 ayat 1 disebutkan tentang mekanisme promosi dan kenaikan tingkat (grade) yang dilaksanakan secara transparan melalui dukungan sistem informasi manajemen SDM yang efektif. Pada ayat 2 disebutkan bahwa jenjang karir maksimum pegawai pada tingkat spesialis/manajerial yang ditetapkan berdasarkan tingkat pendidikan, dan ayat 3 tentang penunjukan pegawai yang dinilai mempunyai potensi tinggi untuk memangku suatu jabatan.
Dalam melaksanakan kebijakan Manajemen Karir tersebut, Direksi PT. TELKOM DIVRE V menganut prinsip Keadilan dan Prestasi (Equity and Merit) sehingga perusahaan menjamin bahwa lebih banyak pegawai memperoleh jalan secara terbuka dan adil untuk menduduki posisi sesuai dengan skill dan kompetensinya. Setiap pegawai dapat menentukan pilihan karirnya berdasarkan skill yang dimilikinya. Keadaan ini memacu setiap individu untuk mengembangkan potensi dirinya dengan harapan mendapatkan jenjang karir yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensinya, perusahaan juga harus secara terbuka dan adil untuk meningkatkan karir individu yang telah berprestasi tersebut.
Proses lainnya, misalnya seleksi dan penempatan, evaluasi pekerjaan, imbal jasa dan pengelolaan kinerja mempunyai dampak dan kontribusi terhadap pengembangan karir. Hal yang penting diperhatikan adalah pengembangan karir yang efektif merupakan suatu proses yang hidup dan suatu proses yang berkembang dan berubah mengikuti organisasi yang semakin fleksibel. Pengembangan karir bukanlah sesuatu yang statis dan tetap, dan oleh karena itu harus dikaji secara kontinyu dan dikembangkan terus-menerus.
PT. TELKOM mencanangkan pengelolaan Karir Pegawai berbasis kompetensi, yang dikembangkan berdasarkan kemitraan partisipatif antara pegawai, manajer lini dan perusahaan yang dilakukan dengan pendekatan :
a. Pegawai merencanakan karir yang hendak dicapainya pada masa yang akan datang dengan diikuti pengembangan kompetensi sesuai dengan persyaratan jabatan/pekerjaan (job requirement) yang hendak dicapainya.
b. Manajer lini berperan dalam membimbing, mengarahkan dan membina pegawai dalam mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menjadi kader yang professional.
c. Perusahaan berperan dalam menyediakan fasilitas pengembangan kompetensi dan karir pegawai sesuai prinsip-prinsip manajemen SDM, seperti (1) persyaratan jabatan/pekerjaan (job requirement), (2) jenjang dan jalur karir, (3) pengembangan kompetensi pegawai, (4) pengelolaan kinerja pegawai, (5) konseling pengembangan karir, (6) assessment dan evaluasi, dan (7) sistem informasi manajemen SDM (HRMIS).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi tersebut strategi yang perlu ditempuh oleh akademisi dan pelaku bisnis ialah pengembangan SDM. Arah pengembangan SDM tersebut ialah terciptanya SDM yang berkualitas dan profesional sehingga mampu bersaing dalam menghadapi era pasar bebas. Berkait dengan itu, dalam rangka melayani transformasi yang begitu cepat dan akurat guna memenuhi tuntutan akan kebutuhan informasi sains, teknologi, ekonomi, dan bisnis, maka PT. Telekomunikasi sebagai BUMN yang strategis mengakses tuntutan tersebut untuk memenuhi kepuasan layanan para pelanggannya.
Dengan demikian, SDM PT. Telkom diharapkan memiliki kemampuan mengantisipasi persaingan (competitive competencies), kemampuan profesional yang tinggi, proaktif, adaptif, inovatif, disiplin, berintegrasi tinggi, jujur, berwawasan bisnis, dan mampu menyesuaikan diri terhadap kemajuan sains,teknologi, dan persaingan bisnis.
DAFTAR BACAAN
Asean website,www.Aseansec.org
Dodi Wirawan Irawanto, 2008, Tolok Ukur Efektivitas Pengelolaan SDM, http://www.portalhr.com/kolom/2id101.html
Irianto, J., (2001), Isu-Isu Strategis Pengembangan Sumber Daya Manusia, Surabaya, Insan Cendekia.
Lancourt, J. and Savage,C. (1995), Organizational Transformation and The Changing Role of The Human Resource Function, Compensation & Benefits Management, Autumn : 42-49.
Marina Tusin, 2008, Transformasi Sumber Daya Manusia http://www.portalhr.com/kolom/2id23.html
Drs. Mardoto, M.T.,2004, Perancangan Sistem Pengelolaan Sumber Daya Manusia Berbasis Teknologi Informasi di Akademi Angkatan Udara, Tesis, MTI UGM
Redaksi Jawa Pos, (2003), Indonesia Hanya Di Atas Laos, Laporan UNDP Atas Indeks Pembangunan Manusia 2003, (10 Juli 2003), halaman 29.
Redaksi Kompas, (2002), Peringkat Daya Saing Indonesia Melorot, (16 Nopember 2002).
PT. Telekomunikasi Indonesia, (1997), Master Plan Manajemen SDM, Rencana Jangka Panjang Sampai dengan Tahun 2005, Direktorat Sumber Daya Manusia TELKOM
Kamis, 18 September 2008
SISTEM REWARD DAN PUNISHMENT UNTUK MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA
I. PENDAHULUAN
Reward dan punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia kerja. Tidak hanya dalam dunia kerja, dalam dunia penidikan pun kedua ini kerap kali digunakan. Namun selalu terjadi perbedaan pandangan, mana yang lebih diprioritaskan antara reward dengan punishment?
Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Dalam konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Metode ini bisa meng-asosiasi-kan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dapat dicapainya.
Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif; maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan mesti bersifat pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik.
Pada dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah ditunjukkan oleh bawahannya; hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja.
II. DATA DAN FAKTA
Ditetapkannya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 (sekarang dengan UU No. 8/2008) tentang pemerintahan daerah diharpkan menjadi birokrasi yang efektif. Dalam Undang-undang disebutkan, pemerintah hanya mengelola enam bidang saja yaitu: politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta beberapa bidang lainnya yang membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain pemerintah berbeda.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi signifikan. Oleh karena itu perubahan peranan birokrasi di tengah masyarakat senantiasa menjadi sangat vital. Arah perubahan sudah dimulai sejak masa reformasi sampai saat ini. Dorongan internal tersebut kemudian melahirkan beberapa kebijakan diantaranya, pertama Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, undang-undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 1999 Tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Keempat, Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai kebijakan tersebut menunjukkan keseriusan dan tekad pemerintah secara sungguh-sungguh menuju penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Namun demikian praktek-praktek KKN pada birokrasi yang tumbuh subur sejak pemerintahan orde baru cenderung meningkat saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembenahan aparatur pemerintah.
Salah satu contoh kecil saat pelaksanaan Ujian Nasional di Kota Medan, Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan telah mengambil kebijakan untuk mencabut izin sekolah yang melakukan kecurangan dalam Ujian Nasional (UN). Alasannya, jauh-jauh hari Diknas sudah menyosialisasikan ke sekolah-sekolah dan Diknas juga sudah mengingatkan agar sekolah tidak membantu siswanya dalam mengerjakan soal ujian, seperti yang terjadi tahun-tahun sebelumnya.
Apa yang diancamkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Hasan Basri itu kita nilai positif. Namun begitu, jangan hanya pihak sekolah yang curang yang dihukum, tetapi hukuman pun harus dijatuhkan kepada lembaga pendidikan yang gagal dalam meningkatkan mutu pendidikan di wilayahnya.
Jadi, siapa pun yang dinilai gagal dalam pelaksanaan UN nanti harus dihukum, sebaliknya siapa pun yang berhasil dalam UN nanti harus diberi penghargaan. Manajemen ‘’reward and punishment’’ harus ditegakkan dan dijalankan tanpa pilih kasih, tidak hanya kepada pihak sekolah, tetapi kepada semua lembaga pendidikan yang terkait dengan pelaksanaan UN.
III. PEMBAHASAN MASALAH
Sejak 1959 aparatur negara diberikan penghargaan untuk berbagai jenis sesuai dengan prestasinya. Sebut saja sarya Lencana Kemerdekaan, Satya Lencana Pembangunan, Satya Lencana Wira Karya, Satya Lencana Karya Satya dan Piagam Pelita. Namun banyak diantara anugerah tersebut ditanggapi dingin karena bentuknya yang berkurang memberi manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Puluhan tahun lalu, Abraham Maslow menenggarai tentang penghargaan sejenis itu yang hanya bisa dinikmati kelompok masyarakat mapan. Sementara jika dilihat dari pendapatan mayoritas aparatur pemerintah saat ini, untuk menutup kebutuhan pokok saja tidak cukup. Intinya, kenutuhan akan sandang, pangan, papan lebih berarti dari sebuah penghargaan atas kesetiaan, prestasi dan darma bhakti yang diberikan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha dari pemerintah untuk mengevaluasi kembali mengenai bentuk dan manfaat dari penghargaan yang akan diberikan.
Sementara penerapan sistem punishment pada aparatur telah lama diterapkan sejak diterbitkannya Peraturan pemerintah nomor 30/1980 tentang Disiplin Aparatur Pemerintah. Kemudian sederet aturan diawali Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 sampai dengan Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Namun aturan tersebut tidak dapat diterapkan dengan baik sampai sekarang. Hal ini banyak dipengaruhi karena belum adanya ukuran produk kerja yang dihasilkan, beban kerja setiap unit tidak sama, jumlah pegawai terlalu besar tidak sebanding dengan beban kerja adanya tenggang rasa yang tebal sesama aparatur, keteladanan dan kedisiplinan pimpinan menurun.
Dari penerapan reward and punishment tersebut diatas menunjukkan adanya kelemahan birokrasi yang akan menyebabkan rendahnya kualitas kinerja aparatur dan menggambarkan rendahnya kompetensi SDM. Sistem reward and punishment ditegakkan dengan “tebang pilih” yang dalam artian pemberian penghargaan dan hukuman tidak dilaksanakan secara menyeluruh, serta variabel-variabel unsur penilaian tidak obyektif.
Untuk itu perlu adanya rencana reformasi birokrasi untuk merombak bagian yang selama ini dinilai lemah. Stidakya enam langkah strategis dengan reformasi birokrasi perlu ditindak lanjuti secara cermat. Yaitu, pertama, melalui upaya-upaya meningkatkan law enforcement, dengan membentuk lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pemantauan, pengawasan, dan evaluasi kinerja yang dilakukan secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan.
Kedua, hubungan kerja yang jelas sebagai alat ukur kinerja lembaga. Untuk itu diperlukan tindakan konkrit untuk mempertegas institusi yang bertanggung jawab dalam menyususn norma, standard dan procedure kerja mengelola informasi, mereview, menganalisa, merumuskan dan menetapkan indikator kinerja, mensosialisasikan SOP itu sendiri, dan peningkatan kompetensi SDM dan penerapan reward dan punishment yang konsisten.
Ketiga, terdapat perbedaan tajam antara penghargaan atas profesionalisme antara yang terjadi di pemerintahan dengan di swasta dibandingkan yang terjadi dikalangan swasta. Untuk itu perlu adanya regulasi standar kinerja professional, memperkuat kelembagaan kepegawaian dalam pembinaan professionalitas yang sesuai standar hidup layak serta penegakan reward dan punishment.
Keempat, Meningkatkan disiplin SDM aparatur yang masih rendah dengan perubahan perilaku yang mendasar. Hal itu terjadi melalui revitalisasi pembinaan kepegawaian dan proses pembelajaran dengan membangun komitmen kuat dalam mengemban tugas sebagai PNS, disertai pengembangan system reward dan punishment yang tepat dan efektif.
Kelima, perubahan dalam membangun pola perilaku aparatur yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dalam penyelenggaraan pelayanan serta membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan dan mengembangkan system yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Dan Keenam, perlunya standar pelayanan yang jelas, meliputi procedur, jangka waktu dan kalau perlu biaya yang jelas, guna mendorong terciptanya lembaga pelayanan yang standard dan teratur. Dengan membangun system standarisasi pelayanan mulai dari input, proses, output pelayanan yang selanjutnya dituangkan dalam SOP yang transparan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam proses penataan birokrasi menjadi efektif lagi menyenangkan, hendaklah pemerintah dengan tegas memperhatikan dan menata sistem reward dan punishment. Hal ini harus diimplemntasikan sampai level bawah pemerintahan. Dengan begitu, diharapkan kualitas birokrasi meningkat, begitu pula kinerja aparat birorasi dalam dunia kerja semakin bermutu. Reward yang diberikan pun harus secara adil dan bijak. Jika tidak, reward malah menimbulkan rasa cemburu dan ”persaingan yang tidak sehat” serta memicu rasa sombong bagi pegawai yang memperolehnya. Tidak pula membuat seseorang terlena dalam pujian dan hadiah yang diberikan sehingga membuatnya lupa diri. Oleh karena itu, prinsip keadilan sangat dibutuhkan dalam pemberian reward.
Sebaliknya, jika punishment memang harus diberlakukan, maka laksanakanlah dengan cara yang bijak lagi mendidik, tidak boleh sewenang-wenang, tidak pula menimbulkan rasa kebencian yang berlebihan sehingga merusak tali silaturrahim. Dalam proses penataan birokrasi, hendaknya punishment yang diberikan kepada pegawai yang melanggar aturan telah disosialisasikan sebelumnya. Dan sebaiknya sanksi itu sama-sama disepakati, sehingga mendorong si terhukum untuk bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ikhlas.
Selanjutnya hukuman yang diberikan bukanlah dengan kekerasan, tetapi diberikan dengan ketegasan. Jika hukuman dilakukan dengan kekerasan, maka hukuman tidak lagi memotivasi seseorang berbuat baik, melainkan membuatnya merasa takut dan benci sehingga bisa menimbulkan pemberontakan batin. Di sinilah dibutuhkan skill dari para pimpinan atau si pemberi punishment sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai secara efektif.
DAFTAR BACAAN
Amstrong. Michael, 1991. Manajemen Sumber Daya Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Bambang Nugroho, 2006, Reward dan Punishment, Bulletin CiptaKarya, Departemen Pekerjaan Umum Edisi No. 6/IV/Juni 2006
Handoko, T. Hani, 1992. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Edisi ke-2, Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Hidayat, Sucherli, 1986. Peningkatan Produktivitas Organisasi dan Pegawai Negeri Sipil: Kasus Indonesia, Prisma, Jakarta.
Muhammad Kosim, Antara Reward dan Punishment, Rubrik Artikel, Padang Ekspres, Senin, 09 Juni 2008.
Soeprihanto, John, 1998. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.
Harian Berita Sore, Reward And Punishment, Rabu, 25 Juni 2008, Medan
Reward dan punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia kerja. Tidak hanya dalam dunia kerja, dalam dunia penidikan pun kedua ini kerap kali digunakan. Namun selalu terjadi perbedaan pandangan, mana yang lebih diprioritaskan antara reward dengan punishment?
Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Dalam konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Metode ini bisa meng-asosiasi-kan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dapat dicapainya.
Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif; maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan mesti bersifat pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik.
Pada dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah ditunjukkan oleh bawahannya; hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja.
II. DATA DAN FAKTA
Ditetapkannya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 (sekarang dengan UU No. 8/2008) tentang pemerintahan daerah diharpkan menjadi birokrasi yang efektif. Dalam Undang-undang disebutkan, pemerintah hanya mengelola enam bidang saja yaitu: politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta beberapa bidang lainnya yang membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain pemerintah berbeda.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi signifikan. Oleh karena itu perubahan peranan birokrasi di tengah masyarakat senantiasa menjadi sangat vital. Arah perubahan sudah dimulai sejak masa reformasi sampai saat ini. Dorongan internal tersebut kemudian melahirkan beberapa kebijakan diantaranya, pertama Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, undang-undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 1999 Tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Keempat, Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai kebijakan tersebut menunjukkan keseriusan dan tekad pemerintah secara sungguh-sungguh menuju penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Namun demikian praktek-praktek KKN pada birokrasi yang tumbuh subur sejak pemerintahan orde baru cenderung meningkat saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembenahan aparatur pemerintah.
Salah satu contoh kecil saat pelaksanaan Ujian Nasional di Kota Medan, Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan telah mengambil kebijakan untuk mencabut izin sekolah yang melakukan kecurangan dalam Ujian Nasional (UN). Alasannya, jauh-jauh hari Diknas sudah menyosialisasikan ke sekolah-sekolah dan Diknas juga sudah mengingatkan agar sekolah tidak membantu siswanya dalam mengerjakan soal ujian, seperti yang terjadi tahun-tahun sebelumnya.
Apa yang diancamkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Hasan Basri itu kita nilai positif. Namun begitu, jangan hanya pihak sekolah yang curang yang dihukum, tetapi hukuman pun harus dijatuhkan kepada lembaga pendidikan yang gagal dalam meningkatkan mutu pendidikan di wilayahnya.
Jadi, siapa pun yang dinilai gagal dalam pelaksanaan UN nanti harus dihukum, sebaliknya siapa pun yang berhasil dalam UN nanti harus diberi penghargaan. Manajemen ‘’reward and punishment’’ harus ditegakkan dan dijalankan tanpa pilih kasih, tidak hanya kepada pihak sekolah, tetapi kepada semua lembaga pendidikan yang terkait dengan pelaksanaan UN.
III. PEMBAHASAN MASALAH
Sejak 1959 aparatur negara diberikan penghargaan untuk berbagai jenis sesuai dengan prestasinya. Sebut saja sarya Lencana Kemerdekaan, Satya Lencana Pembangunan, Satya Lencana Wira Karya, Satya Lencana Karya Satya dan Piagam Pelita. Namun banyak diantara anugerah tersebut ditanggapi dingin karena bentuknya yang berkurang memberi manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Puluhan tahun lalu, Abraham Maslow menenggarai tentang penghargaan sejenis itu yang hanya bisa dinikmati kelompok masyarakat mapan. Sementara jika dilihat dari pendapatan mayoritas aparatur pemerintah saat ini, untuk menutup kebutuhan pokok saja tidak cukup. Intinya, kenutuhan akan sandang, pangan, papan lebih berarti dari sebuah penghargaan atas kesetiaan, prestasi dan darma bhakti yang diberikan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha dari pemerintah untuk mengevaluasi kembali mengenai bentuk dan manfaat dari penghargaan yang akan diberikan.
Sementara penerapan sistem punishment pada aparatur telah lama diterapkan sejak diterbitkannya Peraturan pemerintah nomor 30/1980 tentang Disiplin Aparatur Pemerintah. Kemudian sederet aturan diawali Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 sampai dengan Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Namun aturan tersebut tidak dapat diterapkan dengan baik sampai sekarang. Hal ini banyak dipengaruhi karena belum adanya ukuran produk kerja yang dihasilkan, beban kerja setiap unit tidak sama, jumlah pegawai terlalu besar tidak sebanding dengan beban kerja adanya tenggang rasa yang tebal sesama aparatur, keteladanan dan kedisiplinan pimpinan menurun.
Dari penerapan reward and punishment tersebut diatas menunjukkan adanya kelemahan birokrasi yang akan menyebabkan rendahnya kualitas kinerja aparatur dan menggambarkan rendahnya kompetensi SDM. Sistem reward and punishment ditegakkan dengan “tebang pilih” yang dalam artian pemberian penghargaan dan hukuman tidak dilaksanakan secara menyeluruh, serta variabel-variabel unsur penilaian tidak obyektif.
Untuk itu perlu adanya rencana reformasi birokrasi untuk merombak bagian yang selama ini dinilai lemah. Stidakya enam langkah strategis dengan reformasi birokrasi perlu ditindak lanjuti secara cermat. Yaitu, pertama, melalui upaya-upaya meningkatkan law enforcement, dengan membentuk lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pemantauan, pengawasan, dan evaluasi kinerja yang dilakukan secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan.
Kedua, hubungan kerja yang jelas sebagai alat ukur kinerja lembaga. Untuk itu diperlukan tindakan konkrit untuk mempertegas institusi yang bertanggung jawab dalam menyususn norma, standard dan procedure kerja mengelola informasi, mereview, menganalisa, merumuskan dan menetapkan indikator kinerja, mensosialisasikan SOP itu sendiri, dan peningkatan kompetensi SDM dan penerapan reward dan punishment yang konsisten.
Ketiga, terdapat perbedaan tajam antara penghargaan atas profesionalisme antara yang terjadi di pemerintahan dengan di swasta dibandingkan yang terjadi dikalangan swasta. Untuk itu perlu adanya regulasi standar kinerja professional, memperkuat kelembagaan kepegawaian dalam pembinaan professionalitas yang sesuai standar hidup layak serta penegakan reward dan punishment.
Keempat, Meningkatkan disiplin SDM aparatur yang masih rendah dengan perubahan perilaku yang mendasar. Hal itu terjadi melalui revitalisasi pembinaan kepegawaian dan proses pembelajaran dengan membangun komitmen kuat dalam mengemban tugas sebagai PNS, disertai pengembangan system reward dan punishment yang tepat dan efektif.
Kelima, perubahan dalam membangun pola perilaku aparatur yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dalam penyelenggaraan pelayanan serta membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan dan mengembangkan system yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Dan Keenam, perlunya standar pelayanan yang jelas, meliputi procedur, jangka waktu dan kalau perlu biaya yang jelas, guna mendorong terciptanya lembaga pelayanan yang standard dan teratur. Dengan membangun system standarisasi pelayanan mulai dari input, proses, output pelayanan yang selanjutnya dituangkan dalam SOP yang transparan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam proses penataan birokrasi menjadi efektif lagi menyenangkan, hendaklah pemerintah dengan tegas memperhatikan dan menata sistem reward dan punishment. Hal ini harus diimplemntasikan sampai level bawah pemerintahan. Dengan begitu, diharapkan kualitas birokrasi meningkat, begitu pula kinerja aparat birorasi dalam dunia kerja semakin bermutu. Reward yang diberikan pun harus secara adil dan bijak. Jika tidak, reward malah menimbulkan rasa cemburu dan ”persaingan yang tidak sehat” serta memicu rasa sombong bagi pegawai yang memperolehnya. Tidak pula membuat seseorang terlena dalam pujian dan hadiah yang diberikan sehingga membuatnya lupa diri. Oleh karena itu, prinsip keadilan sangat dibutuhkan dalam pemberian reward.
Sebaliknya, jika punishment memang harus diberlakukan, maka laksanakanlah dengan cara yang bijak lagi mendidik, tidak boleh sewenang-wenang, tidak pula menimbulkan rasa kebencian yang berlebihan sehingga merusak tali silaturrahim. Dalam proses penataan birokrasi, hendaknya punishment yang diberikan kepada pegawai yang melanggar aturan telah disosialisasikan sebelumnya. Dan sebaiknya sanksi itu sama-sama disepakati, sehingga mendorong si terhukum untuk bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ikhlas.
Selanjutnya hukuman yang diberikan bukanlah dengan kekerasan, tetapi diberikan dengan ketegasan. Jika hukuman dilakukan dengan kekerasan, maka hukuman tidak lagi memotivasi seseorang berbuat baik, melainkan membuatnya merasa takut dan benci sehingga bisa menimbulkan pemberontakan batin. Di sinilah dibutuhkan skill dari para pimpinan atau si pemberi punishment sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai secara efektif.
DAFTAR BACAAN
Amstrong. Michael, 1991. Manajemen Sumber Daya Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Bambang Nugroho, 2006, Reward dan Punishment, Bulletin CiptaKarya, Departemen Pekerjaan Umum Edisi No. 6/IV/Juni 2006
Handoko, T. Hani, 1992. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Edisi ke-2, Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Hidayat, Sucherli, 1986. Peningkatan Produktivitas Organisasi dan Pegawai Negeri Sipil: Kasus Indonesia, Prisma, Jakarta.
Muhammad Kosim, Antara Reward dan Punishment, Rubrik Artikel, Padang Ekspres, Senin, 09 Juni 2008.
Soeprihanto, John, 1998. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.
Harian Berita Sore, Reward And Punishment, Rabu, 25 Juni 2008, Medan
STRATEGI MENINGKATKAN PELAYANAN UNTUK MEMPERTAHANKAN LOYALITAS KONSUMEN
I. PENDAHULUAN
Pegadaian sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus Perum (Perusahaan Umum) merupakan salah satu lembaga keuangan bukan bank yang bergerak dalam bidang penyaluran kredit atas dasar hukum gadai. Perum Pegadaian menjalankan fungsi sebagai pengganti bank yaitu penyalur pinjaman dana ke masyarakat dan salah satu sumber dana pembangunan, karena itu Pegadaian dituntut harus menunjukkan kinerja keuangan yang baik agar menjadi salah satu lembaga keuangan bukan bank yang dapat diandalkan untuk periode sekarang dan periode yang akan datang.
Pegadaian turut serta membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dibidang perekonomian, terutama membantu dalam hal menyediaan atau memberikan pendanaan untuk dijadikan sebagai modal dalam melakukan usaha yaitu lewat jasa gadai sedangkan atribut lain adalah jasa penaksiran barang , jasa penitipan barang dan toko emas. Salah satu tantangan dari perkembangan Perum Pegadaian adalah bagaimana meningkatkan pelayanan untuk mempertahankan loyalitas konsumen.
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian mempunyai peranan penting dalam penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pengembangan usaha diperlukan dana yang cukup besar. Sumber dana yang selama ini dipergunakan untuk keperluan penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai berasal dari dana intern Perusahaan dan pinjaman dari lembaga keuangan masih belum mencukupi, maka diperlukan dana dari sumber lain yang sah.
Perusahaan Umum Pegadaian sebagai Badan Usaha Milik Negara yang melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat di bidang penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai, perlu didukung dengan partisipasi masyarakat berupa keikutsertaan dalam pendanaan.
Dengan persaingan yang begitu ketat saat ini, kualitas jasa mempunyai peranan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan jasa pegadaian. Mempertahankan konsumen menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan jasa khususnya perbankan yang bergerak dalam consumer banking. Kunci sukses di pasar persaingan perbankan bukan terletak pada bunga (harga) akan tetapi terletak pada distribusi pelayanan untuk menciptakan nasabah yang loyal dengan meretensi nasabahnya. Membuat nasabah tetap loyal adalah senjata utama yang harus dilakukan oleh suatu bank, bank harus bisa menciptakan loyalty tidak cukup hanya satisfaction, karena kepuasan bukanlah tujuan akhir. Perusahaan sebaiknya tidak boleh berhenti apabila telah memberikan kepuasan kepada nasabahnya, tetapi terus berupaya bagaimana menciptakan agar nasabah tersebut tidak berpindah ke bank lain dan nasabah menjadi semakin loyal. Penerapan Kualitas jasa.
II. DATA DAN FAKTA
Lembaga keuangan sebagai salah satu pelaku ekonomi merupakan inti dari sistem keuangan suatu negara, termasuk Indonesia. Karena lembaga keuangan adalah tempat bagi perusahaan, badan-badan pemerintah dan swasta maupun perorangan menyimpan dana dan memperoleh pinjaman dana. Bentuk lembaga keuangan terbagi dua jenis yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Pegadaian sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus Perusahaan Umum
Pada tahun 2008 ini Perum Pegadaian telah menargetkan omset untuk seluruh produknya mencapai Rp26 triliun, meningkat 24% dibandingkan dengan proyeksi pencapaian 2007 sebesar Rp21 triliun. Sementara itu untuk laba, perseroan menargetkan mampu mencapai angka Rp716 miliar, naik sekitar Rp106 miliar atau 17% dari proyeksi laba tahun 2007 sebesar Rp610 miliar.
Saat ini nasabah pegadaian berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Jumlah nasa bah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pegadaian sudah diterima masyarakat dengan baik. Jumlah nasabah Perum Pegadaian tahun akhir tahun 2007 sebanyak mencapai 7,6 juta orang dan untuk jumlah dana yang telah disalurkan kepada nasabah hingga triwulan ke tiga tahun ini mencapai Rp17,9 triliun atau sekitar 88 persen dari realisasi target yang diingin dicapai sebesar Rp20,3 triliun. Dengan kemajuan ini pegadaian memberi kontribusi pada pemerintah baik dalam bentuk pajak atau deviden dan yang terpenting kontribusi bagi masyarakat.
Berkembangnya perusahaan menuntut pegadaian untuk melakukan terobosan dengan meluncurkan berbagai jasa layanan seperti pemberian kredit rumah, kredit usaha rumah tangga (krista), kreasi dan kiriman uang secara cepat seluruh dunia (kucica) yang kesemuanya jasa itu mulai berjalan di sejumlah daerah. Perum Pegadaian memiliki 863 unit kantor cabang yang tersebar di seluruh Indonesia untuk melayani nasabah dan 55 unit diantaranya adalah outlet syariah yang terdapat di Aceh dan sebagian kecil di Jawa.
Sementara itu pegadaian juga melakukan undian nasabah Pegadaian se-Indonesia memperebutkan 365 hadiah terdiri dari 155 telepon seluler, 100 unit lemari es, 75 unit televisi dan 35 unit sepeda motor.
III. PEMBAHASAN MASALAH
Perubahan dalam dunia usaha yang semakin cepat mengharuskan pengadaian untuk merespon perubahan yang terjadi, problem sentral yang dihadapi perusahaan-perusahaan termasuk pagadaian saat ini adalah bagaimana perusahaan tersebut menarik konsumen dan mempertahankanya agar perusahaan tersebut dapat bertahan dan berkembang, tujuan tersebut akan tercapai jika perusahaan melakukan proses pemasaran dengan pelayanan yang baik.
Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, tetapi dalam pemasaran modern seperti ini paragdima pemasaran telah bergeser, tidak hanya menciptakan transakasi untuk mencapai keberhasilan pemasaran tetapi perusahaan juga harus menjalin hubungan dengan konsumen dalam waktu yang panjang. Paragdima tersebut disebut relationship marketing dasar pemikiran dalam praktek pemasaran ini adalah, membina hubungan yang lebih dekat dengan menciptakan komunikasi dua arah dengan mengelola suatu hubungan yang saling menguntungkan antara konsumen dan perusahaan.
Relationship marketing mampu memperdayakan kekuatan keinginan konsumen dengan tekanan teknologi informasi untuk memberikan kepuasan pada konsumen. Cakupannya meliputi tuntutan manajemen mutu terpadu secara global untuk menghadapi kebutuhan bisnis konsumen dengan lebih agresif. Strategi bisnis difokuskan pada kelanggengan dan pemuasan konsumen serta bekerja untuk mengantisipasi kebutuhan serta penyesuaian hasil produk.
Salah satu indikator yang cukup handal untuk kelangsungan hidup dan keuntungan dari suatu proses bisnis adalah kelanjutan dari kepuasan konsumen. Diperkirakan untuk menarik satu konsumen baru diperlukan biaya mulai dari lima sampai lima belas kali, dibandingkan dengan menjaga hubungan dengan satu konsumen lama.
Perum Pegadaian adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa dengan kondisi tersebut Perum Pegadaian sebaiknya menyadari pentingnya konsep relationship marketing. Hal tersebut diwujudkanya dengan menerapkan relationship marketing pada Perum Pegadaian. Konsep ini mengharapkan adanya inovasi dan peningkatan fasilitas agar dapat menciptakan loyalitas konsumen terhadap Perum Pegadaian sehingga tercipta hubungan jangka panjang yang harmonis antara perusahaan dan konsumen.
Kenapa ini bisa terjadi? Karena model bisnis gadai menghasilkan partnership yang memberikan win-win solution baik bagi Pegadaian maupun bagi orang miskin yang menjadi konsumennya. Di sinilah letak keindahan model bisnis Pegadaian. Karena kenyataan ini dapat diyakini bahwa bisnis model ini akan sustainable dan bisa bertahan bahkan sampai 100 tahun ke depan. Karena Pegadaian mengembangkan model”social business enterprise” yang ideal. Berikut ini 3 (tiga) strategi pelayanan yang dikembangkan oleh Perum Pegadaian dalam bersaing dalam dunia bisnis sehingga tetap eksis yaitu:
1. Selling as COMPASSION. 99 persen salesman di dunia bisnis akan mengatakan, menjual adalah mencari duit. Celakanya, tak jarang terjadi untuk kepentingan mencari duit, si salesman menghalalkan segala cara. Apa pun cara ditempuh, termasuk menipu dan memberdayai konsumen, agar si salesman bisa mengeruk sebanyak mungkin uang dari kocek konsumen. Di Pegadaian, aktivitas pelayanan dilandasi ketulusan nurani untuk membantu peningkatan struktur ekonomi masyarakat. Karena itu pelayanan adalah sebuah panggilan untuk pengentasan kemiskinan.
2. Marketing as EMPOWERMENT. Esensi dari model bisnis Pegadaian sesungguhnya adalah pemberdayaan. Pegadaian memberikan kail, agar masyarakat mendapatkan ikannya. Ada satu produk layanan di Pegadaian mengesankan yaitu Gadai Gabah. Tujuan tujuan produk ini, yaitu membantu memberdayakan diri para petani dan terlepas dari para tengkulak. Dengan modal yang diberikan Pegadaian, si petani pun bisa mengembangkan usaha pertaniannya secara lebih produktif.
3. Business as CULTURAL INTERACTION. Pendekatan yang digunakannya tak sebatas pendekatan bisnis murni, tapi yang justru lebih powerful melalui pendekatan kultural. Pendekatan ini membutuhkan pemahaman yang utuh terhadap latar belakang sosial-kultural dan segala segi kehidupan masyarakat yang menjadi konsumennya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Konsumen sangat senang bila mereka diberikan value yang lebih ketika mereka dilayani. Dimana diharapkan dengan memberikan value yang diinginkan konsumen akan membuat konsumen senang dan pada akhirnya loyal terhadap produk kita. loyalitas itu bukan hanya mencegah konsumen yang defect dan mengharapkan kontribusi yang lebih besar dari konsumen, tetapi lebih mengutamakan pengertian dan bagaimana mengelola enam segmen loyalitas. Profil tersebut juga menekankan strategi yang berbeda-beda yang dibutuhkan untuk menangani setiap segmen dan langkah yang perlu dilakukan perusahaan untuk menerapkan hal ini. Ketika dikombinasikan dengan customer value analysis yang standard, profil ini dapat membantu perusahaan dalam menetapkan prioritas untuk membangun loyalitas berdasarkan besarnya kesempatan.
Perum Pegadaian hendaknya merealisasikan layanan produk dengan baik dan matang agar tidak mnyimpang dari rencana yang ditetapkan sehingga perusahaan perum pegadaian mampu tetap eksis dan dibutuhkan masyarakat serta dapat memuaskan nasabah sehingga pada akhirnya akan membuat nasabah loyal. Memiliki nasabah yang loyal merupakan aset dan kunci sukses sebuah bank karena dapat meningkatkan laba.
DAFTAR BACAAN
Antara News, 21/11/07,Pegadaian Optimis Raih Laba Rp450 Miliar, http://www.antara.co.id
Blackwell, dkk, 2007, Consumer Behavior: An Asia Pasific Approach,Nelson Australia Pty Limited, Australia
Taylor, Steven. A., Celuch, Kevin, dan Goodwin Stephen, 2004, The Important of Brand Equity to Customer Loyalty, Journal of Product and Brand Management, Volume 13, Nomor 4, hal. 217-227.
Peraturan Pemerintah RI, Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Obligasi Perusahaan Umum Perum Pegadaian
Syafrizal Helmi S, SE, M.Si, 2006 Buku Bahan Ajar Studi Kelayakan Bisnis, Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara
Utomo, Priyanto Doyo, 2006, Analisis Terhadap Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Loyalitas Konsumen Pada Operator Telepon Seluler. Thesis: Universitas Gadjah Mada
Wahyu Utomo 2008, “Mutiara dalam Lumpur” Yuswohady MarkPlus Institute of marketing (MIM) www.jurnalnasional.com © 2008
Pegadaian sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus Perum (Perusahaan Umum) merupakan salah satu lembaga keuangan bukan bank yang bergerak dalam bidang penyaluran kredit atas dasar hukum gadai. Perum Pegadaian menjalankan fungsi sebagai pengganti bank yaitu penyalur pinjaman dana ke masyarakat dan salah satu sumber dana pembangunan, karena itu Pegadaian dituntut harus menunjukkan kinerja keuangan yang baik agar menjadi salah satu lembaga keuangan bukan bank yang dapat diandalkan untuk periode sekarang dan periode yang akan datang.
Pegadaian turut serta membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dibidang perekonomian, terutama membantu dalam hal menyediaan atau memberikan pendanaan untuk dijadikan sebagai modal dalam melakukan usaha yaitu lewat jasa gadai sedangkan atribut lain adalah jasa penaksiran barang , jasa penitipan barang dan toko emas. Salah satu tantangan dari perkembangan Perum Pegadaian adalah bagaimana meningkatkan pelayanan untuk mempertahankan loyalitas konsumen.
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian mempunyai peranan penting dalam penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pengembangan usaha diperlukan dana yang cukup besar. Sumber dana yang selama ini dipergunakan untuk keperluan penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai berasal dari dana intern Perusahaan dan pinjaman dari lembaga keuangan masih belum mencukupi, maka diperlukan dana dari sumber lain yang sah.
Perusahaan Umum Pegadaian sebagai Badan Usaha Milik Negara yang melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat di bidang penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai, perlu didukung dengan partisipasi masyarakat berupa keikutsertaan dalam pendanaan.
Dengan persaingan yang begitu ketat saat ini, kualitas jasa mempunyai peranan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan jasa pegadaian. Mempertahankan konsumen menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan jasa khususnya perbankan yang bergerak dalam consumer banking. Kunci sukses di pasar persaingan perbankan bukan terletak pada bunga (harga) akan tetapi terletak pada distribusi pelayanan untuk menciptakan nasabah yang loyal dengan meretensi nasabahnya. Membuat nasabah tetap loyal adalah senjata utama yang harus dilakukan oleh suatu bank, bank harus bisa menciptakan loyalty tidak cukup hanya satisfaction, karena kepuasan bukanlah tujuan akhir. Perusahaan sebaiknya tidak boleh berhenti apabila telah memberikan kepuasan kepada nasabahnya, tetapi terus berupaya bagaimana menciptakan agar nasabah tersebut tidak berpindah ke bank lain dan nasabah menjadi semakin loyal. Penerapan Kualitas jasa.
II. DATA DAN FAKTA
Lembaga keuangan sebagai salah satu pelaku ekonomi merupakan inti dari sistem keuangan suatu negara, termasuk Indonesia. Karena lembaga keuangan adalah tempat bagi perusahaan, badan-badan pemerintah dan swasta maupun perorangan menyimpan dana dan memperoleh pinjaman dana. Bentuk lembaga keuangan terbagi dua jenis yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Pegadaian sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus Perusahaan Umum
Pada tahun 2008 ini Perum Pegadaian telah menargetkan omset untuk seluruh produknya mencapai Rp26 triliun, meningkat 24% dibandingkan dengan proyeksi pencapaian 2007 sebesar Rp21 triliun. Sementara itu untuk laba, perseroan menargetkan mampu mencapai angka Rp716 miliar, naik sekitar Rp106 miliar atau 17% dari proyeksi laba tahun 2007 sebesar Rp610 miliar.
Saat ini nasabah pegadaian berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Jumlah nasa bah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pegadaian sudah diterima masyarakat dengan baik. Jumlah nasabah Perum Pegadaian tahun akhir tahun 2007 sebanyak mencapai 7,6 juta orang dan untuk jumlah dana yang telah disalurkan kepada nasabah hingga triwulan ke tiga tahun ini mencapai Rp17,9 triliun atau sekitar 88 persen dari realisasi target yang diingin dicapai sebesar Rp20,3 triliun. Dengan kemajuan ini pegadaian memberi kontribusi pada pemerintah baik dalam bentuk pajak atau deviden dan yang terpenting kontribusi bagi masyarakat.
Berkembangnya perusahaan menuntut pegadaian untuk melakukan terobosan dengan meluncurkan berbagai jasa layanan seperti pemberian kredit rumah, kredit usaha rumah tangga (krista), kreasi dan kiriman uang secara cepat seluruh dunia (kucica) yang kesemuanya jasa itu mulai berjalan di sejumlah daerah. Perum Pegadaian memiliki 863 unit kantor cabang yang tersebar di seluruh Indonesia untuk melayani nasabah dan 55 unit diantaranya adalah outlet syariah yang terdapat di Aceh dan sebagian kecil di Jawa.
Sementara itu pegadaian juga melakukan undian nasabah Pegadaian se-Indonesia memperebutkan 365 hadiah terdiri dari 155 telepon seluler, 100 unit lemari es, 75 unit televisi dan 35 unit sepeda motor.
III. PEMBAHASAN MASALAH
Perubahan dalam dunia usaha yang semakin cepat mengharuskan pengadaian untuk merespon perubahan yang terjadi, problem sentral yang dihadapi perusahaan-perusahaan termasuk pagadaian saat ini adalah bagaimana perusahaan tersebut menarik konsumen dan mempertahankanya agar perusahaan tersebut dapat bertahan dan berkembang, tujuan tersebut akan tercapai jika perusahaan melakukan proses pemasaran dengan pelayanan yang baik.
Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, tetapi dalam pemasaran modern seperti ini paragdima pemasaran telah bergeser, tidak hanya menciptakan transakasi untuk mencapai keberhasilan pemasaran tetapi perusahaan juga harus menjalin hubungan dengan konsumen dalam waktu yang panjang. Paragdima tersebut disebut relationship marketing dasar pemikiran dalam praktek pemasaran ini adalah, membina hubungan yang lebih dekat dengan menciptakan komunikasi dua arah dengan mengelola suatu hubungan yang saling menguntungkan antara konsumen dan perusahaan.
Relationship marketing mampu memperdayakan kekuatan keinginan konsumen dengan tekanan teknologi informasi untuk memberikan kepuasan pada konsumen. Cakupannya meliputi tuntutan manajemen mutu terpadu secara global untuk menghadapi kebutuhan bisnis konsumen dengan lebih agresif. Strategi bisnis difokuskan pada kelanggengan dan pemuasan konsumen serta bekerja untuk mengantisipasi kebutuhan serta penyesuaian hasil produk.
Salah satu indikator yang cukup handal untuk kelangsungan hidup dan keuntungan dari suatu proses bisnis adalah kelanjutan dari kepuasan konsumen. Diperkirakan untuk menarik satu konsumen baru diperlukan biaya mulai dari lima sampai lima belas kali, dibandingkan dengan menjaga hubungan dengan satu konsumen lama.
Perum Pegadaian adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa dengan kondisi tersebut Perum Pegadaian sebaiknya menyadari pentingnya konsep relationship marketing. Hal tersebut diwujudkanya dengan menerapkan relationship marketing pada Perum Pegadaian. Konsep ini mengharapkan adanya inovasi dan peningkatan fasilitas agar dapat menciptakan loyalitas konsumen terhadap Perum Pegadaian sehingga tercipta hubungan jangka panjang yang harmonis antara perusahaan dan konsumen.
Kenapa ini bisa terjadi? Karena model bisnis gadai menghasilkan partnership yang memberikan win-win solution baik bagi Pegadaian maupun bagi orang miskin yang menjadi konsumennya. Di sinilah letak keindahan model bisnis Pegadaian. Karena kenyataan ini dapat diyakini bahwa bisnis model ini akan sustainable dan bisa bertahan bahkan sampai 100 tahun ke depan. Karena Pegadaian mengembangkan model”social business enterprise” yang ideal. Berikut ini 3 (tiga) strategi pelayanan yang dikembangkan oleh Perum Pegadaian dalam bersaing dalam dunia bisnis sehingga tetap eksis yaitu:
1. Selling as COMPASSION. 99 persen salesman di dunia bisnis akan mengatakan, menjual adalah mencari duit. Celakanya, tak jarang terjadi untuk kepentingan mencari duit, si salesman menghalalkan segala cara. Apa pun cara ditempuh, termasuk menipu dan memberdayai konsumen, agar si salesman bisa mengeruk sebanyak mungkin uang dari kocek konsumen. Di Pegadaian, aktivitas pelayanan dilandasi ketulusan nurani untuk membantu peningkatan struktur ekonomi masyarakat. Karena itu pelayanan adalah sebuah panggilan untuk pengentasan kemiskinan.
2. Marketing as EMPOWERMENT. Esensi dari model bisnis Pegadaian sesungguhnya adalah pemberdayaan. Pegadaian memberikan kail, agar masyarakat mendapatkan ikannya. Ada satu produk layanan di Pegadaian mengesankan yaitu Gadai Gabah. Tujuan tujuan produk ini, yaitu membantu memberdayakan diri para petani dan terlepas dari para tengkulak. Dengan modal yang diberikan Pegadaian, si petani pun bisa mengembangkan usaha pertaniannya secara lebih produktif.
3. Business as CULTURAL INTERACTION. Pendekatan yang digunakannya tak sebatas pendekatan bisnis murni, tapi yang justru lebih powerful melalui pendekatan kultural. Pendekatan ini membutuhkan pemahaman yang utuh terhadap latar belakang sosial-kultural dan segala segi kehidupan masyarakat yang menjadi konsumennya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Konsumen sangat senang bila mereka diberikan value yang lebih ketika mereka dilayani. Dimana diharapkan dengan memberikan value yang diinginkan konsumen akan membuat konsumen senang dan pada akhirnya loyal terhadap produk kita. loyalitas itu bukan hanya mencegah konsumen yang defect dan mengharapkan kontribusi yang lebih besar dari konsumen, tetapi lebih mengutamakan pengertian dan bagaimana mengelola enam segmen loyalitas. Profil tersebut juga menekankan strategi yang berbeda-beda yang dibutuhkan untuk menangani setiap segmen dan langkah yang perlu dilakukan perusahaan untuk menerapkan hal ini. Ketika dikombinasikan dengan customer value analysis yang standard, profil ini dapat membantu perusahaan dalam menetapkan prioritas untuk membangun loyalitas berdasarkan besarnya kesempatan.
Perum Pegadaian hendaknya merealisasikan layanan produk dengan baik dan matang agar tidak mnyimpang dari rencana yang ditetapkan sehingga perusahaan perum pegadaian mampu tetap eksis dan dibutuhkan masyarakat serta dapat memuaskan nasabah sehingga pada akhirnya akan membuat nasabah loyal. Memiliki nasabah yang loyal merupakan aset dan kunci sukses sebuah bank karena dapat meningkatkan laba.
DAFTAR BACAAN
Antara News, 21/11/07,Pegadaian Optimis Raih Laba Rp450 Miliar, http://www.antara.co.id
Blackwell, dkk, 2007, Consumer Behavior: An Asia Pasific Approach,Nelson Australia Pty Limited, Australia
Taylor, Steven. A., Celuch, Kevin, dan Goodwin Stephen, 2004, The Important of Brand Equity to Customer Loyalty, Journal of Product and Brand Management, Volume 13, Nomor 4, hal. 217-227.
Peraturan Pemerintah RI, Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Obligasi Perusahaan Umum Perum Pegadaian
Syafrizal Helmi S, SE, M.Si, 2006 Buku Bahan Ajar Studi Kelayakan Bisnis, Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara
Utomo, Priyanto Doyo, 2006, Analisis Terhadap Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Loyalitas Konsumen Pada Operator Telepon Seluler. Thesis: Universitas Gadjah Mada
Wahyu Utomo 2008, “Mutiara dalam Lumpur” Yuswohady MarkPlus Institute of marketing (MIM) www.jurnalnasional.com © 2008
PROSPEK PENGEMBANGAN KACANG KEDELAI
Penghujung tahun 2007 baru saja kita lalui, sebagai sebuah pertanda masuknya era yang bagi khalayak umum memberikan semangat dan harapan baru bagi kemajuan bangsa yang masih dalam keterpurukan ini. Betapa tidak, carut marutnya situasi politik yang ditandai dengan begitu maraknya aksi menentang hampir setiap kebijakan pemerintah yang dikeluarkan, seakan telah menjadi headline berita sehari-hari. Makin menurunnya moral bangsa dengan berbagai tindak criminal yang diperbuatnya hingga kebijakan ekonomi yang makin tak berpihak pada kesejahteraan rakyat, semakin menambah panjang catatan kelam bangsa dimasa yang telah berlalu.
Namun, kondisi yang kita temui saat ini ternyata jauh panggang dari api. Tak ada yang berbeda. Menghadapi persoalan bangsa ini, seolah mengurai simpul yang tak pernah ada habisnya. Baru beberapa hari ‘era baru’ ini kita lalui, bangsa ini kembali dihantam oleh krisis ekonomi, kelangkaan minyak tanah dan mencuatnya harga kedelai hingga 200%.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Bangsa Indonesia yang dikenal kaya akan sumber daya mineralnya serta produksi pertaniannya, justru menjadi bangsa yang kekurangan dan tak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sebagian menilai ini sebagai sebuah ‘kutukan’, akibat masyarakatnya yang enggan bekerja keras lantaran segalanya telah tersedia disekitarnya. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa kebijakan pemerintah pun kerapkali tidak memiliki strategi yang matang.
B. KEBIJAKAN STRATEGIS SWASEMBADA KACANG KEDELAI
Kelangkaan minyak tanah dipasaran mungkin sudah menjadi hal biasa bagi sebagian kalangan. Namun naiknya harga kedelai dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 7.800/kg sungguh merupakan berita besar karena kenaikan ini merupakan yang tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Akibatnya ribuan produsen tahu dan tempe diseluruh tanah air gulung tikar. Mereka benar-benar terpukul. Sebagian terpaksa mengurangi jumlah pekerja, memperkecil ukuran dan menurunkan kualitas, menaikkan harga hingga menghentikan produksinya. Tak pelak, perekonomian nasional pun terpukul dalam karena produksi tahu dan tempe ini merupakan produksi menengah kebawah yang cukup banyak menyerap tenaga kerja.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, mengatakan gejolak harga kedelai disebabkan oleh masalah klasik yakni turunnya produksi dalam negeri dan naiknya harga di pasar global. Menurut catatan BPS pada tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Ada banyak penyebab turunnya produksi kedelai nasional diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam.
Jika kita melihat tingkat kebutuhan kedelai dalam negeri yang mencapai 1,9 juta-2 juta ton per tahun (Seputar Indonesia,16 januari 2008), maka sekitar 70% kebutuhan kedelai bergantung pada impor dari luar negeri. Hal ini praktis menyebabkan naiknya harga kedelai dunia yang saat ini mencapai 100% dari 300 dollar AS per ton menjadi 600 dollar AS per ton, memberikan dampak yang cukup signifikan bagi harga kedelai nasional.
Kebijakan impor yang dominan terhadap produksi nasional ini sesungguhnya justru semakin memperpuruk perekonomian rakyat. Jika kita melihat kembali kebijakan yang dilakukan pemerintah pada tahun 1999, dengan kebijakan pasar bebasnya pemerintah membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk. Waktu itu pasar nasional dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani tertekan, petani banyak yang merugi dan sebagai akibatnya banyak petani yang hengkang dari produksi kedelai.
Kebijakan impor akan bertambah rumit ketika nuansa politik ketika nuansa politik ikut menyelimuti perdagangan antar negara ini. Sejahrahwan Prof. Onghokham, yang meneliti impor menjelang Pemilu pertama tahun 1955 menyatakan bahwa menjelang Pemilu kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang berafialiasi dengan partai politik tertentu cenderung meningkat. Penelitian itu memang tidak mengungkap sejauh mana keterkaitan mereka dengan kebutuhan dana untuk partai tertentu. Akan tetapi, penelitian tersebut mengingatkan kita tentang betapa besar kebutuhan dana untuk menghidupi partai politik, dan kedelai merupakan komoditas yang cukup mudah dicairkan menjadi dana segar.
Keadaan ini diperparah dengan kebijakan pertanian yang keliru. Pemerintah mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas seperti kelapa sawit, disisi lain pembangunan tanaman pangan terbengkalai. Sedangkan infrastruktur irigasi tidak digunakan bahkan yang sudah ada pun tidak dipelihara sehingga kuantitas dan kualitasnya menurun. Sementara itu, jumlah lahan pertanian pangan terus menyusut dan tidak dijalankannya pembaruan agrarian. Disamping itu janji pemerintah untuk membagi-bagikan lahan kepada petani melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak ada perwujudannya. Sehingga wajar jika para petani sudah tidak tertarik lagi menanam kedelai karena tidak adanya insentif bagi petani untuk menanam kedelai dan harga kedelai dipasar tidak bisa menutupi ongkos produksi.
Menyangkut solusi gejolak harga kedelai saat ini, memang perlu diadakan operasi pasar untuk menurunkan dan menyetabilkan harga. Untuk sementara waktu, pendapat ketua IV bidang profesi Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Ir Nur Hidayat dengan melakukan substitusi bisa diterapkan. Substitusi atau bahan pengganti bisa ditempuh dengan mengkombinasikan antara kacang kedelai impor dengan kedelai local. Jika dirasa masih mahal, maka bisa dicari bahan baku lain yang tetap berasal dari kacang-kacangan. Misalnya kacang hijau, koro, isi kacang panjang dan bahkan petai Cina.
Namun secara jangka panjang kita harus berswasembada kedelai karena kedelai yang ada di pasar dunia tidak akan mencukupi kebutuhan Indonesia jikalau produksi nasional terus turun. Untuk mencapai swasembada itu ada tiga hal utama yang harus dilakukan pemerintah, pertama, segera melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, membangun infrastruktuir di pedesaan seperti irigasi dan jalan-jalan desa bukan hanya jalan tol saja yang dibangun. Ketiga, tegakkan kedaulatan pangan dengan cara berswasembada dan melepaskan ketergantungan terhadap mekanisme pasar bebas.
Mengenai kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif impor dari 10% hingga 0% sesungguhnya takkan mampu memberikan dampak yang signifikan, jika pada kenyataannya impor masih tetap dominan. Yang justru nampak dari kondisi ini adalah kealpaan kebijakan dalam ketahanan pangan. Pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan atas produksi dan system komoditas kedelai yang mapan jika menghadapkan petani dengan pasar global. Akhirnya seperti realita saat ini, petani kalah dalam persaingan global yang dibiarkan oleh pemerintah. Jelas saja, karena kemampuan kolektif pemerintah menyiasati kebijakan perdagangan kedelai hanya mengambil jalan pintas yang bebas. Pakar ekonom Didik J Rachbini mengatakan, kebijakan tersebut bersifat liberal yang mematikan potensi petani.
C. PENUTUP
Tarif impor yang ditetapkan sangat tidak signifikan sehingga cukup amunisi bagi produk impor untuk mematikan petani. Tarif yang ada sebelum diturunkan hanya formalitas, yang tidak ada arti bagi perlindungan petani. Tarif rendah di masa lalu juga merupakan visi liberal dari pemerintah saat ini. Ketika tarif diturunkan sebagai usaha untuk mengatasi kekurangan pasokan dan harga tinggi, kebijakan itu pun merupakan kebijakan tidak serius yang bisa dianggap membohongi publik. Pemerintah seolah-olah berbuat sesuatu untuk mengatasi permasalahan kedelai dengan suatu kebijakan, padahal kebijakan itu kosong (Seputar Indonesia, 16 Januari 2008).
Sehingga jelas pokok akar permasalahan yang sesungguhnya adalah kecenderungan pemerintah menerapkan system ekonomi liberal melalui perdagangan bebasnya tanpa meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri secara optimal. Kebijakan ini pada akhirnya hanya akan memberikan keuntungan bagi para pemilik modal. Sedangkan rakyat yang seharusnya menjadi subyek utama pembangunan dan pemerataan kesejahteraan justru harus merasakan pahitnya beban ekonomi yang tidak seharusnya mereka rasakan.
Namun, kondisi yang kita temui saat ini ternyata jauh panggang dari api. Tak ada yang berbeda. Menghadapi persoalan bangsa ini, seolah mengurai simpul yang tak pernah ada habisnya. Baru beberapa hari ‘era baru’ ini kita lalui, bangsa ini kembali dihantam oleh krisis ekonomi, kelangkaan minyak tanah dan mencuatnya harga kedelai hingga 200%.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Bangsa Indonesia yang dikenal kaya akan sumber daya mineralnya serta produksi pertaniannya, justru menjadi bangsa yang kekurangan dan tak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sebagian menilai ini sebagai sebuah ‘kutukan’, akibat masyarakatnya yang enggan bekerja keras lantaran segalanya telah tersedia disekitarnya. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa kebijakan pemerintah pun kerapkali tidak memiliki strategi yang matang.
B. KEBIJAKAN STRATEGIS SWASEMBADA KACANG KEDELAI
Kelangkaan minyak tanah dipasaran mungkin sudah menjadi hal biasa bagi sebagian kalangan. Namun naiknya harga kedelai dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 7.800/kg sungguh merupakan berita besar karena kenaikan ini merupakan yang tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Akibatnya ribuan produsen tahu dan tempe diseluruh tanah air gulung tikar. Mereka benar-benar terpukul. Sebagian terpaksa mengurangi jumlah pekerja, memperkecil ukuran dan menurunkan kualitas, menaikkan harga hingga menghentikan produksinya. Tak pelak, perekonomian nasional pun terpukul dalam karena produksi tahu dan tempe ini merupakan produksi menengah kebawah yang cukup banyak menyerap tenaga kerja.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, mengatakan gejolak harga kedelai disebabkan oleh masalah klasik yakni turunnya produksi dalam negeri dan naiknya harga di pasar global. Menurut catatan BPS pada tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Ada banyak penyebab turunnya produksi kedelai nasional diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam.
Jika kita melihat tingkat kebutuhan kedelai dalam negeri yang mencapai 1,9 juta-2 juta ton per tahun (Seputar Indonesia,16 januari 2008), maka sekitar 70% kebutuhan kedelai bergantung pada impor dari luar negeri. Hal ini praktis menyebabkan naiknya harga kedelai dunia yang saat ini mencapai 100% dari 300 dollar AS per ton menjadi 600 dollar AS per ton, memberikan dampak yang cukup signifikan bagi harga kedelai nasional.
Kebijakan impor yang dominan terhadap produksi nasional ini sesungguhnya justru semakin memperpuruk perekonomian rakyat. Jika kita melihat kembali kebijakan yang dilakukan pemerintah pada tahun 1999, dengan kebijakan pasar bebasnya pemerintah membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk. Waktu itu pasar nasional dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani tertekan, petani banyak yang merugi dan sebagai akibatnya banyak petani yang hengkang dari produksi kedelai.
Kebijakan impor akan bertambah rumit ketika nuansa politik ketika nuansa politik ikut menyelimuti perdagangan antar negara ini. Sejahrahwan Prof. Onghokham, yang meneliti impor menjelang Pemilu pertama tahun 1955 menyatakan bahwa menjelang Pemilu kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang berafialiasi dengan partai politik tertentu cenderung meningkat. Penelitian itu memang tidak mengungkap sejauh mana keterkaitan mereka dengan kebutuhan dana untuk partai tertentu. Akan tetapi, penelitian tersebut mengingatkan kita tentang betapa besar kebutuhan dana untuk menghidupi partai politik, dan kedelai merupakan komoditas yang cukup mudah dicairkan menjadi dana segar.
Keadaan ini diperparah dengan kebijakan pertanian yang keliru. Pemerintah mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas seperti kelapa sawit, disisi lain pembangunan tanaman pangan terbengkalai. Sedangkan infrastruktur irigasi tidak digunakan bahkan yang sudah ada pun tidak dipelihara sehingga kuantitas dan kualitasnya menurun. Sementara itu, jumlah lahan pertanian pangan terus menyusut dan tidak dijalankannya pembaruan agrarian. Disamping itu janji pemerintah untuk membagi-bagikan lahan kepada petani melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak ada perwujudannya. Sehingga wajar jika para petani sudah tidak tertarik lagi menanam kedelai karena tidak adanya insentif bagi petani untuk menanam kedelai dan harga kedelai dipasar tidak bisa menutupi ongkos produksi.
Menyangkut solusi gejolak harga kedelai saat ini, memang perlu diadakan operasi pasar untuk menurunkan dan menyetabilkan harga. Untuk sementara waktu, pendapat ketua IV bidang profesi Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Ir Nur Hidayat dengan melakukan substitusi bisa diterapkan. Substitusi atau bahan pengganti bisa ditempuh dengan mengkombinasikan antara kacang kedelai impor dengan kedelai local. Jika dirasa masih mahal, maka bisa dicari bahan baku lain yang tetap berasal dari kacang-kacangan. Misalnya kacang hijau, koro, isi kacang panjang dan bahkan petai Cina.
Namun secara jangka panjang kita harus berswasembada kedelai karena kedelai yang ada di pasar dunia tidak akan mencukupi kebutuhan Indonesia jikalau produksi nasional terus turun. Untuk mencapai swasembada itu ada tiga hal utama yang harus dilakukan pemerintah, pertama, segera melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, membangun infrastruktuir di pedesaan seperti irigasi dan jalan-jalan desa bukan hanya jalan tol saja yang dibangun. Ketiga, tegakkan kedaulatan pangan dengan cara berswasembada dan melepaskan ketergantungan terhadap mekanisme pasar bebas.
Mengenai kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif impor dari 10% hingga 0% sesungguhnya takkan mampu memberikan dampak yang signifikan, jika pada kenyataannya impor masih tetap dominan. Yang justru nampak dari kondisi ini adalah kealpaan kebijakan dalam ketahanan pangan. Pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan atas produksi dan system komoditas kedelai yang mapan jika menghadapkan petani dengan pasar global. Akhirnya seperti realita saat ini, petani kalah dalam persaingan global yang dibiarkan oleh pemerintah. Jelas saja, karena kemampuan kolektif pemerintah menyiasati kebijakan perdagangan kedelai hanya mengambil jalan pintas yang bebas. Pakar ekonom Didik J Rachbini mengatakan, kebijakan tersebut bersifat liberal yang mematikan potensi petani.
C. PENUTUP
Tarif impor yang ditetapkan sangat tidak signifikan sehingga cukup amunisi bagi produk impor untuk mematikan petani. Tarif yang ada sebelum diturunkan hanya formalitas, yang tidak ada arti bagi perlindungan petani. Tarif rendah di masa lalu juga merupakan visi liberal dari pemerintah saat ini. Ketika tarif diturunkan sebagai usaha untuk mengatasi kekurangan pasokan dan harga tinggi, kebijakan itu pun merupakan kebijakan tidak serius yang bisa dianggap membohongi publik. Pemerintah seolah-olah berbuat sesuatu untuk mengatasi permasalahan kedelai dengan suatu kebijakan, padahal kebijakan itu kosong (Seputar Indonesia, 16 Januari 2008).
Sehingga jelas pokok akar permasalahan yang sesungguhnya adalah kecenderungan pemerintah menerapkan system ekonomi liberal melalui perdagangan bebasnya tanpa meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri secara optimal. Kebijakan ini pada akhirnya hanya akan memberikan keuntungan bagi para pemilik modal. Sedangkan rakyat yang seharusnya menjadi subyek utama pembangunan dan pemerataan kesejahteraan justru harus merasakan pahitnya beban ekonomi yang tidak seharusnya mereka rasakan.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TENTANG SEKRETARIS DESA DIJABAT OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 202 ayat (3) mengamanatkan Sekretaris Desa diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan PNS, secara bertahap diangkat menjadi PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengangkatan Sekretaris Desa sebelum adanya Peraturan Pemerintah ini dilakukan dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota, Surat Keputusan Pembantu Bupati/Walikota, Sekretaris Wilayah Daerah, Pejabat lain yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota, Camat, dan Kepala Desa. Pengangkatan tersebut tidak dalam status PNS.
Kebijakan tentang status PNS bagi sekdes yang merupakan ketentuan baru dalam dunia pemerintahan di Indonesia, tentunya harus diyakini sebagai usaha untuk memperbaiki kualitas sistem pemerintahan negara Indonesia secara umum, dan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa secara khusus. Walaupun setiap kebijakan publik selalu tidak dapat dilihat sepihak dari kacamata ilmu administasi saja, melainkan juga harus dipandang dari kajian ilmu politik.
Di dalam Peraturan Pemerintah ini diatur beberapa hal penting mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS. Di dalam pengaturannya terdapat ketentuan yang memungkinkan Sekretaris Desa yang dapat diangkat langsung menjadi PNS, yaitu Sekretaris Desa yang telah diangkat dengan sah sampai dengan tanggal 15 Oktober 2004 dan melaksanakan tugas hingga berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Hal penting lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah batas usia pengangkatan berusia paling tinggi 51 (lima puluh satu) tahun dan penetapan pangkat/golongan ruang yang diberikan paling tinggi adalah Pengatur Muda golongan ruang II/a pada semua Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS. Kedua hal tersebut menjadi syarat khusus diantara persyaratan lainnya untuk dapat diangkat menjadi PNS. Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS apabila memenuhi syarat diberikan pula hak pensiun sesuai peraturan perundang-undangan. Masa kerja sebagai Sekretaris Desa dihitung penuh sebagai masa kerja untuk penetapan pensiun sejak diangkat menjadi PNS. Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dapat dimutasikan setelah menjalani masa jabatan Sekretaris Desa sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun.
Di dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenai tata cara pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS. Dalam tata cara pengangkatan Sekretaris Desa ini terdapat peran unsur pemerintah daerah secara berjenjang, Badan Kepegawaian Negara, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri Dalam Negeri. Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS dilakukan secara bertahap yaitu diawali pada tahun 2007 dan diselesaikan pada tahun 2009. Penahapan pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS ini dilakukan dengan memperhatikan urutan prioritas yang didasarkan pada usia paling tinggi.
Untuk proses pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS, bupati atau wali kota harus menyusun data sekretaris desa di wilayahnya. Data tersebut selanjutnya disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur. Selain data, bupati dan wali kota juga harus menyertakan berkas pengangkatan. Selanjutnya, gubernur menyerahkan data sekaligus berkas pengangkatan dari seluruh bupati/wali kota kepada Menteri Dalam Negeri.
Proses yang dilakukan di tingkat Menteri Dalam Negeri adalah verifikasi serta validasi data dan berkas yang diperoleh dari gubernur. Menteri Dalam Negeri akan mengusulkan berkas yang telah diverifikasi itu kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan ditembuskan kepada Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Peraturan Pemerintah ini mengatur juga mengenai hak dan kompensasi yang diberikan kepada Sekretaris Desa yang tidak dapat diangkat menjadi PNS. Sekretaris Desa tersebut diberikan tunjangan kompensasi yang dihitung berdasarkan masa kerja selama yang bersangkutan menjadi Sekretaris Desa.
Pemerintah Kabupaten berkewajiban melaksanakan atau mengimplementasikan Peraturan Pemerintah untuk menindaklanjuti Undang-Undang sebelumnya. Pemerintah Kabupaten sebaiknya telah mengambil langkah dalam mengimplementasikan peraturan tersebut. Setelah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 tentang persyaratan dan tata cara pengangkatan sekretaris desa menjadi pegawai negeri sipil, Pemerintah Kabupaten melakukan sosialisasi kepada para sekretaris desa melalui Camat yang diteruskan ke kantor-kantor desa. Setiap sekretaris desa di wajibkan untuk mengumpulkan berkas seperti yang tertera pada Peraturan Pemerintah tersebut. Berkas-berkas itu meliputi:
1. Surat keputusan dan pengangkatan dalam jabatan sekdes;
2. Akta kelahiran atau dokumen lain yang terdapat tempat dan tanggal lahir yang bersangkutan; dan
3. Ijazah pendidikan terakhir.
Setelah berkas-berkas itu terkumpul di Bagian Organisasi dan Kepegawaian, maka disusun data Sekretaris Desa diseluruh Kabupaten. Data yang disusun dilakukan penyeleksian sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PP No. 45 Tahun 2007. Hasil yang diperoleh mengungkapkan bahwa hanya sebagian saja dari Sekretaris Desa di Kabupaten yang memenuhi persyaratan untuk diangkat menjadi PNS.
Hal tersebut disebabkan karena banyaknya jabatan sekdes yang kosong dan juga ada sebagian sekretaris desa yang tidak memenuhi persyaratan karena umurnya yang telah melewati ketentuan dalam peraturan pemerintah tersebut, dan ada juga yang dikarenakan masa pengangkatan jabatannya setelah tanggal yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tersebut yaitu sekdes menjabat sebelum tanggal 15 Oktober 2004 dan melaksanakan tugas jabatannya hinnga berlakunya peraturan pemerintah ini.
Sesuai dengan kebijakan peraturan pemerintah ini, bagi para sekdes yang tidak diangkat menjadi PNS, maka akan diberhentikan dari jabatannya sebagai sekretaris desa oleh Bupati atau Walikota, dan diberikan tunjangan kompensasi yang dihitung berdasarkan masa kerja selama yang bersangkutan menjadi sekretaris desa. Besaran tunjangan kompensasi berdasarkan PP No. 45 Tahun 2007 ini yaitu:
a. Masa kerja 1 (satu) sampai dengan 5 (lima ) tahun ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,00
b. Masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun dihitung sebesar Rp.1.000.000,00 pertahun dengan ketentuan secara kumulatif paling tinggi Rp.20.000.000,00.
Bagi para sekdes yang yang memenuhi persyaratan akan diangkat menjadi PNS dan dapat dimutasikan setelah menjalani masa jabatan sekdes sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun. Sedangkan jabatan sekdes yang kosong akan diisi oleh PNS yang memenuhi persyaratan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada PP No.45 Tahun 2007 ini. Data Sekretaris Desa dan berkas pengangkatan jabatan Sekdes disampaikan oleh Bupati kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur.
Dari Implementasi PP No.45 Tahun 2007 tersebut terdapat kendala dan hambatan yang banyak terjadi pada daerah kabupaten pada umumnya yaitu:
1. Sekdes yang telah menjadi PNS akan merasa bahwa Kades bukan merupakan atasannya karena sekdes merasa diangkat oleh pemda dan kades adalah hasil dari pemilihan langsung oleh rakyat. Perihal mengenai mutasi pegawai , bahwa sekdes ada kemungkinan menduduki jabatan sebagai sekdes seumur hidupnya. Hal tersebut disebabkan karena di luar pulau jawa khususnya di masih terdapat jalur transportasi yang menghubungkan antar desa masih sangat sulit untuk ditempuh, karena jaraknya yang terlalu jauh dan kondisi jalan yang dilalui kuarng baik atau bisa dikatakan buruk. Memang sebagai seorang PNS telah siap untuk di tempatkan dimanapun di seluruh Indonesia akan tetapi apakah dalam melakukan mutasi pegawai tidak memperhatikan segi kemanusiaan, misalnya saja seseorang yang telah memiliki tempat tinggal di suatu desa apakh tidak membuatnya merasa terbebani jika ia dimutasi ke desa lain atau kecamatan bahkan kabupaten atau instansi lain yang jarak tempuhnya jauh dari rumah asalnya. Hal tersebut akan dapat mempengaruhi kinerja pegawai yang bersangkutan”.
2. pengangkatan sekdes dengan adanya batasan usia mengandung unsur politis, karena masa pensiun PNS sampai dengan umur 54 tahun sedangkan persyaratan sekdes menjadi PNS pada PP No.45 Tahun 2007 maksimal 51 tahun. Hal tersebut memungkinkan agar sekdes diisi oleh PNS.
3. adanya kebijakan pengangkatan sekdes menjadi PNS akan dapat memicu munculnya assosiasi-assosiasi baru dari kalangan perangkat desa yang akan menuntut untuk ikut diangkat menjadi PNS, sehingga kedepan desa akan diisi secara keseluruhan oleh PNS.
4. pengangkatan sekdes menjadi PNS belum tentu akan memberikan perbaikan kepada sistem administrasi desa, contohnya kalau memang awalnya sekdes yang sebelumnya memiliki kemampuan administrasinya jelek maka setelah diangkat menjadi PNS pun, administrasinya tetap akan seperti semula. Karena yang diangkat menjadi PNS yaitu orang yng sama maka tidak akan memberikan jaminan bahwa administrasi desa akan menjadi lebih baik”.
5. Timbulnya kesenjangan sosial antara sekdes berstatus PNS dengan aparat desa yang lain adalah sebuah konsekuensi yang tidak mungkin dihindari. Penyebab kesenjangan yang begitu nyata terlihat adalah tentang perbedaan insentif yang akan diterima sekdes berstatus PNS dengan aparat desa yang lain. Sekdes PNS akan menerima insentif setiap bulan melalui sistem penggajian dan tunjangan, yang besarnya sudah dapat dipastikan. Sedangkan aparat desa yang lain tetap pada kondisi sebelumnya, menerima insentif yang besarnya tidak menentu. Hal ini merupakan sebuah ironisme, jika seorang sekdes yang secara struktur merupakan bawahan kepala desa, memperoleh insentif lebih besar daripada atasannya. Kondisi ini merupakan ancaman bagi stabilitas dan harmonisasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Selain itu status PNS bagi sekdes yang baru mengabdi kepada desa dibandingkan dengan perangkat desa yang telah mengabdi sekian lama untk desa.
6. Akan timbulya gejala atau tendensi yang mengindikasikan adanya keinginan pengangkatan perangkat desa menjadi PNS yang mungkin saja akan memuncak menjadi sebuah tuntutan. Apabila tidak disikapi segera oleh Pemerintah, kasus semacam itu dapat melahirkan tuntutan agar semua aparat desa juga diangkat menjadi PNS. Pada tingkat kejenuhan tertentu akibat rasa kecemburuan terhadap sekdes PNS, hal itu dapat saja terjadi. Karena nuansa demokratisasi saat ini ternyata memberikan keberanian yang luar biasa kepada seluruh elemen masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Sering terjadi, tidak berhasil atau tidak ditanggapinya penyampaian aspirasi melalui media-media yang ada menyebabkan kekecewaan yang sangat mendalam bagi pihak-pihak yang merasa menuntut keadilan tersebut yang akhirnya berbuntut anarkisme.
7. Hambatan lainnya yaitu tentang adanya keinginan agar sekdes PNS yang akan bertugas di desa-desa tersebut merupakan seorang “putra desa” yang merupakan orang asli atau keturunan masyarakat setempat. Dengan alasan bahwa sekdes tersebut telah lebih mengenal kondisi desa dan dikenal masyarakat, sehingga memudahkan adaptasi dengan lingkungan kerja. Juga dianggap lebih mencintai desa yang telah menjadi tanah kelahirannya. Apabila prinsip putra desa ini berkembangkan, maka dapat berakibat kepada hubungan yang tidak harmonis antar sekdes dengan dengan aparat dan masyarakat desa jika sekdes PNS di desa yang bersangkutan bukanlah seorang putra desa. Walaupun pada kenyataannya di setiap desa tidak selalu tersedia sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi kualifikasi untuk diangkat menjadi sekdes PNS, tetapi tuntutan terhadap putra desa masih tetap saja ada, bahkan cenderung lebih kuat di desa-desa tertentu, khususnya yang masih hidup dalam suasana pedesaan dan tradisional.
8. Status PNS bagi sekdes secara teoritis akan menyulitkan kontrol kepala desa terhadap sekdes, karena secara psikologis, sekdes akan lebih taat kepada atasan kepegawaiannya, dalam hal ini camat atau bupati. Perubahan status sekdes tersebut akan berpengaruh kepada aspek pembinaan PNS dan hubungan dengan atasan sebagai pembina PNS. Dualisme atasan bagi sekdes PNS ini tentunya akan mempengaruhi loyalitas dan koordinasi yang tidak menentu. Bahkan posisi kepala desa cenderung akan dikesampingkan oleh sekdes PNS karena tidak dapat menggugat status kepegawaian sekdes PNS tersebut. Hal tersebut dapat membuka peluang terjadinya konflik antara kepala desa dengan sekdes dalam hal hubungan kerja, apabila tata kerjanya tidak diatur dengan rinci dan dilaksanakan secara konsisten, karena adanya duplikasi komando terhadap sekdes.
Demikianlah kondisi yang dapat terjadi terhadap implementasi kebijakan pemerintah pada UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 yang mengamanatkan Sekretaris Desa diisi oleh PNS, baik melalui pengangkatan sekdes menjadi PNS maupun penempatan PNS di daerah menjadi Sekretaris Desa.
Sejauh mana berbagai keberhasilan implementasi kebijakan tersebut, semua tergantung kepada optimalisasi terhadap berbagai dampak positif yang akan terjadi dalam implementasi ketentuan tentang status PNS bagi sekdes tersebut, dan juga tergantung kepada bagaimana langkah antisipasi pemerintah terhadap berbagai dampak negatif yang mungkin terjadi. Dengan upaya-upaya pengembangan dan antisipasi yang optimal terhadap berbagai dampak positif dan negatif tersebut, Insya Allah implementasi ketentuan tentang status PNS bagi sekdes akan dapat berjalan dengan baik sehingga mampu mewujudkan desa yang modern, maju dan mandiri. Amin!
irfan setiawan
ipdn
Pengangkatan Sekretaris Desa sebelum adanya Peraturan Pemerintah ini dilakukan dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota, Surat Keputusan Pembantu Bupati/Walikota, Sekretaris Wilayah Daerah, Pejabat lain yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota, Camat, dan Kepala Desa. Pengangkatan tersebut tidak dalam status PNS.
Kebijakan tentang status PNS bagi sekdes yang merupakan ketentuan baru dalam dunia pemerintahan di Indonesia, tentunya harus diyakini sebagai usaha untuk memperbaiki kualitas sistem pemerintahan negara Indonesia secara umum, dan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa secara khusus. Walaupun setiap kebijakan publik selalu tidak dapat dilihat sepihak dari kacamata ilmu administasi saja, melainkan juga harus dipandang dari kajian ilmu politik.
Di dalam Peraturan Pemerintah ini diatur beberapa hal penting mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS. Di dalam pengaturannya terdapat ketentuan yang memungkinkan Sekretaris Desa yang dapat diangkat langsung menjadi PNS, yaitu Sekretaris Desa yang telah diangkat dengan sah sampai dengan tanggal 15 Oktober 2004 dan melaksanakan tugas hingga berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Hal penting lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah batas usia pengangkatan berusia paling tinggi 51 (lima puluh satu) tahun dan penetapan pangkat/golongan ruang yang diberikan paling tinggi adalah Pengatur Muda golongan ruang II/a pada semua Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS. Kedua hal tersebut menjadi syarat khusus diantara persyaratan lainnya untuk dapat diangkat menjadi PNS. Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS apabila memenuhi syarat diberikan pula hak pensiun sesuai peraturan perundang-undangan. Masa kerja sebagai Sekretaris Desa dihitung penuh sebagai masa kerja untuk penetapan pensiun sejak diangkat menjadi PNS. Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dapat dimutasikan setelah menjalani masa jabatan Sekretaris Desa sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun.
Di dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenai tata cara pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS. Dalam tata cara pengangkatan Sekretaris Desa ini terdapat peran unsur pemerintah daerah secara berjenjang, Badan Kepegawaian Negara, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri Dalam Negeri. Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS dilakukan secara bertahap yaitu diawali pada tahun 2007 dan diselesaikan pada tahun 2009. Penahapan pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS ini dilakukan dengan memperhatikan urutan prioritas yang didasarkan pada usia paling tinggi.
Untuk proses pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS, bupati atau wali kota harus menyusun data sekretaris desa di wilayahnya. Data tersebut selanjutnya disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur. Selain data, bupati dan wali kota juga harus menyertakan berkas pengangkatan. Selanjutnya, gubernur menyerahkan data sekaligus berkas pengangkatan dari seluruh bupati/wali kota kepada Menteri Dalam Negeri.
Proses yang dilakukan di tingkat Menteri Dalam Negeri adalah verifikasi serta validasi data dan berkas yang diperoleh dari gubernur. Menteri Dalam Negeri akan mengusulkan berkas yang telah diverifikasi itu kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan ditembuskan kepada Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Peraturan Pemerintah ini mengatur juga mengenai hak dan kompensasi yang diberikan kepada Sekretaris Desa yang tidak dapat diangkat menjadi PNS. Sekretaris Desa tersebut diberikan tunjangan kompensasi yang dihitung berdasarkan masa kerja selama yang bersangkutan menjadi Sekretaris Desa.
Pemerintah Kabupaten berkewajiban melaksanakan atau mengimplementasikan Peraturan Pemerintah untuk menindaklanjuti Undang-Undang sebelumnya. Pemerintah Kabupaten sebaiknya telah mengambil langkah dalam mengimplementasikan peraturan tersebut. Setelah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 tentang persyaratan dan tata cara pengangkatan sekretaris desa menjadi pegawai negeri sipil, Pemerintah Kabupaten melakukan sosialisasi kepada para sekretaris desa melalui Camat yang diteruskan ke kantor-kantor desa. Setiap sekretaris desa di wajibkan untuk mengumpulkan berkas seperti yang tertera pada Peraturan Pemerintah tersebut. Berkas-berkas itu meliputi:
1. Surat keputusan dan pengangkatan dalam jabatan sekdes;
2. Akta kelahiran atau dokumen lain yang terdapat tempat dan tanggal lahir yang bersangkutan; dan
3. Ijazah pendidikan terakhir.
Setelah berkas-berkas itu terkumpul di Bagian Organisasi dan Kepegawaian, maka disusun data Sekretaris Desa diseluruh Kabupaten. Data yang disusun dilakukan penyeleksian sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PP No. 45 Tahun 2007. Hasil yang diperoleh mengungkapkan bahwa hanya sebagian saja dari Sekretaris Desa di Kabupaten yang memenuhi persyaratan untuk diangkat menjadi PNS.
Hal tersebut disebabkan karena banyaknya jabatan sekdes yang kosong dan juga ada sebagian sekretaris desa yang tidak memenuhi persyaratan karena umurnya yang telah melewati ketentuan dalam peraturan pemerintah tersebut, dan ada juga yang dikarenakan masa pengangkatan jabatannya setelah tanggal yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tersebut yaitu sekdes menjabat sebelum tanggal 15 Oktober 2004 dan melaksanakan tugas jabatannya hinnga berlakunya peraturan pemerintah ini.
Sesuai dengan kebijakan peraturan pemerintah ini, bagi para sekdes yang tidak diangkat menjadi PNS, maka akan diberhentikan dari jabatannya sebagai sekretaris desa oleh Bupati atau Walikota, dan diberikan tunjangan kompensasi yang dihitung berdasarkan masa kerja selama yang bersangkutan menjadi sekretaris desa. Besaran tunjangan kompensasi berdasarkan PP No. 45 Tahun 2007 ini yaitu:
a. Masa kerja 1 (satu) sampai dengan 5 (lima ) tahun ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,00
b. Masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun dihitung sebesar Rp.1.000.000,00 pertahun dengan ketentuan secara kumulatif paling tinggi Rp.20.000.000,00.
Bagi para sekdes yang yang memenuhi persyaratan akan diangkat menjadi PNS dan dapat dimutasikan setelah menjalani masa jabatan sekdes sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun. Sedangkan jabatan sekdes yang kosong akan diisi oleh PNS yang memenuhi persyaratan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada PP No.45 Tahun 2007 ini. Data Sekretaris Desa dan berkas pengangkatan jabatan Sekdes disampaikan oleh Bupati kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur.
Dari Implementasi PP No.45 Tahun 2007 tersebut terdapat kendala dan hambatan yang banyak terjadi pada daerah kabupaten pada umumnya yaitu:
1. Sekdes yang telah menjadi PNS akan merasa bahwa Kades bukan merupakan atasannya karena sekdes merasa diangkat oleh pemda dan kades adalah hasil dari pemilihan langsung oleh rakyat. Perihal mengenai mutasi pegawai , bahwa sekdes ada kemungkinan menduduki jabatan sebagai sekdes seumur hidupnya. Hal tersebut disebabkan karena di luar pulau jawa khususnya di masih terdapat jalur transportasi yang menghubungkan antar desa masih sangat sulit untuk ditempuh, karena jaraknya yang terlalu jauh dan kondisi jalan yang dilalui kuarng baik atau bisa dikatakan buruk. Memang sebagai seorang PNS telah siap untuk di tempatkan dimanapun di seluruh Indonesia akan tetapi apakah dalam melakukan mutasi pegawai tidak memperhatikan segi kemanusiaan, misalnya saja seseorang yang telah memiliki tempat tinggal di suatu desa apakh tidak membuatnya merasa terbebani jika ia dimutasi ke desa lain atau kecamatan bahkan kabupaten atau instansi lain yang jarak tempuhnya jauh dari rumah asalnya. Hal tersebut akan dapat mempengaruhi kinerja pegawai yang bersangkutan”.
2. pengangkatan sekdes dengan adanya batasan usia mengandung unsur politis, karena masa pensiun PNS sampai dengan umur 54 tahun sedangkan persyaratan sekdes menjadi PNS pada PP No.45 Tahun 2007 maksimal 51 tahun. Hal tersebut memungkinkan agar sekdes diisi oleh PNS.
3. adanya kebijakan pengangkatan sekdes menjadi PNS akan dapat memicu munculnya assosiasi-assosiasi baru dari kalangan perangkat desa yang akan menuntut untuk ikut diangkat menjadi PNS, sehingga kedepan desa akan diisi secara keseluruhan oleh PNS.
4. pengangkatan sekdes menjadi PNS belum tentu akan memberikan perbaikan kepada sistem administrasi desa, contohnya kalau memang awalnya sekdes yang sebelumnya memiliki kemampuan administrasinya jelek maka setelah diangkat menjadi PNS pun, administrasinya tetap akan seperti semula. Karena yang diangkat menjadi PNS yaitu orang yng sama maka tidak akan memberikan jaminan bahwa administrasi desa akan menjadi lebih baik”.
5. Timbulnya kesenjangan sosial antara sekdes berstatus PNS dengan aparat desa yang lain adalah sebuah konsekuensi yang tidak mungkin dihindari. Penyebab kesenjangan yang begitu nyata terlihat adalah tentang perbedaan insentif yang akan diterima sekdes berstatus PNS dengan aparat desa yang lain. Sekdes PNS akan menerima insentif setiap bulan melalui sistem penggajian dan tunjangan, yang besarnya sudah dapat dipastikan. Sedangkan aparat desa yang lain tetap pada kondisi sebelumnya, menerima insentif yang besarnya tidak menentu. Hal ini merupakan sebuah ironisme, jika seorang sekdes yang secara struktur merupakan bawahan kepala desa, memperoleh insentif lebih besar daripada atasannya. Kondisi ini merupakan ancaman bagi stabilitas dan harmonisasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Selain itu status PNS bagi sekdes yang baru mengabdi kepada desa dibandingkan dengan perangkat desa yang telah mengabdi sekian lama untk desa.
6. Akan timbulya gejala atau tendensi yang mengindikasikan adanya keinginan pengangkatan perangkat desa menjadi PNS yang mungkin saja akan memuncak menjadi sebuah tuntutan. Apabila tidak disikapi segera oleh Pemerintah, kasus semacam itu dapat melahirkan tuntutan agar semua aparat desa juga diangkat menjadi PNS. Pada tingkat kejenuhan tertentu akibat rasa kecemburuan terhadap sekdes PNS, hal itu dapat saja terjadi. Karena nuansa demokratisasi saat ini ternyata memberikan keberanian yang luar biasa kepada seluruh elemen masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Sering terjadi, tidak berhasil atau tidak ditanggapinya penyampaian aspirasi melalui media-media yang ada menyebabkan kekecewaan yang sangat mendalam bagi pihak-pihak yang merasa menuntut keadilan tersebut yang akhirnya berbuntut anarkisme.
7. Hambatan lainnya yaitu tentang adanya keinginan agar sekdes PNS yang akan bertugas di desa-desa tersebut merupakan seorang “putra desa” yang merupakan orang asli atau keturunan masyarakat setempat. Dengan alasan bahwa sekdes tersebut telah lebih mengenal kondisi desa dan dikenal masyarakat, sehingga memudahkan adaptasi dengan lingkungan kerja. Juga dianggap lebih mencintai desa yang telah menjadi tanah kelahirannya. Apabila prinsip putra desa ini berkembangkan, maka dapat berakibat kepada hubungan yang tidak harmonis antar sekdes dengan dengan aparat dan masyarakat desa jika sekdes PNS di desa yang bersangkutan bukanlah seorang putra desa. Walaupun pada kenyataannya di setiap desa tidak selalu tersedia sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi kualifikasi untuk diangkat menjadi sekdes PNS, tetapi tuntutan terhadap putra desa masih tetap saja ada, bahkan cenderung lebih kuat di desa-desa tertentu, khususnya yang masih hidup dalam suasana pedesaan dan tradisional.
8. Status PNS bagi sekdes secara teoritis akan menyulitkan kontrol kepala desa terhadap sekdes, karena secara psikologis, sekdes akan lebih taat kepada atasan kepegawaiannya, dalam hal ini camat atau bupati. Perubahan status sekdes tersebut akan berpengaruh kepada aspek pembinaan PNS dan hubungan dengan atasan sebagai pembina PNS. Dualisme atasan bagi sekdes PNS ini tentunya akan mempengaruhi loyalitas dan koordinasi yang tidak menentu. Bahkan posisi kepala desa cenderung akan dikesampingkan oleh sekdes PNS karena tidak dapat menggugat status kepegawaian sekdes PNS tersebut. Hal tersebut dapat membuka peluang terjadinya konflik antara kepala desa dengan sekdes dalam hal hubungan kerja, apabila tata kerjanya tidak diatur dengan rinci dan dilaksanakan secara konsisten, karena adanya duplikasi komando terhadap sekdes.
Demikianlah kondisi yang dapat terjadi terhadap implementasi kebijakan pemerintah pada UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 yang mengamanatkan Sekretaris Desa diisi oleh PNS, baik melalui pengangkatan sekdes menjadi PNS maupun penempatan PNS di daerah menjadi Sekretaris Desa.
Sejauh mana berbagai keberhasilan implementasi kebijakan tersebut, semua tergantung kepada optimalisasi terhadap berbagai dampak positif yang akan terjadi dalam implementasi ketentuan tentang status PNS bagi sekdes tersebut, dan juga tergantung kepada bagaimana langkah antisipasi pemerintah terhadap berbagai dampak negatif yang mungkin terjadi. Dengan upaya-upaya pengembangan dan antisipasi yang optimal terhadap berbagai dampak positif dan negatif tersebut, Insya Allah implementasi ketentuan tentang status PNS bagi sekdes akan dapat berjalan dengan baik sehingga mampu mewujudkan desa yang modern, maju dan mandiri. Amin!
irfan setiawan
ipdn
Langganan:
Postingan (Atom)